Tantangan SDM Animasi di Tengah Dominasi AI
11 October 2024 |
07:00 WIB
Industri animasi Indonesia tengah dihadapkan pada tantangan besar, terutama dalam hal sumber daya manusia (SDM) yang belum sepenuhnya siap menghadapi tuntutan zaman. Kehadiran kecerdasan buatan (AI) semakin mendesak para talenta di sektor ini untuk beradaptasi, namun banyak yang belum selaras dengan kebutuhan industri.
Melihat fenomena ini, Andre Surya, Founder Enspire School of Digital Art (ESDA), merespons dengan inovasi cerdas: program AI Visual Story. Program ini dirancang khusus untuk anak usia 7-12 tahun, mengajarkan mereka mengeksplorasi teknologi AI sambil menghidupkan imajinasi melalui cerita digital.
Baca juga: AI Gempur Industri Animasi, Waspada Geser Animator Hingga Kisruh Hak Cipta
“Saya setiap hari di industri. Kita harus adaptasi,” ujarnya kepada Hypeabis.id beberapa waktu lalu.
Sektor animasi memang tengah digempur era kecerdasan buatan. Di Jepang, AI generatif bahkan menjadi solusi untuk mengatasi krisis tenaga kerja animasi yang memilih berhenti karena upah yang minim.
Andre mengakui bahwa sulit untuk menghentikan laju perkembangan AI di berbagai sektor pekerjaan, termasuk animasi. Dengan teknologi yang berkembang pesat, tak terelakkan bahwa semakin banyak perusahaan besar, termasuk studio animasi, akan beralih menggunakan AI demi efisiensi proses kerja.
Di Indonesia sendiri, kebutuhan akan tenaga animasi yang mampu menguasai dan mengoperasikan AI semakin mendesak. Menurut Andre, jika para talenta animasi lokal tidak segera beradaptasi, posisi mereka berisiko tergantikan oleh teknologi yang kian dominan.
Faktanya, tidak sedikit talenta animasi di Indonesia masih terseok untuk mencari kerja karena belum menguasai AI. Oleh karena itu, ESDA sebagai tempat belajar akan memfasilitasi untuk mengembangkan kemampuan ini.
“Ini juga yang menjadi alasan kenapa kami mengubah kurikulum ke AI, biar [SDM] terserap industri di depannya,“ tutur Andre.
ESDA selama ini diketahui memiliki program 3D Akademi yang memberi jaminan kerja 99 persen diterima oleh industri. Andre menyebut lebih dari 250 lulusan ESDA yang sudah bekerja di studio animasi di dalam maupun luar negeri.
Dengan nama besar yang dibangunnya selama 23 tahun, Andre menyebut bahwa studio animasi hingga film sangat yakin dengan kualitas talenta yang ditelurkan ESDA. “Jadi, kalau mereka [industri] kurang [SDM], pasti minta kita. Buktinya 250 orang sudah terserap. Mereka semua puas,” sebutnya.
Andre memang bukan orang baru di industri ini. Dia dikenal sebagai desainer visual efek (VFX artist) yang sudah banyak terlibat dalam produksi film-film Hollywood. Pria berusia 39 tahun ini turut andil di balik layar film Iron Man, Terminator, Transformer, hingga Star Trek. Dia juga ikut membuat gim Star Wars.
Untuk menjaga kepercayaan industri, Andre lantas mencari solusi untuk para lulusan ESDA yang belum sempat mendapatkan pembelajaran tentang AI. Apakah akan ada materi atau program tambahan? Andre menyebut masih belum bisa menentukan ramuan yang pas.
Sementara itu, dia berharap agar pemerintah memberi perhatian lebih terhadap industri ini. Setidaknya, kepemilikan asing pada usaha sektor kreatif ini tidak lagi 100 persen. Sebab, dampaknya menurut Andre sangat berbahaya karena melumpuhkan perusahaan lokal mengingat upah yang diberikan tentu berbeda.
Kemudian, pemerintah perlu memberikan intensif terhadap perusahan animasi lokal agar bisa bangkit dan berkembang. “Proyek kalau ke Malaysia, dikasih ke perusahaan lokal itu cashback pemerintah 20 persen. Kalau di kita enggak ada, intinya pemerintah itu hampir bisa dibilang enggak ada perhatian ke industri ini,” tuturnya.
Padahal, industri animasi Indonesia menurutnya yang paling besar se-Asia Tenggara. Begitu pula dengan kuantitas dan kualitas SDM-nya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Melihat fenomena ini, Andre Surya, Founder Enspire School of Digital Art (ESDA), merespons dengan inovasi cerdas: program AI Visual Story. Program ini dirancang khusus untuk anak usia 7-12 tahun, mengajarkan mereka mengeksplorasi teknologi AI sambil menghidupkan imajinasi melalui cerita digital.
Baca juga: AI Gempur Industri Animasi, Waspada Geser Animator Hingga Kisruh Hak Cipta
“Saya setiap hari di industri. Kita harus adaptasi,” ujarnya kepada Hypeabis.id beberapa waktu lalu.
Sektor animasi memang tengah digempur era kecerdasan buatan. Di Jepang, AI generatif bahkan menjadi solusi untuk mengatasi krisis tenaga kerja animasi yang memilih berhenti karena upah yang minim.
Andre mengakui bahwa sulit untuk menghentikan laju perkembangan AI di berbagai sektor pekerjaan, termasuk animasi. Dengan teknologi yang berkembang pesat, tak terelakkan bahwa semakin banyak perusahaan besar, termasuk studio animasi, akan beralih menggunakan AI demi efisiensi proses kerja.
Di Indonesia sendiri, kebutuhan akan tenaga animasi yang mampu menguasai dan mengoperasikan AI semakin mendesak. Menurut Andre, jika para talenta animasi lokal tidak segera beradaptasi, posisi mereka berisiko tergantikan oleh teknologi yang kian dominan.
Faktanya, tidak sedikit talenta animasi di Indonesia masih terseok untuk mencari kerja karena belum menguasai AI. Oleh karena itu, ESDA sebagai tempat belajar akan memfasilitasi untuk mengembangkan kemampuan ini.
“Ini juga yang menjadi alasan kenapa kami mengubah kurikulum ke AI, biar [SDM] terserap industri di depannya,“ tutur Andre.
ESDA selama ini diketahui memiliki program 3D Akademi yang memberi jaminan kerja 99 persen diterima oleh industri. Andre menyebut lebih dari 250 lulusan ESDA yang sudah bekerja di studio animasi di dalam maupun luar negeri.
Dengan nama besar yang dibangunnya selama 23 tahun, Andre menyebut bahwa studio animasi hingga film sangat yakin dengan kualitas talenta yang ditelurkan ESDA. “Jadi, kalau mereka [industri] kurang [SDM], pasti minta kita. Buktinya 250 orang sudah terserap. Mereka semua puas,” sebutnya.
Andre memang bukan orang baru di industri ini. Dia dikenal sebagai desainer visual efek (VFX artist) yang sudah banyak terlibat dalam produksi film-film Hollywood. Pria berusia 39 tahun ini turut andil di balik layar film Iron Man, Terminator, Transformer, hingga Star Trek. Dia juga ikut membuat gim Star Wars.
Untuk menjaga kepercayaan industri, Andre lantas mencari solusi untuk para lulusan ESDA yang belum sempat mendapatkan pembelajaran tentang AI. Apakah akan ada materi atau program tambahan? Andre menyebut masih belum bisa menentukan ramuan yang pas.
Sementara itu, dia berharap agar pemerintah memberi perhatian lebih terhadap industri ini. Setidaknya, kepemilikan asing pada usaha sektor kreatif ini tidak lagi 100 persen. Sebab, dampaknya menurut Andre sangat berbahaya karena melumpuhkan perusahaan lokal mengingat upah yang diberikan tentu berbeda.
Kemudian, pemerintah perlu memberikan intensif terhadap perusahan animasi lokal agar bisa bangkit dan berkembang. “Proyek kalau ke Malaysia, dikasih ke perusahaan lokal itu cashback pemerintah 20 persen. Kalau di kita enggak ada, intinya pemerintah itu hampir bisa dibilang enggak ada perhatian ke industri ini,” tuturnya.
Padahal, industri animasi Indonesia menurutnya yang paling besar se-Asia Tenggara. Begitu pula dengan kuantitas dan kualitas SDM-nya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.