Ternyata Makanan Bisa Memicu Migrain, Cek Faktor Pencetus Lainnya
19 June 2024 |
20:30 WIB
Tidak hanya penyakit kardiovaskular, Indonesia juga tengah bergulat melawan penyakit migrain. Insidensi migrain di Indonesia meninggi seiring dengan faktor risiko yang menyertainya. Mereka yang berada pada usia produktif menjadi yang paling rentan terserang migrain.
Dokter Spesialis Saraf RSUP Dr. M Djamil Padang Restu Susanti menjelaskan, usia 45-49 tahun berisiko tinggi mengalami migrain hingga 5-6 kali. Tren menunjukkan usia pasien migrain terus bergerak ke atas seiring dengan faktor yang menyertai usia tersebut.
Baca juga: Ketahui Faktor Risiko & Fase Serangan Migrain, Bukan Sakit Kepala Biasa
"Usia produktif ini berisiko lebih tinggi karena mereka rentan mengalami stres yang triggernya dari gangguan istirahat dan pola makan, yang bisa menyebabkan migrain juga,” kata Restu. Selain itu, wanita juga memiliki risiko lebih tinggi terkena migrain dibanding pria.
Laporan American Migraine Prevalence and Prevention Study menyatakan, migrasi merupakan penyebab disabilitas kedua pada wanita muda. Insiden tertinggi terjadi pada usia 20-24 tahun dengan durasi serangan dan waktu pemulihan yang lebih lama.
“Prevalensi pada wanita 18,9 %, sementara pada laki-laki 9,8%. Insidensinya juga makin meningkat tiap tahun di Indonesia, India, China, dan Amerika Serikat,” katanya.
Memang, tak ada satu penyebab pasti dari kondisi migrain. Migrain adalah kelainan neurologis yang tidak hanya menyebabkan sakit kepala, tetapi seringkali juga merupakan kumpulan gejala yang dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari. Penyebabnya bisa juga diakibatkan dari perubahan kimiawi tubuh dan otak atau faktor genetik yang turut menyumbang penyebab separuh atau semua migran.
Dokter Spesialis Neurologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Henry Riyanto Sofyan mengatakan, perlu diperhatikan bahwa migrain memiliki banyak faktor pencetus. Faktor-faktor seperti stres dan perubahan hormonal mungkin lebih familiar. Namun, faktor lainnya seperti melewatkan makan, perubahan cuaca, aktivitas fisik intens, hingga perubahan pola tidur juga turut mempengaruhi.
Tak hanya itu, obat-obatan, alkohol hingga bau yang menyengat juga bisa mencetuskan migrain. Bagi beberapa penderitanya, rangsangan indera berupa suara keras dan cahaya terang juga bisa mendorong terjadinya migrain.
Selain itu, Henry menjelaskan bahwa konsumsi jenis makan tertentu mungkin bisa menjadi faktor pencetus terjadinya migrain. Beberapa pasien dilaporkan mengalami migrain saat mengonsumsi makanan seperti keju, cokelat, dan makanan berpengawet. Perlu penelitian mendalam untuk menyibak kaitan antara migrain dan makanan tersebut.
Namun, sebuah jurnal karya Magdalena Nowaczewska dkk yang dipublikasikan di National Library of Medicine pada 2021 mengungkap kesimpulan, makanan dilaporkan sebagai pemicu migrain oleh sekitar 20% penderita migrain.
Cokelat dianggap sebagai salah satu pemicu migrain berbasis makanan yang paling populer, meski penelitian mereka hanya melaporkan sebagian kecil pasien migrain saja yang melaporkan coklat sebagai faktor pemicunya.
Karena bisa disebabkan oleh banyak faktor, Henry menyebut dokter neurologi biasanya memerlukan observasi mendalam terkait karakteristik sakit kepala yang dalam seseorang. Misalnya, konsumsi keju atau cokelat bisa menimbulkan rasa nyeri kepala pada beberapa orang.
Menurutnya, kondisi demikian perlu dicatat secara periodik oleh pasien agar membantu identifikasi gejala dengan jelas. “Memang masih perlu diteliti, tapi arahnya ke gangguan saraf dan otak. Sifatnya berupa peradangan,” katanya.
Dia juga menambahkan bahwa edukasi kepada pasien dengan tujuan mengurangi frekuensi sakit kepala serta mengalami faktor pemicu masing-masing perlu dilakukan. Dengan mengenali faktor risiko sendiri, karakteristik gejala migrain bisa lebih mudah dikenali dan disembuhkan, bahkan dicegah.
“Jika mempunyai riwayat sakit kepala, atau jika pola sakit kepala berubah atau sakit kepala terasa berbeda, atau sering mengalami tanda dan gejala migrain, catat serangan yang dialami dan cara menanganinya,” katanya. Kemudian pasien disarankan segera berkonsultasi ke dokter untuk mendapat penanganan tepat berdasarkan faktor pencetus dan tipe nyeri kepala.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Dokter Spesialis Saraf RSUP Dr. M Djamil Padang Restu Susanti menjelaskan, usia 45-49 tahun berisiko tinggi mengalami migrain hingga 5-6 kali. Tren menunjukkan usia pasien migrain terus bergerak ke atas seiring dengan faktor yang menyertai usia tersebut.
Baca juga: Ketahui Faktor Risiko & Fase Serangan Migrain, Bukan Sakit Kepala Biasa
"Usia produktif ini berisiko lebih tinggi karena mereka rentan mengalami stres yang triggernya dari gangguan istirahat dan pola makan, yang bisa menyebabkan migrain juga,” kata Restu. Selain itu, wanita juga memiliki risiko lebih tinggi terkena migrain dibanding pria.
Laporan American Migraine Prevalence and Prevention Study menyatakan, migrasi merupakan penyebab disabilitas kedua pada wanita muda. Insiden tertinggi terjadi pada usia 20-24 tahun dengan durasi serangan dan waktu pemulihan yang lebih lama.
“Prevalensi pada wanita 18,9 %, sementara pada laki-laki 9,8%. Insidensinya juga makin meningkat tiap tahun di Indonesia, India, China, dan Amerika Serikat,” katanya.
Memang, tak ada satu penyebab pasti dari kondisi migrain. Migrain adalah kelainan neurologis yang tidak hanya menyebabkan sakit kepala, tetapi seringkali juga merupakan kumpulan gejala yang dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari. Penyebabnya bisa juga diakibatkan dari perubahan kimiawi tubuh dan otak atau faktor genetik yang turut menyumbang penyebab separuh atau semua migran.
Faktor Pencentus Migrain
Ilustrasi migrain (Sumber gambar: Andrea Piacquadio/Pexels)
Dokter Spesialis Neurologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Henry Riyanto Sofyan mengatakan, perlu diperhatikan bahwa migrain memiliki banyak faktor pencetus. Faktor-faktor seperti stres dan perubahan hormonal mungkin lebih familiar. Namun, faktor lainnya seperti melewatkan makan, perubahan cuaca, aktivitas fisik intens, hingga perubahan pola tidur juga turut mempengaruhi.
Tak hanya itu, obat-obatan, alkohol hingga bau yang menyengat juga bisa mencetuskan migrain. Bagi beberapa penderitanya, rangsangan indera berupa suara keras dan cahaya terang juga bisa mendorong terjadinya migrain.
Selain itu, Henry menjelaskan bahwa konsumsi jenis makan tertentu mungkin bisa menjadi faktor pencetus terjadinya migrain. Beberapa pasien dilaporkan mengalami migrain saat mengonsumsi makanan seperti keju, cokelat, dan makanan berpengawet. Perlu penelitian mendalam untuk menyibak kaitan antara migrain dan makanan tersebut.
Namun, sebuah jurnal karya Magdalena Nowaczewska dkk yang dipublikasikan di National Library of Medicine pada 2021 mengungkap kesimpulan, makanan dilaporkan sebagai pemicu migrain oleh sekitar 20% penderita migrain.
Cokelat dianggap sebagai salah satu pemicu migrain berbasis makanan yang paling populer, meski penelitian mereka hanya melaporkan sebagian kecil pasien migrain saja yang melaporkan coklat sebagai faktor pemicunya.
Karena bisa disebabkan oleh banyak faktor, Henry menyebut dokter neurologi biasanya memerlukan observasi mendalam terkait karakteristik sakit kepala yang dalam seseorang. Misalnya, konsumsi keju atau cokelat bisa menimbulkan rasa nyeri kepala pada beberapa orang.
Menurutnya, kondisi demikian perlu dicatat secara periodik oleh pasien agar membantu identifikasi gejala dengan jelas. “Memang masih perlu diteliti, tapi arahnya ke gangguan saraf dan otak. Sifatnya berupa peradangan,” katanya.
Dia juga menambahkan bahwa edukasi kepada pasien dengan tujuan mengurangi frekuensi sakit kepala serta mengalami faktor pemicu masing-masing perlu dilakukan. Dengan mengenali faktor risiko sendiri, karakteristik gejala migrain bisa lebih mudah dikenali dan disembuhkan, bahkan dicegah.
“Jika mempunyai riwayat sakit kepala, atau jika pola sakit kepala berubah atau sakit kepala terasa berbeda, atau sering mengalami tanda dan gejala migrain, catat serangan yang dialami dan cara menanganinya,” katanya. Kemudian pasien disarankan segera berkonsultasi ke dokter untuk mendapat penanganan tepat berdasarkan faktor pencetus dan tipe nyeri kepala.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.