Survei Ungkap Dating App Mulai Ditinggalkan, Kencan Tradisional Kembali Dilirik
11 July 2024 |
09:30 WIB
Aplikasi kencan terbilang telah turun pamor. Romansa digital mulai ditinggalkan para anak muda yang kini memilih cara-cara tradisional untuk mencari pasangan. Mereka saat ini lebih suka tatap muka, ketimbang harus menggeser foto di aplikasi kencan online.
Menurut hasil survei Lunch Actually, pelopor biro jodoh dengan konsep makan siang pertama di Asia melihat penurunan bertahap popularitas budaya swipe. Survei ini menemukan fakta bahwa hanya 12 persen jomblo yang menggunakan aplikasi kencan setiap hari, sedangkan 42 persen lainnya tidak menggunakan aplikasi kencan apa pun.
Baca juga: 4 Strategi Berkencan dari Buku How To Not Die Alone
Budaya swipe biasanya mengacu pada kebiasaan menggunakan aplikasi kencan dimana pengguna menilai orang lain dengan cepat berdasarkan profil singkat, seringkali hanya foto. Istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan proses swipe kiri (reject) atau kanan (like) di aplikasi kencan.
Selain itu, 48 persen jomblo tidak bertemu dengan siapa pun di aplikasi kencan pada 2023, meskipun 72 persen dari mereka aktif mencoba berkencan atau mencoba untuk bertemu dengan orang baru. CEO dan Co-Founder dari Lunch Actually Group Violet Lim, mengatakan ada beberapa dampak yang disebabkan oleh budaya swipe ini terhadap para jomblo di Indonesia.
“Kami mengamati dampak di mana kenyamanan dalam menggunakan aplikasi kencan telah meningkatkan ekspektasi akan koneksi yang instan, sedangkan keinginan untuk mendapatkan koneksi mendalam dan hubungan yang nyata, semakin besar,” ujarnya dikutip dari siaran pers, Rabu (10/7/2024).
Dia menyebut para jomblo di Indonesia mulai menyadari bahwa komunikasi dan hubungan emosional merupakan aspek yang sangat penting dan perlu diprioritaskan agar suatu hubungan dapat bertahan dalam jangka panjang. Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, referensi yang mendasar lebih penting bagi para jomblo, seperti bentuk tubuh pasangan mereka untuk pria (43 persen) dan jumlah pendapatan untuk wanita (62 persen).
Violet menyebut saat ini, 84 persen jomblo lebih memilih komunikasi dan hubungan emosional, sementara 24 persen lainnya lebih tertarik pada fisik. Berikut ini sejumlah faktor pergeseran dari budaya nge-swipe mejadi kembali ke pendekatan tradisional.
Aplikasi kencan semakin populer beberapa tahun belakangan ini, alhasil para jomblo semakin mudah bertemu dengan pria/wanita jomblo lainnya. Biasanya, 50 persen pengguna chatting dan berkomunikasi dengan 1-2 orang yang berbeda di saat bersamaan di aplikasi kencan, sementara 37 persen lainnya berkomunikasi dengan 3-5 orang.
Banyaknya teman chatting membuat para jomblo tidak lagi menghargai ‘kencan’ dan tidak merasakan urgensi untuk bertemu seseorang. Mereka berbicara dengan banyak orang dalam satu waktu dan merencanakan kencan dengan orang-orang yang berbeda sehingga mudah untuk kehilangan minat dan menganggap remeh ‘kecocokan’ dengan seseorang.
Aplikasi kencan juga membuat para jomblo merasakan 'paradoks dalam memilih'. Istilah ini menunjukkan ketika kita memiliki terlalu banyak pilihan, kita cenderung mengalami kelumpuhan analisis dan akhirnya tidak memilih siapapun apa pun.
Aplikasi kencan bisa jadi sangat mengedepankan kriteria secara fisik, sehingga kecocokan secara koneksi tidak lagi diprioritaskan. Misalnya, kamu memilih profil berdasarkan kesan pertama, yang tentu saja adalah foto profilnya.
Jadi, ketika sudah menyukai apa yang dilihat, terkadang pengguna aplikasi kencan cenderung tidak memprioritaskan aspek-aspek seperti kesamaan nilai atau apakah hubungan tersebut akan bertahan dalam jangka panjang. Sementara itu, survei menemukan bahwa 65 persen pengguna aplikasi kencan pernah mengalami catfished (chatting dengan profil palsu).
Oleh karena itu, para jomblo mungkin menghabiskan terlalu banyak waktu untuk berbicara dengan seseorang, hanya untuk mengetahui bahwa mereka tidak cocok di kemudian hari.
Orang-orang beralih kembali ke layanan biro jodoh offline karena tingkat kepercayaan dan keaslian profil yang lebih tinggi dibandingkan dengan platform online. Sebagian besar layanan biro jodoh menjanjikan proses verifikasi, sayangnya di aplikasi kencan belum melakukan filter yang sama. Sebanyak 73 persen pengguna aplikasi kencan pernah mengalami dikontak oleh penipu.
Privasi data menjadi salah satu faktor para jomblo kembali beralih ke metode konvensional. Faktanya, 56 persen para jomblo telah dihubungi atau didekati dengan cara yang membuat mereka merasa tidak nyaman.
Dengan meningkatnya kesadaran akan privasi data dan risiko keamanan yang ada di aplikasi kencan, beberapa orang mungkin lebih memilih untuk bertemu dengan calon pasangan di lingkungan yang lebih tradisional. Mereka lebih memiliki kontrol lebih besar atas informasi yang diberikan tentang diri mereka sendiri.
Orang-orang beralih ke layanan biro jodoh offline seiring dengan berkembangnya tujuan kencan. Belakangan ini, para jomblo di Indonesia semakin serius dalam mencari pasangan. Survei Lunch Actually menunjukkan 40 persen jomblo di Indonesia ingin menikah dalam waktu dekat.
Memang pada dasarnya orang yang menggunakan aplikasi kencan ingin menjalin hubungan kasual, tetapi tak jarang mereka menjadi korban ghosting melalui aplikasi kencan. Kaum muda Indonesia saat ini masih memiliki keinginan kuat untuk menikah dan menjalin hubungan jangka panjang. Mereka mendambakan hubungan yang tulus dan serius untuk seumur hidup.
Baca juga: Waspada Romance Scam di Aplikasi Kencan, Kenali Ciri-ciri dan Cara Menghindarinya
Editor: Dika Irawan
Menurut hasil survei Lunch Actually, pelopor biro jodoh dengan konsep makan siang pertama di Asia melihat penurunan bertahap popularitas budaya swipe. Survei ini menemukan fakta bahwa hanya 12 persen jomblo yang menggunakan aplikasi kencan setiap hari, sedangkan 42 persen lainnya tidak menggunakan aplikasi kencan apa pun.
Baca juga: 4 Strategi Berkencan dari Buku How To Not Die Alone
Budaya swipe biasanya mengacu pada kebiasaan menggunakan aplikasi kencan dimana pengguna menilai orang lain dengan cepat berdasarkan profil singkat, seringkali hanya foto. Istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan proses swipe kiri (reject) atau kanan (like) di aplikasi kencan.
Selain itu, 48 persen jomblo tidak bertemu dengan siapa pun di aplikasi kencan pada 2023, meskipun 72 persen dari mereka aktif mencoba berkencan atau mencoba untuk bertemu dengan orang baru. CEO dan Co-Founder dari Lunch Actually Group Violet Lim, mengatakan ada beberapa dampak yang disebabkan oleh budaya swipe ini terhadap para jomblo di Indonesia.
“Kami mengamati dampak di mana kenyamanan dalam menggunakan aplikasi kencan telah meningkatkan ekspektasi akan koneksi yang instan, sedangkan keinginan untuk mendapatkan koneksi mendalam dan hubungan yang nyata, semakin besar,” ujarnya dikutip dari siaran pers, Rabu (10/7/2024).
Dia menyebut para jomblo di Indonesia mulai menyadari bahwa komunikasi dan hubungan emosional merupakan aspek yang sangat penting dan perlu diprioritaskan agar suatu hubungan dapat bertahan dalam jangka panjang. Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, referensi yang mendasar lebih penting bagi para jomblo, seperti bentuk tubuh pasangan mereka untuk pria (43 persen) dan jumlah pendapatan untuk wanita (62 persen).
Violet menyebut saat ini, 84 persen jomblo lebih memilih komunikasi dan hubungan emosional, sementara 24 persen lainnya lebih tertarik pada fisik. Berikut ini sejumlah faktor pergeseran dari budaya nge-swipe mejadi kembali ke pendekatan tradisional.
1. Paradoks dalam memilih
Aplikasi kencan semakin populer beberapa tahun belakangan ini, alhasil para jomblo semakin mudah bertemu dengan pria/wanita jomblo lainnya. Biasanya, 50 persen pengguna chatting dan berkomunikasi dengan 1-2 orang yang berbeda di saat bersamaan di aplikasi kencan, sementara 37 persen lainnya berkomunikasi dengan 3-5 orang.Banyaknya teman chatting membuat para jomblo tidak lagi menghargai ‘kencan’ dan tidak merasakan urgensi untuk bertemu seseorang. Mereka berbicara dengan banyak orang dalam satu waktu dan merencanakan kencan dengan orang-orang yang berbeda sehingga mudah untuk kehilangan minat dan menganggap remeh ‘kecocokan’ dengan seseorang.
Aplikasi kencan juga membuat para jomblo merasakan 'paradoks dalam memilih'. Istilah ini menunjukkan ketika kita memiliki terlalu banyak pilihan, kita cenderung mengalami kelumpuhan analisis dan akhirnya tidak memilih siapapun apa pun.
2. Kelelahan berkencan
Aplikasi kencan bisa jadi sangat mengedepankan kriteria secara fisik, sehingga kecocokan secara koneksi tidak lagi diprioritaskan. Misalnya, kamu memilih profil berdasarkan kesan pertama, yang tentu saja adalah foto profilnya. Jadi, ketika sudah menyukai apa yang dilihat, terkadang pengguna aplikasi kencan cenderung tidak memprioritaskan aspek-aspek seperti kesamaan nilai atau apakah hubungan tersebut akan bertahan dalam jangka panjang. Sementara itu, survei menemukan bahwa 65 persen pengguna aplikasi kencan pernah mengalami catfished (chatting dengan profil palsu).
Oleh karena itu, para jomblo mungkin menghabiskan terlalu banyak waktu untuk berbicara dengan seseorang, hanya untuk mengetahui bahwa mereka tidak cocok di kemudian hari.
3. Kepercayaan dan keaslian profil
Orang-orang beralih kembali ke layanan biro jodoh offline karena tingkat kepercayaan dan keaslian profil yang lebih tinggi dibandingkan dengan platform online. Sebagian besar layanan biro jodoh menjanjikan proses verifikasi, sayangnya di aplikasi kencan belum melakukan filter yang sama. Sebanyak 73 persen pengguna aplikasi kencan pernah mengalami dikontak oleh penipu.
4. Masalah privasi
Privasi data menjadi salah satu faktor para jomblo kembali beralih ke metode konvensional. Faktanya, 56 persen para jomblo telah dihubungi atau didekati dengan cara yang membuat mereka merasa tidak nyaman. Dengan meningkatnya kesadaran akan privasi data dan risiko keamanan yang ada di aplikasi kencan, beberapa orang mungkin lebih memilih untuk bertemu dengan calon pasangan di lingkungan yang lebih tradisional. Mereka lebih memiliki kontrol lebih besar atas informasi yang diberikan tentang diri mereka sendiri.
5. Tujuan jangka panjang
Orang-orang beralih ke layanan biro jodoh offline seiring dengan berkembangnya tujuan kencan. Belakangan ini, para jomblo di Indonesia semakin serius dalam mencari pasangan. Survei Lunch Actually menunjukkan 40 persen jomblo di Indonesia ingin menikah dalam waktu dekat. Memang pada dasarnya orang yang menggunakan aplikasi kencan ingin menjalin hubungan kasual, tetapi tak jarang mereka menjadi korban ghosting melalui aplikasi kencan. Kaum muda Indonesia saat ini masih memiliki keinginan kuat untuk menikah dan menjalin hubungan jangka panjang. Mereka mendambakan hubungan yang tulus dan serius untuk seumur hidup.
Baca juga: Waspada Romance Scam di Aplikasi Kencan, Kenali Ciri-ciri dan Cara Menghindarinya
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.