Lukisan karya Eddy Sulistyo berjudul Ilang Catetan (Sumber gambar: Eddy Sulistyo)

Lukisan Ilang Catetan Ungkap Sisi Lain Pangeran Diponegoro dan Keris Mistisnya

14 October 2024   |   18:33 WIB
Image
Yudi Supriyanto Jurnalis Hypeabis.id

Berbicara tentang Pangeran Diponegoro, ingatan banyak orang akan langsung tertuju kepada perang Jawa yang dipimpinnya dalam menghadapi para penjajah. Namun, di balik itu, semua ada sisi humanisme dari sang pahlawan yang mungkin tidak diketahui oleh banyak orang.

Lukisan berjudul Ilang Catetan karyaseniman Eddy Sulistyo menjadi salah satu karya dalam Pameran Sastra Rupa #2 Gambar Babad Diponegoro, Babad Ngayogyakarta HB IV-HB V. Dengan medium cat minyak, pensil, tinta, carchoal terhadap linen, karya tersebut berupaya menceritakan tentang keris Kiai Wisa Bintulu dan ramalan Ki Taslim.  

Dengan karya berukuran 150 cm x 150 cm pada 2024, sang seniman menggunakan gaya surealis dengan menyematkan simbol-simbol yang berhubungan dengan mistis, ramalan, dan sebagainya lewat keris, wajah orang, dan sebagainya.

Baca juga: Diangkat Jadi Film, Ini Histori di Balik Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh

Dalam lukisannya, terlihat bahwa sang pangeran sebagai karakter ditutupi ole keberadaan keris Kiai Wisa Bintulu yang menutupi mulut, satu mata, dan juga dahinya. Beberapa keris itu terlihat keluar dari seseorang yang berada di sampingnya.

Sebagaimana judulnya, seniman Eddy Sulistyo mengatakan bahwa diri mendapatkan bagian tentang misteri sebuah keris Pangeran Diponegoro bernama Keris Kiai Wisa Bintulu yang tidak ditemukan secara visual setelah dicari-cari.

Ketiadaan visual tersebut setelah melakukan pencarian dan bertanya kepada sejumlah ahli membuatnya merasakan penasaran, “Pertanyaan hingga kebiasaan saya dalam beberapa karya terbaru saya untuk melakukan riset, penelitian serta mengikuti ‘petunjuk’ agar bisa merasakan dan mendapat semangat yang melatarbelakangi inspirasi background dari sebuah karya,” katanya.

Tidak hanya itu, dalam proses berkarya, perjalanan dan situasi mencari sesuatu yang lampau memberikan semangat dan pengetahuan yang dalam. Dia juga mengungkapkan melakukan perjalanan ke beberapa tempat untuk melakukan riset sebelum membuat karya Ilang Catetan.

Dari hasil riset tersebut, keris dan kuda adalah dua hal yang tidak bisa dilepaskan dengan sosok Pangeran Diponegoro. Sang panglima perang memiliki banyak keris dan kuda, dan keberadaannya menjadikan sang pahlawan memiliki banyak aura yang terefleksikan dalam perjalanan hidup.

Keris itu juga yang menjadi alasan tersemat dalam Ilang Catetan sebagai salah satu simbol. Tidak hanya itu, keris dalam karya tersebut juga merupakan pengejawantahan diri sendiri yang memiliki arti bahwa jati diri seseorang seperti keris yang terbuat dari beberapa unsur, tanah, logam, api, dan air.

“Telah mengalami berbagai tempaan dengan api yang sangat panas, proses yang panjang dan teliti disertai dengan harapan, doa, dan keyakinan,” ujar Eddy.

Dia menuturkan, pada dasarnya, manusia terbuat dari sesuatu yang murni atau suci. Kemudian terproses dengan berbagai pengalaman dan perjuangan, sehingga menjadikan hasil yang sesuai dengan harapan yang ideal.

Sementara itu, simbol wajah di belakang keris dengan bunga kemuning dan melati menutupi atau tidak bermulut adalah gambaran bahwa perkataan manusia yang sangat perlu dijaga, seperti sanda pendhita ratu.

“Juga sebagai simbol bunga yang menjadi keberadaan petilasan Pangeran Diponegoro setiap menempati suatu tempat,” katanya.
 

Sama seperti Presiden Soekarno yang identik dengan peci hitam, Pangeran Diponegoro juga identik dengan sorban yang menutup kepala. Untuk itu, Eddy menggambar secara samar dan tersirat penutup kepala khas Jawa, yakni blankon.

Dia mencoba mencermati ketajaman rasa, cipta karsa dari Pangeran Diponegoro dengan menggambar wmata sebelah kanan yang pada intinya adalah arah tujuan yang benar belum tentu pener.

Pada latar belakang objek lukisan itu, dia juga membuat seperti awan yang tertiup angin dan lautan yang terbawa arus. Objek ini memiliki arti bahwa hidup seperti itu, yakni mengalir dan mengikuti apa yang sudah ditentukan Tuhan dengan segala sesuatu konsekuensinya, baik tantangan, godaan, dan perjuangan. Namun, tetap berpegang kepada Tuhan.

Adapun, keris yang menutupi mata sebelah kiri adalah keris yang memiliki pamor Omyang, yang dibuat oleh empu dengan cara dipijat dengan ibu jari, telunjuk, dan jari tengah. Simbol ini menceritakan seperti sejarah yang dibuat oleh campur tangan manusia.

Dalam pameran yang menampilkan sisi humanistik dari pangeran Diponegoro tersebut, Eddy mengatakan bahwa sang Pangeran adalah sosok yang lahir dan dibesarkan di Jawa dengan trah Jawa, sehingga mengalir tradisi Jawa yang kental dalam dirinya.

“Walaupun digembleng oleh ibu Ageng [Neneknya] dengan mendatangkan kiai-kiai dari seluruh pelosok untuk belajar Islam, sosok Pangeran Diponegoro tidak bisa lepas dari jiwa untuk nenepi, berpuasa, dan berhubungan dengan spiritual leluhurnya,” katanya.

Karya Eddy merupakan salah satu dari banyak seniman dalam pameran Pameran Sastra Rupa #2 Gambar Babad Diponegoro, Babad Ngayogyakarta HB IV-HB V.

Kurator Mikke Susanto mengatakan bahwa pameran ini memiliki misi – salah satunya – adalah menyosialisasikan sisi kepahlawanan Pangeran Diponegoro dalam konteks humanisme. Sisi humanistik sang pangeran jarang diketahui oleh masyarakat lantaran yang muncul seringkali berhubungan dengan kehidupannya dalam perang Jawa.

“Serangakain dengan itulah, pembacaan tentang sosok pahlawan nasional ini perlu diketengahkan sebagai sajian berharga bagi masyarakat,” katanya. 

Pameran Sastra Rupa #2 Babad Diponegoro ini mengambil inspirasi dari salah satu naskah penting Kraton Yogyakarta berjudul Babad Ngayogyakarta HB IV dumugi HB V. Kitab yang bernilai sejarah itu merupakan karya salah seorang pujangga yang mendapatkan perintah Sultan Hamengku Buwono VI.

Kemudian, karya tersebut disalin pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII. Sebagian besar isi karya tersebut menggambarkan tentang perang Jawa dan kisah perjuangan Pangeran Diponegoro yang mendapatkan julukan Satrio Pinandhito meskipun naskah yang ditulis oleh sang pujangga berjudul Babad Ngayogyakarta HB IV dan V.

Julukan yang tersemat dalam naskah tersebut menjelaskan bahwa bahwa historiografi Kraton mengenai Diponegoro tidak menempatkannyasebagai sosok antagonis. Sebaliknya, tindakan dan budi pekerti dari sang pangeran menjadi model dan panutan.

Dalam pameran ini, penyelenggara memberikan pecahan informasi yang menggambarkan tentang Pangeran Diponegoro dalam 39 narasi dan diberikan kepada para pelukis. Para seniman melakukan visualisasi sesuai dengan interpretasi dan gayanya.

“Hasilnya, Anda dapat melihat lukisan-lukisan yang disajikan bukanlah sepenuhnya 'dokumentasi' atau ilustrasi peristiwa atau lukisan sejarah an sich,” ujarnya. 

Karya dari para seniman tersebut memiliki fungsi ganda. Di satu sisi sebagai bentuk ekspresi simbolik individual. Di sisi lain, karya tersebut memiliki dimensi atau ilustrasi realitas sejarah. Karya dari para pelukis itu juga memiliki fungsi sebagai medium antara dan tidak mendapatkan batasan dari kepentingan bidang studi sejarah, tetapi lebi kepada kepentingan seni.

Lewat pameran yang akan berlangsung pada 15 Oktober-3 November 2024 itu, penyelenggara berharap nilai sejarah dan kearifan Diponegoro dapat terus tertanam di masyarakat dan makin banyak yang memahami perannya.

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

Serba-serbi Qingdao Youth Football Stadium, Venue Laga Timnas Indonesia vs China

BERIKUTNYA

Menikmati Wajah & Program Baru Museum Nasional Indonesia

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: