Cerita Kamila Andini tentang Proses Produksi Film Yuni
18 August 2021 |
21:22 WIB
Perfilman Tanah Air terus menorehkan prestasi meskipun sedang pandemi. Setidaknya hal tersebut dibuktikan oleh salah satu film garapan sutradara Kamila Andini dan produser Ifa Isfansyah bertajuk Yuni. Film tersebut akan tayang perdana dan berkompetisi di Toronto International Film Festival 2021 pada program Platform bersama tujuh film terpilih lainnya.
Film Yuni bercerita tentang tokoh Yuni (Arawinda Kirana), seorang anak SMA berprestasi yang bercita-cita melanjutkan pendidikan tinggi tapi harus terhalang lantaran lamaran pernikahan datang kepadanya.
Dalam kondisi seperti itu, Yuni lantas memiliki dua pilihan, yaitu melarikan diri dengan seorang anak laki-laki pemalu di sekolahnya yang diperankan Kevin Ardilova atau menikah dengan guru favoritnya yang diperankan oleh Dimas Aditya.
Sang sutradara, Kamila Andini, mengatakan bahwa proses penulisan naskah film Yuni sudah dilakukan sejak 2017 lalu. Proses ini memakan waktu yang panjang, karena dia bersama tim harus melakukan riset yang cukup intens.
Mereka mewawancarai beberapa orang tua di daerah Serang dan Cilegon yang anaknya mengalami pernikahan di bawah umur. Tak hanya itu, mereka juga harus mempelajari bahasa yang digunakan di sana, yakni bahasa Jaseng.
Untuk produksi, sutradara yang akrab dipanggil Dini menyebut bahwa syuting sudah dilakukan sejak dua tahun lalu. Syuting berlangsung sekitar 20 hari di daerah Serang dan Cilegon
“Syutingnya tuh kita cukup beruntung ya, bener-bener selesai syuting terus pandemi di Indonesia,” ujarnya kepada Hypeabis.id.
Menurut Dini, tantangan produksi film Yuni justru muncul ketika proses pasca-produksi. Menurutnya, kondisi pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19 menghambat kerja kreatifnya sebagai seorang sutradara sekaligus ibu dari dua anak.
“Kita jadi harus editing dari jarak jauh, terus yang paling frustrasi buat saya sih jadi enggak bisa benar-benar melihat hasil gambar di studio yang proper. Apalagi di rumah harus berbagi ruang juga dengan anak-anak dan urusan rumah tangga. Itu juga cukup melelahkan,” tambahnya.
Sementara itu, Dini juga mengungkapkan pemilihan setting cerita di daerah Banten lebih didasari karena alasan kreatif. Sejak awal proses, Dini mengaku memang ingin mengambil kisah anak-anak remaja di wilayah yang sebenarnya tidak jauh dari Jakarta atau kota besar tetapi pada saat bersamaan tidak terlalu terlihat juga.
“Memang tidak bold secara identitas, seperti Jogja atau Bali, (tapi) justru saya ingin mencari tekstur-tekstur lain dari daerah tersebut, dan memang daerah di Banten ini yang sudah kepikiran dari awal. Penting untuk menampilkan daerah yang jarang diekspos,” katanya.
Meskipun begitu, Dini menilai bahwa kasus pernikahan anak tidak hanya terjadi di Banten tetapi di seluruh daerah di Indonesia bahkan negara-negara di dunia dan menjadi persoalan yang universal.
“Saya yakin yang terjadi sama Yuni juga banyak terjadi di luar sana. Dia bisa mewakili local voice banyak orang,” ucapnya.
Editor: Avicenna
Film Yuni bercerita tentang tokoh Yuni (Arawinda Kirana), seorang anak SMA berprestasi yang bercita-cita melanjutkan pendidikan tinggi tapi harus terhalang lantaran lamaran pernikahan datang kepadanya.
Dalam kondisi seperti itu, Yuni lantas memiliki dua pilihan, yaitu melarikan diri dengan seorang anak laki-laki pemalu di sekolahnya yang diperankan Kevin Ardilova atau menikah dengan guru favoritnya yang diperankan oleh Dimas Aditya.
Poster film Yuni (Dok. Fourcolours Film)
Mereka mewawancarai beberapa orang tua di daerah Serang dan Cilegon yang anaknya mengalami pernikahan di bawah umur. Tak hanya itu, mereka juga harus mempelajari bahasa yang digunakan di sana, yakni bahasa Jaseng.
Untuk produksi, sutradara yang akrab dipanggil Dini menyebut bahwa syuting sudah dilakukan sejak dua tahun lalu. Syuting berlangsung sekitar 20 hari di daerah Serang dan Cilegon
“Syutingnya tuh kita cukup beruntung ya, bener-bener selesai syuting terus pandemi di Indonesia,” ujarnya kepada Hypeabis.id.
Menurut Dini, tantangan produksi film Yuni justru muncul ketika proses pasca-produksi. Menurutnya, kondisi pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19 menghambat kerja kreatifnya sebagai seorang sutradara sekaligus ibu dari dua anak.
“Kita jadi harus editing dari jarak jauh, terus yang paling frustrasi buat saya sih jadi enggak bisa benar-benar melihat hasil gambar di studio yang proper. Apalagi di rumah harus berbagi ruang juga dengan anak-anak dan urusan rumah tangga. Itu juga cukup melelahkan,” tambahnya.
Sementara itu, Dini juga mengungkapkan pemilihan setting cerita di daerah Banten lebih didasari karena alasan kreatif. Sejak awal proses, Dini mengaku memang ingin mengambil kisah anak-anak remaja di wilayah yang sebenarnya tidak jauh dari Jakarta atau kota besar tetapi pada saat bersamaan tidak terlalu terlihat juga.
“Memang tidak bold secara identitas, seperti Jogja atau Bali, (tapi) justru saya ingin mencari tekstur-tekstur lain dari daerah tersebut, dan memang daerah di Banten ini yang sudah kepikiran dari awal. Penting untuk menampilkan daerah yang jarang diekspos,” katanya.
Meskipun begitu, Dini menilai bahwa kasus pernikahan anak tidak hanya terjadi di Banten tetapi di seluruh daerah di Indonesia bahkan negara-negara di dunia dan menjadi persoalan yang universal.
“Saya yakin yang terjadi sama Yuni juga banyak terjadi di luar sana. Dia bisa mewakili local voice banyak orang,” ucapnya.
Editor: Avicenna
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.