BMKG Sebut Indonesia Berpeluang Alami La Nina, Ini Tanda-tandanya
04 November 2024 |
13:00 WIB
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap tanda-tanda adanya peluang fenomena La Nina di Indonesia. Kondisi ini berpotensi memicu sejumlah bencana hidrometeorologi basah seperti banjir, longsor, dan angin kencang. Oleh karena itu, masyarakat pun diimbau untuk bersiap.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan pihaknya telah mendeteksi adanya peluang terjadinya fenomena La Nina di Indonesia. Hal ini disebabkan pada pertengahan Oktober 2024, BMKG mendeteksi suhu muka air laut di Samudra Pasifik bagian ekuator hingga timur yang lebih dingin dari normal (-0,64°C), sehingga menjadi tanda adanya peluang La Nina.
Meski demikian, data tersebut baru merupakan hasil deteksi BMKG selama 10 hari. Untuk memutuskan apakah Indonesia benar-benar akan menghadapi La Nina, dibutuhkan waktu setidaknya 30 hari untuk memantau perkembangan tersebut.
"Akhir Oktober kita bisa memastikan apakah itu La Nina. Namun, alangkah baiknya mulai saat ini kita perlu bersiap, karena di pertengahan Oktober, telah terdeteksi perbedaan suhu muka air laut di Samudra Pasifik bagian ekuator tengah timur itu sudah lebih dingin dari normalnya," kata Dwikorita dalam sebuah video yang diunggah di akun Instagram BMKG.
Baca juga: Yuk Kenali Istilah dalam Informasi Cuaca, Apa Itu La Nina & El Nino?
Dwikorita menguraikan hasil analisis dinamika atmosfer Dasarian II Oktober menunjukkan hasil monitoring indeks Indian Ocean Dipole (IOD) dan El Nino Southern Oscillation (ENSO), menunjukkan indeks IOD melewati batas ambang IOD negatif (indeks -1,11), tapi baru berlangsung satu dasarian, sehingga statusnya tetap IOD netral.
Selain itu, anomali suhu permukaan laut (SST) di Nino 3.4 juga menunjukkan kondisi yang melewati batas ambang La Nina dengan indeks -0,64.
"Batasan La Nina itu perbedaan suhunya itu -0,5, ini sudah melampaui batas tadi. Sekarang sudah -0,64, artinya lebih dingin dari normalnya. Namun karena belum ada 30 hari, sehingga kita masih harus memastikan, tunggu sampai akhir Oktober itu masih semakin mendingin atau pulih kembali menuju normal. Jadi ada kewaspadaan," paparnya.
Mengutip situs resmi BMKG, La Nina merupakan kejadian anomali iklim global yang ditandai dengan keadaan suhu permukaan laut (SPL) atau sea surface temperature (SST) di Samudra Pasifik tropis bagian tengah dan timur yang lebih dingin dibandingkan suhu normalnya.
Kondisi ini biasanya diikuti dengan berubahnya pola sirkulasi Walker atau sirkulasi atmosfer arah timur barat yang terjadi di sekitar ekuator, di atmosfer yang berada di atasnya dan dapat mempengaruhi pola iklim dan cuaca global. Kondisi La Nina ini dapat berulang dalam beberapa tahun sekali dan setiap kejadian dapat bertahan sekitar beberapa bulan hingga dua tahun.
Dwikorita menjelaskan fenomena La Nina dapat meningkatkan curah hujan. Peningkatan curah hujan saat La Nina umumnya berkisar 20-40 persen lebih tinggi dibandingkan curah hujan saat tahun netral.
Namun, terdapat juga beberapa wilayah yang mengalami peningkatan curah hujan lebih dari 40 persen. Pada periode puncak musim hujan (DJF), La Nina tidak memberikan dampak peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia bagian tengah dan barat sebagai akibat interaksinya dengan sistem monsun.
Dengan adanya peningkatan curah hujan saat La Nina, masyarakat pun perlu waspada terhadap potensi sejumlah bencana hidrometeorologi basah, seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin kencang, puting beliung, bahkan badai tropis.
Kendati demikian, bukan diartikan tidak ada kemarau sama sekali pada saat terjadinya La Nina. Hanya, terjadi peningkatan curah hujan dalam periode tersebut sehingga seringkali disebut sebagai kemarau basah.
Meski berpotensi menghadapi La Nina, akhir-akhir ini Indonesia justru merasakan cuaca panas bahkan mencapai suhu ekstrem yakni 37 derajat celcius. Terkait hal ini, Dwikorita menjelaskan keduanya merupakan fenomena yang berbeda lantaran pada Oktober 2024, gerak semu matahari sedang berada di atas wilayah Indonesia bagian selatan, ditambah badai tropis Trami dan Kong-Rey di Filipina yang mengurangi tutupan awan, sehingga udara terasa lebih panas.
"Biasanya ketika gerak semu matahari itu ada tameng berupa awan-awan hujan, itu menjadi tidak ada, sehingga panas itu terasa maksimal. Jadi tidak ada pengaruhnya dari potensi La Nina," ujarnya.
Baca juga: BMKG Sebut El Nino Surut La Nina Datang, Apa Dampaknya di Indonesia?
Editor: Syaiful Millah
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan pihaknya telah mendeteksi adanya peluang terjadinya fenomena La Nina di Indonesia. Hal ini disebabkan pada pertengahan Oktober 2024, BMKG mendeteksi suhu muka air laut di Samudra Pasifik bagian ekuator hingga timur yang lebih dingin dari normal (-0,64°C), sehingga menjadi tanda adanya peluang La Nina.
Meski demikian, data tersebut baru merupakan hasil deteksi BMKG selama 10 hari. Untuk memutuskan apakah Indonesia benar-benar akan menghadapi La Nina, dibutuhkan waktu setidaknya 30 hari untuk memantau perkembangan tersebut.
"Akhir Oktober kita bisa memastikan apakah itu La Nina. Namun, alangkah baiknya mulai saat ini kita perlu bersiap, karena di pertengahan Oktober, telah terdeteksi perbedaan suhu muka air laut di Samudra Pasifik bagian ekuator tengah timur itu sudah lebih dingin dari normalnya," kata Dwikorita dalam sebuah video yang diunggah di akun Instagram BMKG.
Baca juga: Yuk Kenali Istilah dalam Informasi Cuaca, Apa Itu La Nina & El Nino?
Dwikorita menguraikan hasil analisis dinamika atmosfer Dasarian II Oktober menunjukkan hasil monitoring indeks Indian Ocean Dipole (IOD) dan El Nino Southern Oscillation (ENSO), menunjukkan indeks IOD melewati batas ambang IOD negatif (indeks -1,11), tapi baru berlangsung satu dasarian, sehingga statusnya tetap IOD netral.
Selain itu, anomali suhu permukaan laut (SST) di Nino 3.4 juga menunjukkan kondisi yang melewati batas ambang La Nina dengan indeks -0,64.
"Batasan La Nina itu perbedaan suhunya itu -0,5, ini sudah melampaui batas tadi. Sekarang sudah -0,64, artinya lebih dingin dari normalnya. Namun karena belum ada 30 hari, sehingga kita masih harus memastikan, tunggu sampai akhir Oktober itu masih semakin mendingin atau pulih kembali menuju normal. Jadi ada kewaspadaan," paparnya.
Mengutip situs resmi BMKG, La Nina merupakan kejadian anomali iklim global yang ditandai dengan keadaan suhu permukaan laut (SPL) atau sea surface temperature (SST) di Samudra Pasifik tropis bagian tengah dan timur yang lebih dingin dibandingkan suhu normalnya.
Kondisi ini biasanya diikuti dengan berubahnya pola sirkulasi Walker atau sirkulasi atmosfer arah timur barat yang terjadi di sekitar ekuator, di atmosfer yang berada di atasnya dan dapat mempengaruhi pola iklim dan cuaca global. Kondisi La Nina ini dapat berulang dalam beberapa tahun sekali dan setiap kejadian dapat bertahan sekitar beberapa bulan hingga dua tahun.
Dwikorita menjelaskan fenomena La Nina dapat meningkatkan curah hujan. Peningkatan curah hujan saat La Nina umumnya berkisar 20-40 persen lebih tinggi dibandingkan curah hujan saat tahun netral.
Namun, terdapat juga beberapa wilayah yang mengalami peningkatan curah hujan lebih dari 40 persen. Pada periode puncak musim hujan (DJF), La Nina tidak memberikan dampak peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia bagian tengah dan barat sebagai akibat interaksinya dengan sistem monsun.
Dengan adanya peningkatan curah hujan saat La Nina, masyarakat pun perlu waspada terhadap potensi sejumlah bencana hidrometeorologi basah, seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin kencang, puting beliung, bahkan badai tropis.
Kendati demikian, bukan diartikan tidak ada kemarau sama sekali pada saat terjadinya La Nina. Hanya, terjadi peningkatan curah hujan dalam periode tersebut sehingga seringkali disebut sebagai kemarau basah.
Meski berpotensi menghadapi La Nina, akhir-akhir ini Indonesia justru merasakan cuaca panas bahkan mencapai suhu ekstrem yakni 37 derajat celcius. Terkait hal ini, Dwikorita menjelaskan keduanya merupakan fenomena yang berbeda lantaran pada Oktober 2024, gerak semu matahari sedang berada di atas wilayah Indonesia bagian selatan, ditambah badai tropis Trami dan Kong-Rey di Filipina yang mengurangi tutupan awan, sehingga udara terasa lebih panas.
"Biasanya ketika gerak semu matahari itu ada tameng berupa awan-awan hujan, itu menjadi tidak ada, sehingga panas itu terasa maksimal. Jadi tidak ada pengaruhnya dari potensi La Nina," ujarnya.
Baca juga: BMKG Sebut El Nino Surut La Nina Datang, Apa Dampaknya di Indonesia?
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.