Lakon Putra Sang Maestro, Satirisme Berbalut Romansa dari Indonesia Kita
17 November 2024 |
13:30 WIB
Akbar Kobar nelangsa karena hubungannya dengan Oppie Andaresta, tidak disetujui sang ayah, Mucle. Pasalnya, Butet Kartaradjadsa, pemimpin tobong wayang orang sekaligus ayah Akbar, adalah seteru dari Mucle, yang dulu adalah gurunya.
Konflik antara empat orang itu, menjadi benang merah dalam lakon Putra Sang Maestro, oleh Indonesia Kita. Lakon yang disutradarai oleh Agus Noor itu, dipentaskan di Teater Besar Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada 14-15 November 2024.
Pertunjukan ini mempertontonkan intrik politik, dari yang halus penuh simbol, hingga yang frontal tanpa tedeng aling-aling. Romansa Akbar dan Oppie, hanyalah sampiran cerita untuk mengelindingkan waktu 2 jam pementasan serta menyikapi realitas lewat seni.
Baca juga: Indonesia Kita Siap Pentaskan Lakon Putra Sang Maestro di Taman Ismail Marzuki Jakarta
Seperti pertunjukan-pertunjukan sebelumnya, Indonesia Kita memang memiliki cara yang khas untuk mengkritik kekuasaan. Secara umum, premis cerita ini hanya berkutat di antara drama percintaan anak maestro wayang orang, dan pemimpin kelimun badut.
Namun, oleh para aktor, narasi tersebut dibetot ke sana ke mari dengan cergas dan sangkil. Guyonan dan kritik dari Marwoto, sebagai Semar. Atau, cara Butet yang dengan blak-blakan menyinggung pembungkaman ekspresi, menyuguhkan ekspresi lain dari dunia demokrasi.
Misalnya saat Tobong pimpinan Butet ingin melakukan regenerasi pemimpin. Salah satu syaratnya adalah, calon pemimpin setidaknya harus memiliki ambang batas umur 40 tahun. Namun, Butet justru berusaha mengubah norma yang disepakati, agar ada penyegaran zaman, katanya.
"Kepala empat itu tua [untuk menjadi pemimpin], cocoknya kepala tiga. Bikin pengaturan tho. Penguasa Tobong ini siapa? Jadi, ya suka-suka yang berkuasa, untuk mengutak-atik peraturan," kata Butet saat berdiskusi dengan para Punakawan.
Secuplik adegan inilah yang kemudian memunculkan intrik demi intrik antar para pemain. Keinginan Marwoto, sebagai senior di tobong; kehendak Susilo, Joned, dan Wisben sebagai anak Semar yang oportunis; atau Cak Lontong yang bertindak sebagai orang segala urusan membuat lakon ini makin cair.
Sutradara pertunjukan, Agus Noor juga berhasil mengalirkan cerita dengan mulus, meski dikemas dengan cara entertaint. Hadirnya lagu-lagu Slank, yang dinyanyikan Endah Laras, juga memberi hiburan tersendiri, meski hadirnya lagu ini kerap menjadi cara'terakhir' untuk memuluskan transisi adegan.
Akbar dan Cak Lontong, yang selalu menjadi magnet dari pertunjukan-pertunjukan Indonesia Kita, juga tampil dengan prima. Lewat permainan logika yang selalu diceletukkan oleh dua sekawan ini, penonton selalu dibuat terpingkal, atau mungkin baru menyadari guyonan tersebut, beberapa detik kemudian.
Penulis dan Direktur Artistik Indonesia Kita Agus Noor mengatakan, keinginan untuk berikhtiar merawat kebangsaan melalui pertunjukan seni, memang menjadi komitmen mereka. Kendati tak mendapat dukungan produksi, seluruh pekerja seni di dalam grup tersebut memutuskan untuk tetap manggung.
Agus juga mengaku cukup kaget saat menerima kabar dari tim produksi bahwa sponsor yang tadinya akan mendukung, tiba-tiba mundur. Namun, dia dan teman-teman yang lain akhirnya sepakat untuk saweran, serta melakukan dana bantingan demi menambah dana produksi supaya pentas tetap terlaksana.
"Semua tim sama-sama berupaya dengan caranya masing-masing. Misalnya tim artistik mencoba menyesuaikan bujet, dan tim produksi mencoba menghubungi penonton loyal Indonesia Kita untuk membeli tiket donasi," katanya.
Terpisah, Butet Kartaredjasa mengatakan, pembungkaman secara halus dengan cara menggembosi dana pementasan justru harus disikapi dengan semangat. Dirinya juga bersyukur lagu-lagu Slank yang mereka mainkan tidak perlu membayar royalti pada grup yang digawangi oleh Bimbim, itu.
Butet berharap, dengan munculnya Kementerian Kebudayan para seniman juga bisa lebih bebas untuk berekspresi. Walakin, hingga hari ini seniman senior itu mengaku masih menunggu gebrakan, akan dibawa ke mana proses-proses berkebudayaan di Indonesia lewat kebijakan yang digulirkan oleh negara.
"Para pemimpin menyebut, genetika bangsa kita adalah kebudayaan. Jadi, saya bersyukur dengan hadirnya Kementerian Kebudayaan ini. Sekarang Kementrian Kebudayaan sudah ada, tapi justru yang bertalian dengan kegiatan kesenian saya, yang bagian dari kebudayaan itu sudah disuruh menelan pil pahit. Mereka paranoid dengan judul," katanya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Konflik antara empat orang itu, menjadi benang merah dalam lakon Putra Sang Maestro, oleh Indonesia Kita. Lakon yang disutradarai oleh Agus Noor itu, dipentaskan di Teater Besar Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada 14-15 November 2024.
Pertunjukan ini mempertontonkan intrik politik, dari yang halus penuh simbol, hingga yang frontal tanpa tedeng aling-aling. Romansa Akbar dan Oppie, hanyalah sampiran cerita untuk mengelindingkan waktu 2 jam pementasan serta menyikapi realitas lewat seni.
Baca juga: Indonesia Kita Siap Pentaskan Lakon Putra Sang Maestro di Taman Ismail Marzuki Jakarta
Seperti pertunjukan-pertunjukan sebelumnya, Indonesia Kita memang memiliki cara yang khas untuk mengkritik kekuasaan. Secara umum, premis cerita ini hanya berkutat di antara drama percintaan anak maestro wayang orang, dan pemimpin kelimun badut.
Namun, oleh para aktor, narasi tersebut dibetot ke sana ke mari dengan cergas dan sangkil. Guyonan dan kritik dari Marwoto, sebagai Semar. Atau, cara Butet yang dengan blak-blakan menyinggung pembungkaman ekspresi, menyuguhkan ekspresi lain dari dunia demokrasi.
Pemain mementaskan lakon berjudul "Putra Sang Maestro" di Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (14/11/2024). (sumber gambar: Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)
Misalnya saat Tobong pimpinan Butet ingin melakukan regenerasi pemimpin. Salah satu syaratnya adalah, calon pemimpin setidaknya harus memiliki ambang batas umur 40 tahun. Namun, Butet justru berusaha mengubah norma yang disepakati, agar ada penyegaran zaman, katanya.
"Kepala empat itu tua [untuk menjadi pemimpin], cocoknya kepala tiga. Bikin pengaturan tho. Penguasa Tobong ini siapa? Jadi, ya suka-suka yang berkuasa, untuk mengutak-atik peraturan," kata Butet saat berdiskusi dengan para Punakawan.
Secuplik adegan inilah yang kemudian memunculkan intrik demi intrik antar para pemain. Keinginan Marwoto, sebagai senior di tobong; kehendak Susilo, Joned, dan Wisben sebagai anak Semar yang oportunis; atau Cak Lontong yang bertindak sebagai orang segala urusan membuat lakon ini makin cair.
Sutradara pertunjukan, Agus Noor juga berhasil mengalirkan cerita dengan mulus, meski dikemas dengan cara entertaint. Hadirnya lagu-lagu Slank, yang dinyanyikan Endah Laras, juga memberi hiburan tersendiri, meski hadirnya lagu ini kerap menjadi cara'terakhir' untuk memuluskan transisi adegan.
Akbar dan Cak Lontong, yang selalu menjadi magnet dari pertunjukan-pertunjukan Indonesia Kita, juga tampil dengan prima. Lewat permainan logika yang selalu diceletukkan oleh dua sekawan ini, penonton selalu dibuat terpingkal, atau mungkin baru menyadari guyonan tersebut, beberapa detik kemudian.
Pentas Dana Bantingan
Penulis dan Direktur Artistik Indonesia Kita Agus Noor mengatakan, keinginan untuk berikhtiar merawat kebangsaan melalui pertunjukan seni, memang menjadi komitmen mereka. Kendati tak mendapat dukungan produksi, seluruh pekerja seni di dalam grup tersebut memutuskan untuk tetap manggung.Agus juga mengaku cukup kaget saat menerima kabar dari tim produksi bahwa sponsor yang tadinya akan mendukung, tiba-tiba mundur. Namun, dia dan teman-teman yang lain akhirnya sepakat untuk saweran, serta melakukan dana bantingan demi menambah dana produksi supaya pentas tetap terlaksana.
"Semua tim sama-sama berupaya dengan caranya masing-masing. Misalnya tim artistik mencoba menyesuaikan bujet, dan tim produksi mencoba menghubungi penonton loyal Indonesia Kita untuk membeli tiket donasi," katanya.
Pemain mementaskan lakon berjudul "Putra Sang Maestro" di Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (14/11/2024). (sumber gambar: Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)
Terpisah, Butet Kartaredjasa mengatakan, pembungkaman secara halus dengan cara menggembosi dana pementasan justru harus disikapi dengan semangat. Dirinya juga bersyukur lagu-lagu Slank yang mereka mainkan tidak perlu membayar royalti pada grup yang digawangi oleh Bimbim, itu.
Butet berharap, dengan munculnya Kementerian Kebudayan para seniman juga bisa lebih bebas untuk berekspresi. Walakin, hingga hari ini seniman senior itu mengaku masih menunggu gebrakan, akan dibawa ke mana proses-proses berkebudayaan di Indonesia lewat kebijakan yang digulirkan oleh negara.
"Para pemimpin menyebut, genetika bangsa kita adalah kebudayaan. Jadi, saya bersyukur dengan hadirnya Kementerian Kebudayaan ini. Sekarang Kementrian Kebudayaan sudah ada, tapi justru yang bertalian dengan kegiatan kesenian saya, yang bagian dari kebudayaan itu sudah disuruh menelan pil pahit. Mereka paranoid dengan judul," katanya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.