Polaris Dawn, Misi Antariksa untuk Periksa Kesehatan Manusia di Luar Angkasa
30 September 2024 |
07:30 WIB
Misi antariksa Polaris Dawn milik SpaceX berhasil mencetak sejarah dengan melakukan spacewalk pertama yang dilakukan oleh perusahaan swasta. Meskipun dipandang sebagai sejarah, komandan misi Jared Isaacman menekankan perjalanan ini tidak untuk bersenang-senang, melainkan berkontribusi pada ilmu pengetahuan.
Program Polaris secara khusus meneliti kesehatan dan efek penerbangan antariksa terhadap tubuh manusia. Misi saat ini akan dipelajari oleh sekolah kedokteran swasta di Houston, Texas, Amerika Serikat Baylor College of Medicine.
Wakil Direktur Institut Penelitian Translasional untuk Kesehatan Antariksa, Baylor Jimmy Wu, mengatakan bahwa misi ini merupakan kesempatan untuk melihat paparan radiasi yang didapat ketika para astronaut makin jauh dari permukaan bumi.
“Ini adalah sesuatu yang kita tidak punya banyak datanya, karena kita terbatas pada jumlah manusia yang sudah sejauh itu. Jadi ini sangat penting untuk dipahami,” ujarnya mengutip dari The Verge.
Baca juga: SpaceX Luncurkan Misi Polaris Dawn, Langkah Pertama Menuju Penjelajahan Luar Angkasa Komersial
Astronaut akan memberikan darah dan menjalani pengujian biomedis ekstensif saat sebelum dan sesudah penerbangan. Mereka juga dibekali dengan sensor untuk mengukur paparan radiasi kumulatif selama misi. Interior pesawat ruang angkasa juga dilengkapi dengan sensor untuk mendeteksi berbagai jenis radiasi di lingkungan.
Para peneliti kesehatan melihat data yang dikumpulkan dari misi luar angkasa, baik dari badan antariksa maupun perusahaan swasta, sebagai sumber informasi penting. Menurut para ahli, meskipun durasi misi Polaris Dawn lebih pendek, hal ini tetap membuka peluang untuk mempelajari dampak jangka pendek penerbangan luar angkasa pada tubuh manusia.
Penelitian seperti ini menjadi penting dalam misi-misi singkat, karena tubuh manusia sering kali menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan gravitasi dalam hitungan jam atau hari. Hal ini membuat perjalanan seperti Polaris Dawn sangat relevan untuk mengeksplorasi efek yang cepat dan akut dari penerbangan luar angkasa.
Aspek penelitian kesehatan yang menjadi fokus lainnya adalah hubungan antara berbagai faktor dalam penerbangan luar angkasa dan bagaimana mereka saling memengaruhi. Seperti memahami efek dari mikrografi, paparan radiasi, atau isolasi dan memahami tekanan kumulatif pada tubuh yang diakibatkan oleh perjalanan ke luar angkasa.
Dampak gabungan dari berbagai faktor ini adalah kunci untuk memahami bagaimana penerbangan antariksa memengaruhi kesehatan jangka panjang astronaut.
Selain itu, para kru juga menguji coba pemindai Ultrasound berukuran mini yang dapat mereka gunakan untuk memindai tubuh mereka sendiri, dan mengumpulkan data medis. Para peneliti tidak hanya mengevaluasi kinerja perangkat tersebut, tetapi juga mencari metode terbaik untuk melatih kru dalam penggunaannya.
Pengembangkan metode paling efektif untuk melatih para profesional non-medis dalam menggunakan perangkat diagnostik, serta merancang perangkat tersebut agar lebih kecil dan tangguh, ternyata memiliki manfaat yang lebih luas dari sekadar penggunaan di luar angkasa.
Teknologi ini juga bisa sangat berguna di Bumi, khususnya di daerah pedesaan atau wilayah yang minim akses terhadap layanan medis. “Jika Anda bisa menjaga seseorang tetap sehat di tempat terpencil di luar angkasa, Anda seharusnya bisa melakukan hal yang sama di mana saja di Bumi,” jelas Wu.
Misi ini adalah langkah pertama dari tiga rangkaian yang akan mengirimkan krunya lebih jauh dari Bumi dibandingkan sejak era misi Apollo. Dengan ketinggian 870 mil di atas permukaan bumi, menjadikannya lebih tinggi dari rata-rata Stasiun Luar Angkasa Internasional yang hanya 250 mil.
Baca juga: Wisata Kuliner di Luar Angkasa Bakal Tersedia Tahun 2025, Segini Harganya
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Program Polaris secara khusus meneliti kesehatan dan efek penerbangan antariksa terhadap tubuh manusia. Misi saat ini akan dipelajari oleh sekolah kedokteran swasta di Houston, Texas, Amerika Serikat Baylor College of Medicine.
Wakil Direktur Institut Penelitian Translasional untuk Kesehatan Antariksa, Baylor Jimmy Wu, mengatakan bahwa misi ini merupakan kesempatan untuk melihat paparan radiasi yang didapat ketika para astronaut makin jauh dari permukaan bumi.
“Ini adalah sesuatu yang kita tidak punya banyak datanya, karena kita terbatas pada jumlah manusia yang sudah sejauh itu. Jadi ini sangat penting untuk dipahami,” ujarnya mengutip dari The Verge.
Baca juga: SpaceX Luncurkan Misi Polaris Dawn, Langkah Pertama Menuju Penjelajahan Luar Angkasa Komersial
Astronaut akan memberikan darah dan menjalani pengujian biomedis ekstensif saat sebelum dan sesudah penerbangan. Mereka juga dibekali dengan sensor untuk mengukur paparan radiasi kumulatif selama misi. Interior pesawat ruang angkasa juga dilengkapi dengan sensor untuk mendeteksi berbagai jenis radiasi di lingkungan.
Para peneliti kesehatan melihat data yang dikumpulkan dari misi luar angkasa, baik dari badan antariksa maupun perusahaan swasta, sebagai sumber informasi penting. Menurut para ahli, meskipun durasi misi Polaris Dawn lebih pendek, hal ini tetap membuka peluang untuk mempelajari dampak jangka pendek penerbangan luar angkasa pada tubuh manusia.
Penelitian seperti ini menjadi penting dalam misi-misi singkat, karena tubuh manusia sering kali menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan gravitasi dalam hitungan jam atau hari. Hal ini membuat perjalanan seperti Polaris Dawn sangat relevan untuk mengeksplorasi efek yang cepat dan akut dari penerbangan luar angkasa.
Views from Dragon in flight
— SpaceX (@SpaceX) September 27, 2024
During its five day mission, Dragon and the Polaris Dawn crew completed 75 orbits around Earth pic.twitter.com/NzIFElzXAm
Aspek penelitian kesehatan yang menjadi fokus lainnya adalah hubungan antara berbagai faktor dalam penerbangan luar angkasa dan bagaimana mereka saling memengaruhi. Seperti memahami efek dari mikrografi, paparan radiasi, atau isolasi dan memahami tekanan kumulatif pada tubuh yang diakibatkan oleh perjalanan ke luar angkasa.
Dampak gabungan dari berbagai faktor ini adalah kunci untuk memahami bagaimana penerbangan antariksa memengaruhi kesehatan jangka panjang astronaut.
Selain itu, para kru juga menguji coba pemindai Ultrasound berukuran mini yang dapat mereka gunakan untuk memindai tubuh mereka sendiri, dan mengumpulkan data medis. Para peneliti tidak hanya mengevaluasi kinerja perangkat tersebut, tetapi juga mencari metode terbaik untuk melatih kru dalam penggunaannya.
Pengembangkan metode paling efektif untuk melatih para profesional non-medis dalam menggunakan perangkat diagnostik, serta merancang perangkat tersebut agar lebih kecil dan tangguh, ternyata memiliki manfaat yang lebih luas dari sekadar penggunaan di luar angkasa.
Teknologi ini juga bisa sangat berguna di Bumi, khususnya di daerah pedesaan atau wilayah yang minim akses terhadap layanan medis. “Jika Anda bisa menjaga seseorang tetap sehat di tempat terpencil di luar angkasa, Anda seharusnya bisa melakukan hal yang sama di mana saja di Bumi,” jelas Wu.
Misi ini adalah langkah pertama dari tiga rangkaian yang akan mengirimkan krunya lebih jauh dari Bumi dibandingkan sejak era misi Apollo. Dengan ketinggian 870 mil di atas permukaan bumi, menjadikannya lebih tinggi dari rata-rata Stasiun Luar Angkasa Internasional yang hanya 250 mil.
Baca juga: Wisata Kuliner di Luar Angkasa Bakal Tersedia Tahun 2025, Segini Harganya
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.