Pentas musik Campursari yang digelar oleh Kemendikbud. (Sumber foto: Kemendikbud.go.id)

Mengenal Lebih Dekat Musik Campursari, Kombinasi Tradisional & Modern

01 July 2024   |   15:36 WIB
Image
Wildan Adil Hilba Mahasiswa Universitas Budi Luhur Jakarta

Campursari adalah genre musik yang berasal dari Jawa Tengah dan pertama kali diperkenalkan pada 1960-an. Genre ini merupakan perpaduan antara alat musik tradisional Jawa dan instrumen modern, menciptakan harmoni yang unik dan khas.

Pada awalnya, campursari hanya memainkan alat musik tradisional seperti kendang, demung, saron, gender, dan gong, yang lazim digunakan dalam gamelan Jawa, khususnya di daerah Jepara.

Baca juga: Hypereport: Metamorfosis Dangdut dari Irama Melayu hingga Feel Koplo

Perkembangan musik campursari kemudian mengalami perubahan signifikan pada 1990, Manthous, salah satu pelopor campursari, memperkenalkan instrumen modern seperti bass, keyboard, dan gitar elektrik ke dalam ansambel musik ini. Penambahan instrumen modern ini memperkaya nuansa musikal campursari, menjadikannya lebih variatif dan mampu menarik minat khalayak yang lebih luas.

Di era modern, Genhype mungkin mengenal Didi Kempot, seorang musisi legendaris dari Indonesia, yang memainkan peran penting dalam popularitas musik campursari. Selama hidupnya, Didi Kempot merilis sekitar 700 karya campursari yang berhasil menembus pasar internasional, membawa musik ini dikenal di luar negeri.

Kesuksesan Didi Kempot membantu memperkenalkan dan mempopulerkan campursari di kancah internasional, sekaligus menjaga eksistensi genre musik ini di tengah dominasi genre musik populer lainnya.

Ciri khas musik campursari tidak hanya terletak pada perpaduan alat musik tradisional dan modern, tetapi juga pada penggunaan tangga nada atau laras Pelog dan Slendro, yang menciptakan suasana musik yang khas dan sarat akan nuansa budaya Jawa.
 
Menurut jurnal yang diterbitkan oleh Universitas Negeri Semarang, Laras Pelog menciptakan suasana yang serius, gagah, agung, keramat, dan sakral, terutama dalam permainan gendhing yang menggunakan Laras Pelog nem.

Dalam musik campursari, istilah atau unen-unen yang digunakan untuk menunjukkan tangga nada pelog adalah 1 (ji) – 2 (ro) – 3 (lu) – 4 (pat) – 5 (mo) – 6 (nem) – 7 (pi). Dalam sistem tangga nada diatonis, unen-unen tangga nada pelog dapat ditunjukkan dengan cara berikut: ji (do), ro (re), pat (fa), mo (sol), nem (la), pi (si).

Sementara itu, Laras Slendro menggunakan 5 nada yang menciptakan suasana musik Jawa ketika dimainkan. Secara teoritis, setiap jarak nada antara satu nada dengan yang lain dalam laras slendro adalah 240 cent (Mardowo, 2010: 2).

Nada yang terdapat dalam bilah Slendro adalah 1 (ji), 2 (ro), 3 (lu), 5 (mo), 6 (nem). Dalam hal ini, tangga nada diatonis dan pentatonis dikombinasikan sebagai pengiring lagu dalam pertunjukan musik campursari, sesuai dengan jenis lagu yang akan dibawakan, yang dapat menggunakan tangga nada diatonis mayor atau minor dengan pentatonis pelog atau slendro.

Ciri khas lainnya dapat dilihat dari segi penampilan panggung. Penampilan panggung ini juga menjadi faktor penting dalam menjaga eksistensi sebuah grup musik. Melalui penampilan ini, penonton dapat menilai kualitas grup musik dari segi kekompakan vokal dan tim pengiring, kostum yang dikenakan, dan tatanan panggung yang memberikan nilai tambah, sehingga tetap menjadi pilihan masyarakat sebagai sajian musik hiburan.

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

Editor: Nirmala Aninda
 

SEBELUMNYA

Upaya Menyegarkan Wajah Museum dengan Pemerataan Kompetensi SDM

BERIKUTNYA

Mengenal Windows Defender yang Dilumpuhkan Sebelum PDNS Diserang

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: