Tim Konservator Melakukan Proses Identifikasi Koleksi MNI yang Terdampak Kebakaran (sumber gambar MCB)

Inovasi Lokal Diperlukan dalam Kegiatan Konservasi Museum dan Cagar Budaya

21 August 2024   |   18:00 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Inovasi lokal memainkan peran penting dalam kegiatan konservasi museum dan cagar budaya. Menggabungkannya dengan teknologi modern tidak hanya dapat meningkatkan efektivitas konservasi, tetapi juga memastikan keberlanjutan dan relevansi budaya dalam pelestarian cagar budaya. 

Selain tidak meninggalkan ekses berlebih, praktik ini diklaim juga ramah lingkungan karena telah berkembang secara alami untuk beradaptasi dengan kondisi setempat. Pemanfaatan tanaman lokal yang memiliki sifat antimikroba misalnya, kerap digunakan untuk mengobati kayu agar terhindar dari kerusakan biologis.

Premis inilah sekiranya yang menjadi benang merah webinar publik bertajuk “Ruang Wicara Reimajinasi Warisan Budaya: Museum dan Koleksi untuk Semua”. Dihelat oleh Indonesian Heritage Agency dan The University of Melbourne, diskusi ini menghadirkan para ahli konservator karya seni dan cagar budaya di Asia Tenggara.

Baca juga: Tantangan Museum dalam Memperkuat Pemahaman Seni di Indonesia
 

Dipandu oleh Nicole Tse, profesor konservasi dari Universitas Melbourne, diskusi menghadirkan pemateri Maria Bernardita Maronilla-Reyes, Musrizal Mat Isa, dan Mohamad Habibi. Ketiganya merupakan pakar konservasi dari Manila, Malaysia, dan Indonesia yang telah menangani beragam benda cagar budaya. 

Dalam salah satu paparannya, Mohamad Habibi, Pamong Budaya Ahli Indonesian Heritage Agency mengatakan, sejauh ini pihaknya juga masih menggunakan bahan-bahan alam dan lokal untuk tujuan konservasi. Salah satunya dengan menggunakan lem anchor dan gondorukem yang didapat dari resin batang tusam Sumatra (Pinus merkusii).

Perekat dari gondorukem itu, dalam upaya konservasinya dikombinasikan dengan berbagai macam pelarut. Jika menggunakan tanin, misalnya, maka bahan yang digunakan pelarut aseton, etanol dan formaldehyde, sedangkan untuk bahan gondorukem digunakan pelarut tiner, minyak cat dan toluol, dengan daya uji perekat secara berlapis.

"Ketika kami bandingkan lem-lem alami ini dengan lem komersil itu ternyata lebih kuat, jadi ini indikasi yang kuat bagi kami untuk tetap menggunakan bahan-bahan yang lebih ramah lingkungan ini dibanding senyawa kimia lain," katanya pada Rabu, (21/8/24) via daring.
 

Webinar “Ruang Wicara Reimajinasi Warisan Budaya: Museum dan Koleksi untuk Semua” (sumber gambar/tangkapan layar)

Webinar “Ruang Wicara Reimajinasi Warisan Budaya: Museum dan Koleksi untuk Semua” (sumber gambar/tangkapan layar)

Selaras, Musrizal Mat Isa dari MMI Conservation Art Service Sdn.Bhd, Kuala Lumpur juga mengamini penggunaan material alami untuk konservasi. Sebab, selain lebih ekonomis, berbagai bahan dan material ini juga lebih mudah untuk didapat dibandingkan harus mengimpor bahan-bahan lain yang mengakibatkan biaya konservasi membengkak.

Kendati begitu, penelitian lebih lanjut juga tetap diperlukan untuk memastikan bahwa metode ini tidak memiliki efek samping yang merugikan dalam jangka panjang. Problem ini juga menjadi simalakama, sebab saat mereka beralih menggunakan material sintetis, biasanya karakteristiknya ikut berubah selama pengiriman, akibat perbedaan iklim. 

"Material dan biaya juga menjadi salah satu permasalahan dalam upaya konservasi. Karena sebagian besar material konservasi belum bisa didapat di negara kami. Bahkan kami belum mendapat supplier untuk berbagai jenis material tersebut, misalnya kertas, pigmen dan yang lain," kata konservator lukisan itu.

Sementara itu, Maria Bernardita mengatakan, cukup beruntung untuk dapat mengakses material konservasi. Sebab, di negaranya tempatnya bekerja sudah memiliki supplier lokal yang menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan konservator. Dengan cepatnya arus informasi, tantangan tersebut sebenarnya bukan menjadi permasalahan jika ekosistem terkait sudah saling terhubung.

"Di beberapa kasus saya bahkan meminta klien untuk membayar DP terlebih dahulu. Untuk bahan konservasi kami biasanya menggunakan chiang mai paper dari Thailand. Ini sebenarnya bukan sesuatu yang sangat rumit karena bisa dibeli di Amazon dan yang lain,"katanya.

Baca juga: Daftar Museum yang Mengalami Penyesuaian Tarif, Cek Perubahan Harga Lama & Baru

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Solois Pamungkas Rilis Album Kelima Berjudul Hardcore Romance dengan Single Fight Some More

BERIKUTNYA

Kasus Mpox di Indonesia Melonjak, Kenali Cara Penularan dan Gejalanya

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: