Ilustrasi anak tantrum (Sumber gambar: Freepik/Fwstudio)

Cegah Sebelum Parah, Kenali Tahapan & Penyebab Anak Tantrum

23 April 2024   |   18:30 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Tantrum kerap terjadi pada anak, terutama balita. Mereka menangis dan marah berlebihan, hingga melakukan tindakan seperti berguling di lantai atau melempar barang. Kondisi ini membuat orang tua maupun pengasuhnya pusing bahkan ikut tersulut emosi karena mereka seringkali tidak menyampaikan dengan jelas apa yang diinginkan. 

Spesialis Tumbuh Kembang Anak dr. I Gusti Ayu Trisna Windiani menerangkan tantrum merupakan ledakan perilaku yang mencerminkan respon disregulasi terhadap rasa frustasi anak dan bisa terjadi dimana saja. Anak akan menunjukkan perilaku yang agresif akibat dari respon frustasi dan kemarahan tersebut.

“Jadi anak tidak mampu meregulasi rasa frustasi yang dia alami. Betul-betul tidak menyenangkan bagi anak,” ujarnya dalam diskusi virtual yang digelar Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 

Baca juga: Tak Semua Perlu Dituruti, Begini Tips Mengatasi Anak Tantrum

Sejatinya tantrum merupakan perkembangan yang normal terjadi pada anak, tapi hal itu bisa mengarah pada situasi abnormal pula. Umumnya, tantrum yang normal atau tipikal bisa terjadi pada usia 18 bulan sampai 4 tahun. Sebanyak 20 persen tantrum terjadi pada anak usia 2 tahun, 18 persen pada usia 3 tahun, dan 10 persen pada usia 4 tahun.

Ayu menyebut bila dikalkulasikan per minggu, semakin muda usianya, semakin sering anak mengalami tantrum. Sementara itu, anak di bawah 1 tahun setidaknya mengalami tantrum sebanyak 8 kali per minggu. 

“Jadi tantrum itu merupakan suatu perkembangan normal sesuai dengan usia anak, tetapi bisa menjadi abnormal jika dia berlanjut sampai anak itu besar atau bahkan remaja,” tutur Ayu. 

Oleh karena itu, penting bagi orang tua maupun pengasuh mengenal tahapan tantrum sebagai tindakan pencegahan dini. Dalam tahap awal, biasanya anak akan berteriak jika keinginannya dilarang atau tidak terpenuhi. 

Tahap berikutnya, anak akan melakukan tindakan. Selain berteriak-riak, mereka akan berguling-guling, menangis, bahkan mungkin membenturkan kepalanya ke tembok, lantai, atau benda lain. 

Tahap ketiga, ketiga tenaganya habis untuk untuk menangis, akhirnya mulai merengek. Nah, pada saat inilah, menurut Ayu, orang tua mulai perlahan-lahan menjelaskan mengapa mereka sebelumnya melarang dan belum bisa memenuhi permintaan anak.

Ayu mengatakan 86 persen anak akan menangis, 40 persen berteriak, dan 13 persen merengek ketika tantrum. Berat dan frekuensi serta lama tantrum, lanjutnya, akan berkurang dengan bertambahnya usia anak. Namun, jika tantrumnya terjadi sering maupun lama, bahkan kondisinya tergolong berat, menurutnya perlu dilakukan intervensi atau penanganan oleh dokter. 
 

Penyebab Anak Tantrum

Ada banyak penyebab anak menjadi tantrum. Pertama adalah karena kondisi fisiologis seperti lelah, lapar, dan bosan. Kedua, masalah kesehatan seperti infeksi saluran pernapasan, infeksi di telinganya, hingga gangguan tidur yang tidak bisa dijelaskan anak karena belum mampu bicara dengan jelas.

Ketiga, anak menginginkan atau menolak sesuatu, mencari perhatian orang tua, perubahan mendadak, dan belum memiliki kemampuan coping atau respon pikiran serta perilaku terhadap situasi penuh tekanan.

Keempat, anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti anak yang mengalami autis, ADHD, disabilitas intelektual, atau gangguan bahasa, juga sering mengalami tantrum. “Karena dia tidak mampu menyampaikan apa yang ingin dia katakan dengan baik,” tutur Ayu. 

Penyebab tantrum kelima yakni pola asuh orang tua terhadap anak. Anak yang diasuh dengan pola asuh otoriter, permisif, keterikatan, dan peraturan yang tidak konsisten dapat menyebabkan anak tantrum. 

Keenam, anak yang temperamen seperti keras kepala dan tidak sabaran juga menjadi pencetus tantrum. Terakhir yakni faktor lingkungan, misalnya ada juga kekerasan di dalam keluarga atau orang tua yang mengalami masalah kesehatan mental.

Ayu menerangkan, dalam sebuah penelitian, penggunaan gadget juga menyebabkan anak menjadi tantrum. Anak yang menonton atau mendapatkan paparan gawai lebih dari 20 menit, sekitar 65,1% mengalami temper tantrum.

Disampaikan bahwa oleh karena penggunaan atau paparan gadget yang terlalu lama, akan mengubah perilaku anak menjadi negatif. “Terjadi gangguan konsentrasi sehingga menyebabkan kerusakan di fungsi eksekutifnya, yaitu di bagian Prefrontal Cortex,” ungkap Ayu. 

Baca juga: Jangan Emosi Ya Bun, Begini Cara Mengatasi Anak Tantrum

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Rekomendasi 4 Destinasi Wisata Bagi Penggemar Buku di Yogyakarta

BERIKUTNYA

Art Jakarta Gardens 2024 Resmi Dibuka, Hadirkan Puluhan Karya Patung & Instalasi 

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: