Karya Seniman Jalanan Juga Butuh Eksposur
24 August 2021 |
07:10 WIB
Ketika berbicara tentang kesejahteraan seniman di tengah pandemi, stimulus dari pemerintah tentu amat dibutuhkan. Namun, stimulus untuk pelaku industri seni tidak cukup hanya dengan memberi uang atau kesempatan melakukan pameran setahun sekali.
Pandemi yang kita alami sekarang membuka realitas bahwa selama ini, seniman jalanan sangat kurang eksposur meskipun karya mereka sejatinya terpajang di ruang publik.
Orang yang berlalu-lalang di depan mural dan grafiti pinggir jalan belum tentu seluruhnya adalah penikmat seni atau bahkan kolektor karya seni jalanan.
Menurut May Soebiakto, anggota Sanggar Senirupa Plus Grajas Bulungan, seniman jalanan berharap ada tempat yang layak bagi mereka untuk memamerkan karyanya, apalagi dengan PPKM yang masih berlangsung tidak banyak ruang publik yang tersisa.
"Ini adalah kasus klasik, menemukan cara agar seniman jalanan tetap hidup. Pandemi tidak menyurutkan semangat mereka untuk berkarya tapi mereka memiliki keterbatasan. Mereka butuh koordinator dan figur pemimpin yang bisa mengarahkan mereka seniman jalanan untuk memonetisasi dan memasarkan karyanya," ungkap May.
Karya seniman jalanan membutuhkan perhatian dan eksposur yang sama dengan para seniman mapan yang karyanya dipajang di pameran-pameran ternama.
Apalagi media untuk memamerkan karya seniman jalanan mungkin tidak sefleksibel dengan yang dimiliki seniman lainnya.
Banksy, King Robbo, Invader, Gaia, atau Faith47 adalah beberapa contoh seniman jalanan yang dengan berani mengubah dinding-dinding lusuh menjadi galeri mereka sendiri.
Tentu tidak semua seniman jalanan punya karisma seperti Banksy, meskipun anonim tetap bisa menarik perhatian audiens bahkan dari belahan dunia lain dengan kritik sosialnya yang pedas dan tepat sasaran.
Seniman jalanan di Indonesia juga bisa mendapatkan eksposur seluas Banksy atau King Robbo dengan membuat sensasi kreatif dengan cara mereka sendiri.
Direktur ArtJog Heri Pemad menyampaikan bahwa strategi antara pameran biasa dan untuk seniman jalanan mungkin sedikit berbeda.
"Bagaimana kita mendekati stakeholder atau penikmat seni jalanan itu berbeda dengan pameran pada umumnya. Seni jalanan itu punya ruang sendiri dan cara menikmati yang berbeda," katanya.
Selain koordinasi, yang dibutuhkan seniman jalanan adalah jejaring yang solid. Sama dengan seniman lain, membangun relasi baik dengan kolektor adalah kunci untuk mendapatkan eksposur.
Perlu diingat ketika karya kita dipamerkan di jalan, word of mouth adalah kekuatan utama yang diperlukan para seniman jalanan.
Sama seperti ketika beberapa mural sempat menjadi viral di media sosial. Eksposur semacam ini yang dibutuhkan oleh seniman jalanan sehingga pada akhirnya karya mereka dapat menjadi sumber penghidupan.
"Koordinasi tetap dibutuhkan antar seniman apalagi di kalangan seniman jalanan yang mungkin belum punya jejaring solid. Publikasi caranya ada banyak, tinggal bagaimana seniman memanfaatkan media yang ada," tutup May.
Editor: Avicenna
Pandemi yang kita alami sekarang membuka realitas bahwa selama ini, seniman jalanan sangat kurang eksposur meskipun karya mereka sejatinya terpajang di ruang publik.
Orang yang berlalu-lalang di depan mural dan grafiti pinggir jalan belum tentu seluruhnya adalah penikmat seni atau bahkan kolektor karya seni jalanan.
Menurut May Soebiakto, anggota Sanggar Senirupa Plus Grajas Bulungan, seniman jalanan berharap ada tempat yang layak bagi mereka untuk memamerkan karyanya, apalagi dengan PPKM yang masih berlangsung tidak banyak ruang publik yang tersisa.
"Ini adalah kasus klasik, menemukan cara agar seniman jalanan tetap hidup. Pandemi tidak menyurutkan semangat mereka untuk berkarya tapi mereka memiliki keterbatasan. Mereka butuh koordinator dan figur pemimpin yang bisa mengarahkan mereka seniman jalanan untuk memonetisasi dan memasarkan karyanya," ungkap May.
Karya seniman jalanan membutuhkan perhatian dan eksposur yang sama dengan para seniman mapan yang karyanya dipajang di pameran-pameran ternama.
Apalagi media untuk memamerkan karya seniman jalanan mungkin tidak sefleksibel dengan yang dimiliki seniman lainnya.
Banksy, King Robbo, Invader, Gaia, atau Faith47 adalah beberapa contoh seniman jalanan yang dengan berani mengubah dinding-dinding lusuh menjadi galeri mereka sendiri.
Tentu tidak semua seniman jalanan punya karisma seperti Banksy, meskipun anonim tetap bisa menarik perhatian audiens bahkan dari belahan dunia lain dengan kritik sosialnya yang pedas dan tepat sasaran.
Seniman jalanan di Indonesia juga bisa mendapatkan eksposur seluas Banksy atau King Robbo dengan membuat sensasi kreatif dengan cara mereka sendiri.
Direktur ArtJog Heri Pemad menyampaikan bahwa strategi antara pameran biasa dan untuk seniman jalanan mungkin sedikit berbeda.
"Bagaimana kita mendekati stakeholder atau penikmat seni jalanan itu berbeda dengan pameran pada umumnya. Seni jalanan itu punya ruang sendiri dan cara menikmati yang berbeda," katanya.
Selain koordinasi, yang dibutuhkan seniman jalanan adalah jejaring yang solid. Sama dengan seniman lain, membangun relasi baik dengan kolektor adalah kunci untuk mendapatkan eksposur.
Perlu diingat ketika karya kita dipamerkan di jalan, word of mouth adalah kekuatan utama yang diperlukan para seniman jalanan.
Sama seperti ketika beberapa mural sempat menjadi viral di media sosial. Eksposur semacam ini yang dibutuhkan oleh seniman jalanan sehingga pada akhirnya karya mereka dapat menjadi sumber penghidupan.
"Koordinasi tetap dibutuhkan antar seniman apalagi di kalangan seniman jalanan yang mungkin belum punya jejaring solid. Publikasi caranya ada banyak, tinggal bagaimana seniman memanfaatkan media yang ada," tutup May.
Editor: Avicenna
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.