Upacara minum teh ala Jepang, (Sumber foto: Pexels/Teddy Yang)

4 Filosofi Jepang untuk Menciptakan Hidup yang Lebih Tentram

13 March 2024   |   18:00 WIB
Image
Arindra Fachri Satria Pradana Mahasiswa Mass Communication BINUS University

Filosofi membantu manusia memahami kebutuhan diri dan orang lain. Berbagai aliran filosofi telah dikembangkan oleh berbagai filsuf dari berbagai belahan dunia, termasuk di Jepang, negeri yang melahirkan banyak filsuf dan pemikiran filosofisnya yang unik.

Sama seperti para filsuf dari Barat, filsuf Jepang juga berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan, tindakan moral, hubungan antara seni dan keindahan, serta hakikat realitas.

Baca juga: Filosofi Bibit Bobot Bebet Kini Tak Lagi Jadi Prioritas, Kok Bisa?

Melansir dari Britannica, perbedaan keduanya ada dalam bagaimana mereka menjawab dan memahami topik-topik tersebut. Jika filsuf barat lebih berfokus terhadap perbedaan antar dua hal yang berlawanan, seperti pikiran dan materi, dan mencoba menjebatani keduanya.

Filsuf Jepang di sisi lain, akan berfokus pada pemahaman terhadap interaksi antara berbagai hal yang saling bersinggungan. Mereka tidak mencoba untuk memahami suatu substansi atau entitas yang berdiri sendiri, melainkan lebih memilih untuk memahami proses dan kompleksitas hubungan saling ketergantungan antara hal-hal yang mungkin terlihat bertentangan.

Di Indonesia sendiri, pemikiran filsuf Jepang sudah mulai diikuti dan diterapkan. Salah satunya adalah YouTuber Agusleo Halim, yang kerap membagikan pengalamanya dalam menerapkan prinsip dan nilai dari berbagai filsuf Jepang seperti Wabi Sabi. 



Terdapat beragam filsuf Jepang yang menarik, mulai dari belajar mengendalika emosi sampai menemukan gairah, simak empat pandangan filsafat Jepang yang dapat diadopsi untuk membentuk pola pikir yang damai dan harmonis:


1. Ichigo Ichie

Terkadang dalam hidup penyesalan selalu muncul jika hal buruk terjadi,  kerap mengutarakan kalimat seperti "Bagaimana jika aku melakukan sesuatu secara berbeda?". Diterjemahkan secara harfiah menjadi ichi (satu) go (waktu) ichi (pertemuan), Ichigo Ichie dapat diartikan bagaimana kita dapat menerima bahwa suatu hal hanya terjadi sekali seumur hidup. 

Mungkin konsep ini dapat terdengar sedikit kelam, namun makna sebenarnya dapat merubah bagaimana kita melihat hal yang sudah berlalu. Melansir dari Rosetta Stone, konsep ini berasal dari upacara minum teh Jepang pada abad ke-16.

Dalam upacara ini, para peserta memiliki satu pemahaman yang sama,  bahwa upacara serupa tidak akan terulang kembali seumur hidup mereka. Mengetahui hal tersebut, mereka mengikuti seluruh proses acara dengan rasa hormat, ketulusan, dan perhatian.

Konsep ini dapat diaplikasikan pada berbagai aspek kehidupan, dengan memahami bahwa semua peristiwa, baik yang menyenangkan maupun sulit, seharusnya diterima dengan ikhlas karena merupakan bagian integral dari kehidupan. Dengan mengadopsi pola pikir seperti ini, perasaan menyesal dan mengeluh tidak akan bertahan lama.


2. Wabi Sabi

Mengejar kesempurnaan memang dapat membawa kesenangan dan kepuasaan tersendiri, namun jika terlalu mengejar hal tersebut, akan membawa konsekuensi dan penyesalan yang mendalam. Inilah permasalahan yang dapat diatasi oleh konsep Wabi Sabi. Menurut BBC, Wabi secara kasar berarti 'keindahan anggun dari kesederhanaan yang rendah hati', dan Sabi berarti 'berlalunya waktu dan kemunduran yang diakibatkannya'. 

Secara keseluruhan, Wabi Sabi menjelaskan bahwa keindahan dapt ditemukan dalam ketidaksempurnaan. Untuk menerapkan Wabi Sabi dalam hidup, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan.

Pertama adalah menerima perubahan, karena tidak ada hal yang permanen. Kemudian mengapresiasi keaslian, dan menikmati ketidaksempurnaan, dan menemukan kedamaian dalam kesederhanaan. Wabi Sabi membantu para penerapnya untuk tidak selalu mengejar kesempurnaan, karena sifat natural manusia yang pasti berbuat salah untuk maju menjadi lebih baik.


3. Omoiyari

Empati serta belas kasihan adalah salah satu konsep fundamental dan diperlukan untuk menciptakan masyarakat yang berkelanjutan. Omoiyari adalah konsep empati dan belas kasihan yang berasal dari Jepang. Menurut Tokhimo, Omoi berarti pemikiran, dan Yari berasal dari kata yaru yang artinya memberi atau mengirim.

Jadi, secara harfiah Omoiyari adalah berpikir untuk memberikan sesuatu hal positif ke orang lain dengan rasa hormat. Sadar untuk mengabdikan perbuatan baik kepada orang yang berhak, bahkan sebelum mereka memintanya.

Selain memberi, memahami perasaan dan pandangan seseorang juga termasuk dalam penerapan konsep ini. Dengan adanya konsep Omoiyari, masyarakat Jepang dapat menurukanya kepada generasi-generasi berikutnya, menciptakan budaya penuh pengertian dan kasih sayang.


4. Ikigai

Pertanyaan terbesar yang kerap ditanya seseorang adalah tujuan hidup, mengapa kita perlu melakukan hal-hal yang kita lakukan sehari-hari. Terkadang menjawab pertanyaan ini membutuhkan waktu yang sangat lama, bahkan bisa seumur hidup. Namun dengan konsep filsuf Ikigai dapat memudahkan hal tersebut.

Menurut Dr. Jeffrey J. Gaines, Ph.D., Ikigai adalah konsep Jepang yang berarti "alasan keberadaan" atau "apa yang memberi hidup nilai, makna, atau tujuan". Konsep ini berasal dari pengabungan dua kata dalam bahasa Jepang, iki yang berarti hidup, dan gai yang berarti manfaat atau nilai. 

Konsep ini dapat diterapkan dalam dunia kerja, melansir dari halaman resmi pemeritahan Jepang, Ikigai dapat terbagi menjadi 4 kategori: 
- Apa yang kamu sukai?
- Apa yang Anda kuasai?
- Apa yang dibutuhkan dunia?
- Apa yang Anda bisa lakukan untuk mendapatkan bayaran?

Sebagai contoh, jika seseorang memiliki minat dan keahlian dalam memasak, maka tujuan memasaknya dapat dikategorikan sebagai kombinasi dari kategori 1 dan 2. Sementara jika seseorang tidak memiliki minat tersendiri dalam memasak namun memiliki keahlian dan berhasil berkarir di bidang tersebut, alasan memasaknya dapat diklasifikasikan sebagai gabungan dari kategori 2 dan 4.

Bekerja di dalam pekerjaan yang mencakup keempat kategori tersebut memang menjadi tujuan banyak orang, meskipun hal ini seringkali susah untuk dicapai. Oleh karena itu, dengan menghargai dan selalu mengingat alasan di balik pekerjaan atau aktivitas yang dilakukan, hal tersebut dapat diubah menjadi sebuah pengalaman yang memuaskan.

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

10 Masjid Terbesar di Dunia: Istiqlal Jakarta Masuk Daftar

BERIKUTNYA

Ramadan Mendorong Belanja Online, Logistik Siap Antisipasi Lonjakan

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: