Mengubah Pandangan tentang Ibu Rumah Tangga & Peran Seorang Ayah
01 May 2024 |
12:00 WIB
Ibu rumah tangga (IRT) sering kali dipandang sebelah mata oleh sebagian orang, dianggap sebagai pekerjaan santai karena hanya mengurus anak dan melakukan pekerjaan rumah. Pandangan semacam ini biasanya datang dari mereka yang acuh tak acuh terhadap realitas ibu rumah tangga sehari-hari.
Sebenarnya, tugas mereka jauh lebih berat dan membutuhkan upaya ekstra dibandingkan dengan pekerjaan konvensional. Sejak pagi, ibu rumah tangga sudah disibukkan dengan persiapan sarapan untuk keluarga, dilanjutkan dengan berbagai aktivitas membersihkan rumah seperti mencuci piring, menyapu, dan mencuci baju. Namun, urusan ini hanyalah sebagian dari pekerjaan mereka pada pagi hari.
Baca juga: Hypereport: Kartini Masa Kini Pejuang Kuliner Ibu Rumah Tangga dan UMKM
Memasuki siang hari, walaupun ada sedikit waktu untuk istirahat, segera mereka harus kembali beraktivitas, misalnya menyiapkan makan siang untuk anak. Sore hari tidak kalah sibuknya, dengan tugas-tugas seperti mempersiapkan makan malam, mencuci piring, menyapu, dan mengepel lagi. Bagi mereka yang memiliki bayi, tantangan bertambah karena harus membagi waktu antara pekerjaan rumah dan perawatan si kecil yang membutuhkan perhatian lebih.
Pada malam hari, kesempatan untuk beristirahat pun bisa terbatas, karena biasanya masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Jika dibandingkan, suami biasanya berangkat kerja ke kantor di pagi hari dan kembali pada sore hari, fokus pada pekerjaannya tanpa keharusan mengurusi pekerjaan lain. Situasi ini kontras dengan ibu rumah tangga yang harus menangani berbagai macam pekerjaan sekaligus.
Perbandingan ini pun menggambarkan betapa besar beban kerja yang harus ditanggung oleh IRT. Menurut perkiraan dari Organisasi Buruh Internasional (ILO), nilai pekerjaan perawatan yang tidak dibayar dan pekerjaan rumah tangga mencapai 9 persen dari PDB global, atau sekitar US$11 triliun, dengan kontribusi perempuan sekitar 6,6 persen terhadap PDB dibandingkan dengan kontribusi laki-laki yang hanya 2,4 persen.
Di sisi berbeda, pandemi COVID-19 bahkan meningkatkan beban pekerjaan rumah tangga bagi perempuan, seperti yang diungkap dalam laporan "Dampak Covid-19 terhadap Gender dan Pencapaian SDGs", di mana 19 persen perempuan mengalami peningkatan intensitas pekerjaan rumah tangga, berbanding dengan 11 persen laki-laki. Laporan ini disusun oleh UN Women, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Indosat Ooredoo pada 2020.
Beban itu semakin berat bagi ibu yang juga merupakan wanita karier. Mereka harus pandai membagi waktu dan energi antara pekerjaan rumah dan tugas-tugas kantor. Bayangkan stres yang mereka alami. Menurut survei pada 2.000 ibu di Amerika pada 2018, rata-rata mereka bekerja sekitar 98 jam per minggu, setara dengan dua setengah pekerjaan penuh waktu, dengan hanya sekitar satu jam tujuh menit waktu untuk diri sendiri setiap hari.
Tidak mengherankan jika beberapa ibu mengalami masalah mental, bahkan dalam kasus ekstrem, melukai diri sendiri atau anaknya karena tidak sanggup menanggung beban tersebut. Jadi, jika ada yang menganggap pekerjaan ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang santai, itu menunjukkan ketidakpedulian mereka terhadap realitas yang sebenarnya. Kekurangan sistem dukungan seringkali menjadi penyebab utama masalah ini, yang bisa mengakibatkan gangguan mental pada seorang ibu.
Pertama, para ayah dapat memulai dengan mengambil peran yang lebih besar dalam pekerjaan rumah tangga, seperti mengurusi dapur, mencuci, dan membersihkan rumah. Hal ini bukan hanya tentang membantu secara fisik, tetapi juga tentang menunjukkan sikap menghargai pekerjaan rumah tangga yang selama ini mayoritas ditanggung oleh ibu.
Kedua, keterlibatan dalam pengasuhan anak harus menjadi prioritas bersama. Ayah bisa lebih aktif dalam mengurus kebutuhan sehari-hari anak, seperti membantu mengerjakan pekerjaan rumah, membaca cerita sebelum tidur, atau mengajak bermain. Cara ini tidak hanya memperkuat ikatan antara ayah dan anak tetapi juga memberikan waktu istirahat yang sangat dibutuhkan bagi ibu.
Ketiga, komunikasi terbuka antara suami istri sangat penting untuk membagi tugas dan tanggung jawab rumah tangga secara adil. Pembagian tugas ini harus berdasarkan kesepakatan bersama, menghormati kapasitas dan ketersediaan waktu masing-masing, bukan berdasarkan stereotip gender.
Keempat, edukasi tentang kesetaraan gender perlu ditanamkan sejak dini, baik di lingkungan keluarga maupun melalui sistem pendidikan. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang menghargai prinsip kesetaraan akan lebih mungkin untuk menerapkannya dalam kehidupan mereka kelak.
Terakhir, dukungan sosial dari keluarga besar, komunitas, dan tempat kerja juga sangat penting. Misalnya, kebijakan cuti paternitas yang memadai bisa memberikan kesempatan bagi ayah untuk berperan lebih aktif di rumah tanpa khawatir kehilangan pendapatan.
Dengan mengambil inspirasi dari perjuangan RA Kartini dalam kesetaraan, kita diingatkan bahwa perjuangan tersebut tidak hanya terbatas pada ruang publik tetapi juga dalam dinamika rumah tangga. Melalui kerja sama dan kesetaraan dalam rumah tangga, kita bisa mendukung tidak hanya kesejahteraan dan kebahagiaan ibu rumah tangga, tetapi juga membangun dasar kuat untuk kesetaraan gender bagi generasi mendatang.
Di samping itu, menjadi bapak rumah tangga pun bukan sebuah hal negatif. Dahulu, pandangan ini mungkin cukup tabu di masyarakat, karena laki-laki tak boleh berkutat di dapur. Namun, kini perlahan-lahan seiring dengan meningkatnya pemahaman akan kesetaraan, anggapan miring tentang bapak rumah tangga pun mulai ditinggalkan. Menjadi bapak rumah tangga adalah pilihan yang patut diapresiasi dan bukan hal yang memalukan. BTR memainkan peran penting dalam keluarga dan membantu membangun kesetaraan gender.
Baca juga: Pentingnya Ayah Bermain Bersama Anak, Jangan Cuma Kasih Gadget
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Sebenarnya, tugas mereka jauh lebih berat dan membutuhkan upaya ekstra dibandingkan dengan pekerjaan konvensional. Sejak pagi, ibu rumah tangga sudah disibukkan dengan persiapan sarapan untuk keluarga, dilanjutkan dengan berbagai aktivitas membersihkan rumah seperti mencuci piring, menyapu, dan mencuci baju. Namun, urusan ini hanyalah sebagian dari pekerjaan mereka pada pagi hari.
Baca juga: Hypereport: Kartini Masa Kini Pejuang Kuliner Ibu Rumah Tangga dan UMKM
Memasuki siang hari, walaupun ada sedikit waktu untuk istirahat, segera mereka harus kembali beraktivitas, misalnya menyiapkan makan siang untuk anak. Sore hari tidak kalah sibuknya, dengan tugas-tugas seperti mempersiapkan makan malam, mencuci piring, menyapu, dan mengepel lagi. Bagi mereka yang memiliki bayi, tantangan bertambah karena harus membagi waktu antara pekerjaan rumah dan perawatan si kecil yang membutuhkan perhatian lebih.
Pada malam hari, kesempatan untuk beristirahat pun bisa terbatas, karena biasanya masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Jika dibandingkan, suami biasanya berangkat kerja ke kantor di pagi hari dan kembali pada sore hari, fokus pada pekerjaannya tanpa keharusan mengurusi pekerjaan lain. Situasi ini kontras dengan ibu rumah tangga yang harus menangani berbagai macam pekerjaan sekaligus.
Perbandingan ini pun menggambarkan betapa besar beban kerja yang harus ditanggung oleh IRT. Menurut perkiraan dari Organisasi Buruh Internasional (ILO), nilai pekerjaan perawatan yang tidak dibayar dan pekerjaan rumah tangga mencapai 9 persen dari PDB global, atau sekitar US$11 triliun, dengan kontribusi perempuan sekitar 6,6 persen terhadap PDB dibandingkan dengan kontribusi laki-laki yang hanya 2,4 persen.
Di sisi berbeda, pandemi COVID-19 bahkan meningkatkan beban pekerjaan rumah tangga bagi perempuan, seperti yang diungkap dalam laporan "Dampak Covid-19 terhadap Gender dan Pencapaian SDGs", di mana 19 persen perempuan mengalami peningkatan intensitas pekerjaan rumah tangga, berbanding dengan 11 persen laki-laki. Laporan ini disusun oleh UN Women, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Indosat Ooredoo pada 2020.
