Kisah Sukses Syarif Membangun Urban Farming di Tanah Paman Sam
20 August 2021 |
07:28 WIB
Sudah lebih dari 10 tahun Syarif Syaifulloh membangun bisnis dan hobi urban farming di tanah Paman Sam tepatnya di Philadelphia, Amerika Serikat. Merantau sejak 2001 ke Amerika Serikat dan menikah pada 2009, Syarif dan istri pun mulai mengelola lahan seluas 80 meter persegi yang diberi nama Haiqal’s Garden.
Awalnya, lahan di area rumah mereka itu kosong. Alhasil karena rindu makanan Indonesia dengan ragam sayuran, Syarif dan istri memutuskan memulai urban farming khusus tanaman sayuran.
“Saya motivasinya hanya karena ingin hidup sehat, tidak terlalu banyak makan daging. Jadi saya memaksimalkan lahan ini jadi lahan sayuran,” ungkap Syarif dalam webinar Marketeers Hangout menyoal urban farming, pada medio Juni 2020.
Salah satu diaspora Indonesia di Amerika Serikat ini mengaku sangat serius dalam mengerjakan urban farming. Dengan niat hidup sehat dan rindu makanan Indonesia, Syaiful pun memesan sejumlah bibit sayuran dari Indonesia untuk ditanam di lahan sekitar rumahnya.
Di atas lahan tersebut dia menanam beberapa bibit sayuran yang bisa didapat di Amerika seperti kale, brokoli, dan seledri. Secara total, ada sekitar 40 jenis sayuran yang dia tanam di lahan miliknya.
“Hampir 70% itu bibit dari Indonesia seperti bayam, sawi, kangkung, ketela singkong. Meski buah singkongnya sulit di iklim Amerika, saya memanfaatkan daunnya,” ujar Syaiful.
Syaiful beralasan mendatangkan bibit Indonesia karena harga yang jauh lebih murah. Pasalnya, di Amerika bibit bayam atau sayuran hijau sangat mahal. Apalagi, dia masih harus berhadapan dengan metode perawatan tanaman yang berbeda akibat perbedaan iklim.
“Memang awalnya urban farming sayuran tak mudah, banyak gagalnya. Kami harus beradaptasi juga karena iklim Indonesia tropis, disini Amerika ada 4 musim. Tentu karakter tanahnya sangat berbeda. Di Indonesia lempar bibit bisa langsung tumbuh, disini tidak begitu,” ungkapnya.
Alhasil, umumnya dia memulai per April adalah penanaman bibit. Begitu memasuki Juni, dia akan menuai panen. Pada musim gugur, Syaiful mengubah tanah karena kadar pupuk juga kian berkurang. Musim ini diakui saat yang tepat memperbaharui medium tanam.
Pada tahun awal dia memulai urban farming, Syaiful belum ada niat untuk memperdagangkannya. Hingga hasil tanaman berbuah subur dan angka permintaan makin tinggi, terutama dari sesama warga Indonesia di Amerika.
“Awal belum saya komersialisasi, saya bagikan saja. Kini kalau ada yang butuh biasanya menggaet saya untuk mengelola lahan. Misalnya Pemerintah setempat [di Philadelphia] melibatkan saya untuk mengembangkan beberapa lahan negara guna menjaga ketahanan pangan. Jadi saya diberikan bibit dan lahan,” tuturnya.
Urban farming yang diawali hanya karena ingin hidup sehat telah memberikan hikmah keuntungan ekonomi bagi Syaiful dan keluarga. Apalagi modal yang dikeluarkan hanya pada tahun pertama yaitu sebesar US$200. Setelah panen kian banyak berbagai insentif dan profit jadi nilai tambah yang memperlancar bisnisnya.
“Setelah modal US$200 itu untuk beli bibit dan pupuk, seterusnya saya banyak dapat bantuan juga dari sesama diaspora Indonesia. Ada pula bantuan dari pemerintah AS memberi tanah dan bibit. Alhasil sekarang saya sudah belajar juga mulai membibitkan sendiri agar lebih efisien,” paparnya. (Dok. Bisnis Weekly Juli 2020).
Editor: Fajar Sidik
Awalnya, lahan di area rumah mereka itu kosong. Alhasil karena rindu makanan Indonesia dengan ragam sayuran, Syarif dan istri memutuskan memulai urban farming khusus tanaman sayuran.
“Saya motivasinya hanya karena ingin hidup sehat, tidak terlalu banyak makan daging. Jadi saya memaksimalkan lahan ini jadi lahan sayuran,” ungkap Syarif dalam webinar Marketeers Hangout menyoal urban farming, pada medio Juni 2020.
Salah satu diaspora Indonesia di Amerika Serikat ini mengaku sangat serius dalam mengerjakan urban farming. Dengan niat hidup sehat dan rindu makanan Indonesia, Syaiful pun memesan sejumlah bibit sayuran dari Indonesia untuk ditanam di lahan sekitar rumahnya.
Di atas lahan tersebut dia menanam beberapa bibit sayuran yang bisa didapat di Amerika seperti kale, brokoli, dan seledri. Secara total, ada sekitar 40 jenis sayuran yang dia tanam di lahan miliknya.
“Hampir 70% itu bibit dari Indonesia seperti bayam, sawi, kangkung, ketela singkong. Meski buah singkongnya sulit di iklim Amerika, saya memanfaatkan daunnya,” ujar Syaiful.
Syaiful beralasan mendatangkan bibit Indonesia karena harga yang jauh lebih murah. Pasalnya, di Amerika bibit bayam atau sayuran hijau sangat mahal. Apalagi, dia masih harus berhadapan dengan metode perawatan tanaman yang berbeda akibat perbedaan iklim.
“Memang awalnya urban farming sayuran tak mudah, banyak gagalnya. Kami harus beradaptasi juga karena iklim Indonesia tropis, disini Amerika ada 4 musim. Tentu karakter tanahnya sangat berbeda. Di Indonesia lempar bibit bisa langsung tumbuh, disini tidak begitu,” ungkapnya.
Alhasil, umumnya dia memulai per April adalah penanaman bibit. Begitu memasuki Juni, dia akan menuai panen. Pada musim gugur, Syaiful mengubah tanah karena kadar pupuk juga kian berkurang. Musim ini diakui saat yang tepat memperbaharui medium tanam.
hasil urban farming Haiqal’s Garden
Pada tahun awal dia memulai urban farming, Syaiful belum ada niat untuk memperdagangkannya. Hingga hasil tanaman berbuah subur dan angka permintaan makin tinggi, terutama dari sesama warga Indonesia di Amerika.
“Awal belum saya komersialisasi, saya bagikan saja. Kini kalau ada yang butuh biasanya menggaet saya untuk mengelola lahan. Misalnya Pemerintah setempat [di Philadelphia] melibatkan saya untuk mengembangkan beberapa lahan negara guna menjaga ketahanan pangan. Jadi saya diberikan bibit dan lahan,” tuturnya.
Urban farming yang diawali hanya karena ingin hidup sehat telah memberikan hikmah keuntungan ekonomi bagi Syaiful dan keluarga. Apalagi modal yang dikeluarkan hanya pada tahun pertama yaitu sebesar US$200. Setelah panen kian banyak berbagai insentif dan profit jadi nilai tambah yang memperlancar bisnisnya.
“Setelah modal US$200 itu untuk beli bibit dan pupuk, seterusnya saya banyak dapat bantuan juga dari sesama diaspora Indonesia. Ada pula bantuan dari pemerintah AS memberi tanah dan bibit. Alhasil sekarang saya sudah belajar juga mulai membibitkan sendiri agar lebih efisien,” paparnya. (Dok. Bisnis Weekly Juli 2020).
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Emmanuel Adam Bachtiar
20 Aug 2021 - 15:27Tuhan bersama Petani Indonesia
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.