Beban itu semakin berat bagi ibu yang juga merupakan wanita karier. Mereka harus pandai membagi waktu dan energi antara pekerjaan rumah dan tugas-tugas kantor. Bayangkan stres yang mereka alami. Menurut survei pada 2.000 ibu di Amerika pada 2018, rata-rata mereka bekerja sekitar 98 jam per minggu, setara dengan dua setengah pekerjaan penuh waktu, dengan hanya sekitar satu jam tujuh menit waktu untuk diri sendiri setiap hari.
Tidak mengherankan jika beberapa ibu mengalami masalah mental, bahkan dalam kasus ekstrem, melukai diri sendiri atau anaknya karena tidak sanggup menanggung beban tersebut. Jadi, jika ada yang menganggap pekerjaan ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang santai, itu menunjukkan ketidakpedulian mereka terhadap realitas yang sebenarnya. Kekurangan sistem dukungan seringkali menjadi penyebab utama masalah ini, yang bisa mengakibatkan gangguan mental pada seorang ibu.
Peran Ayah
Solusi untuk mengatasi beban berat yang dihadapi ibu rumah tangga terletak pada konsep kesetaraan dan kerja sama dalam rumah tangga, khususnya peran aktif para ayah. Kita, para ayah sudah sepatutnya meninggalkan paham patriarki, yang menganggap laki-laki sebagai pemegang posisi utama dalam keluarga. Sebaliknya, memberikan ruang yang sama kepada para perempuan di mana pun. Termasuk di ruang keluarga.Pertama, para ayah dapat memulai dengan mengambil peran yang lebih besar dalam pekerjaan rumah tangga, seperti mengurusi dapur, mencuci, dan membersihkan rumah. Hal ini bukan hanya tentang membantu secara fisik, tetapi juga tentang menunjukkan sikap menghargai pekerjaan rumah tangga yang selama ini mayoritas ditanggung oleh ibu.
Kedua, keterlibatan dalam pengasuhan anak harus menjadi prioritas bersama. Ayah bisa lebih aktif dalam mengurus kebutuhan sehari-hari anak, seperti membantu mengerjakan pekerjaan rumah, membaca cerita sebelum tidur, atau mengajak bermain. Cara ini tidak hanya memperkuat ikatan antara ayah dan anak tetapi juga memberikan waktu istirahat yang sangat dibutuhkan bagi ibu.
Ketiga, komunikasi terbuka antara suami istri sangat penting untuk membagi tugas dan tanggung jawab rumah tangga secara adil. Pembagian tugas ini harus berdasarkan kesepakatan bersama, menghormati kapasitas dan ketersediaan waktu masing-masing, bukan berdasarkan stereotip gender.
Keempat, edukasi tentang kesetaraan gender perlu ditanamkan sejak dini, baik di lingkungan keluarga maupun melalui sistem pendidikan. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang menghargai prinsip kesetaraan akan lebih mungkin untuk menerapkannya dalam kehidupan mereka kelak.
Terakhir, dukungan sosial dari keluarga besar, komunitas, dan tempat kerja juga sangat penting. Misalnya, kebijakan cuti paternitas yang memadai bisa memberikan kesempatan bagi ayah untuk berperan lebih aktif di rumah tanpa khawatir kehilangan pendapatan.
Dengan mengambil inspirasi dari perjuangan RA Kartini dalam kesetaraan, kita diingatkan bahwa perjuangan tersebut tidak hanya terbatas pada ruang publik tetapi juga dalam dinamika rumah tangga. Melalui kerja sama dan kesetaraan dalam rumah tangga, kita bisa mendukung tidak hanya kesejahteraan dan kebahagiaan ibu rumah tangga, tetapi juga membangun dasar kuat untuk kesetaraan gender bagi generasi mendatang.
Di samping itu, menjadi bapak rumah tangga pun bukan sebuah hal negatif. Dahulu, pandangan ini mungkin cukup tabu di masyarakat, karena laki-laki tak boleh berkutat di dapur. Namun, kini perlahan-lahan seiring dengan meningkatnya pemahaman akan kesetaraan, anggapan miring tentang bapak rumah tangga pun mulai ditinggalkan. Menjadi bapak rumah tangga adalah pilihan yang patut diapresiasi dan bukan hal yang memalukan. BTR memainkan peran penting dalam keluarga dan membantu membangun kesetaraan gender.
Baca juga: Pentingnya Ayah Bermain Bersama Anak, Jangan Cuma Kasih Gadget
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.