Amrus Natalsya "Kawan-kawanku" (1958) - dok. Istimewa

Antara Amrus, Bumi Tarung, dan Moral Revolusioner

01 February 2024   |   16:34 WIB
Image
Yudi Supriyanto Jurnalis Hypeabis.id

Lukisan berjudul Diskusi di Sanggar Bumi Tarung (2008) menjadi salah satu koleksi Galeri Nasional Indonesia. Karya dengan medium cat minyak pada kanvas berukuran 200 x 400 centimeter (cm) itu menggambarkan para anggota Bumi Tarung, salah satunya adalah almarhum Amrus Natalsya.

Pada lukisan tersebut, Amrus Natalsya berada di tengah. Dia terlihat begitu antusias mengungkapkan pendapatnya dalam diskusi yang sedang dilakukan. Sementara itu, yang lainnya fokus menatapnya.

Dalam deskripsi di laman Galeri Nasional Indonesia, Karya itu diyakini bernilai sejarah yang sangat kuat. Lukisan yang penuh dengan warna itu menggambarkan para anggota Sanggar Bumi Tarung yang sedang berdiskusi dengan rasa kekeluargaan, keakraban, dan kehangatan.

Dibuat dengan gaya realis, para pencinta lukisan dapat melihat sejumlah detail yang menegaskan keberpihakan Sanggar Bumi Tarung terhadap gerakan rakyat. Salah satu contoh detail itu adalah buku Pramoedya Ananta Toer yang terletak di meja.

Baca juga:   Amrus Natalsya di Mata Seniman & Kolektor Seni Syakieb Sungkar

Tidak hanya itu, laman itu menuliskan bahwa lukisan karya para anggota Sanggar Bumi Tarung itu juga memperlihatkan lukisan celeng khas Joko Pekik yang tergantung di dinding, dan suasana keseharian rakyat jelata yang tergambar di balik jendela.

Ya, tidak bisa dipungkiri bahwa lukisan berjudul Diskusi di Sanggar Bumi Tarung itu dapat menggambarkan Sanggar Bumi Tarung dan Amrus Natalsya sebagai salah satu pendirinya. Nama Amrus rasanya tidak bisa dipisahkan oleh Sanggar Bumi Tarung dan juga perkembangan seni di Indonesia.

Dikutip dari laman Bentara Budaya dan berbagai sumber lainnya, sang seniman berasal dari sebuah desa di Tapanuli Selatan bernama Natal. Sejak usia dini, Amrus adalah individu yang dikenal sangat berbakat dalam menggambar.

Saat usia remaja, dia bertekad melakukan perjalanan menuju kota lain yang berada jauh dari tanah kelahirannya, yakni Yogyakarta. Dia datang ke tanah Jawa untuk melanjutkan pendidikannya di bidang seni rupa.

Dia mulai menempuh pendidikan tinggi di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta pada 1954. Kecemerlangan sang seniman dalam berkarya kian terlihat ketika masih berstatus mahasiswa dan mengunang decak kagum orang besar negeri ini.

Saat ikut pameran di kampus Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) pada 1955 denan nama Lustrum Pertama ASRI, karyanya menarik perhatian Presiden Pertama Indonesia, yakni Soekarno. Pria yang kerap disapa Bung Karno itu membeli karya seni patung berjudul Orang Buta Yang Terlupakan karya sang seniman.

Karya dari sang seniman asal Sumatra Utara yang menjadi koleksi Soekarno tidak hanya Orang Buta Yang Terlupakan Saja. Karya lainnya berupa lukisan berjudul Kawan-kawanku (1957) juga menjadi koleksi sang proklamator.

Dalam tulisan kuratorial Pameran 50 th Bumi Tarung dari kurator Bambang Subarnas pada 2011 – di repositori Kemendikbudristek, Amrus Natalsya mendirikan Sanggar Bumi Tarung. Kemudian, sekitar 28 seniman bergabung dengannya, seperti Misbach Tamrin, Djoko Pekik, Suhardjija Pudjanadi, Sembiring, Gumelar, Isa Hasanda, dan lain-lain.

Mereka mendirikan Sanggar Bumi Tarung dengan menggunakan status sebagai seniman, bukan mahasiswa. Dengan begitu, sanggar itu berdiri di luar kampus. Penamaan sanggar juga berdasarkan hasil diskusi para anggota.

Pada saat itu, mereka berkumpul di sebuah rumah bekas tobong pembakaran kapur di Gampingan, Yogyakarta. Nama Bumi Tarung merupakan gambaran pandangan para anggotanya mengenai dunia pada saat itu.

Bagi mereka, kehidupan merupakan arena pertarungan antara dua sisi, yakni baik dan buruk; kesejahteraan dan kemelaratan; dan sebagainya. Mereka juga berpikiran bahwa kehidupan, melalui kesenian, adalah perjuangan berkelanjutan guna meraih hidup yang lebih baik.

Pada 1965, Sanggar Bumi Tarung yang dianggap sebagai underbow Partai Komunis Indonesia (PKI) membuat Amrus dan anggota lainnya menjadi buruan. Dia pun berangkat ke Jakarta untuk menghindari buruan tersebut bersama dengan Isa Hasanda, Adrianus Gumelar, dan Dj. M. Gultom.

Amrus dijemput pada 1968 di Grogol, Jakarta Barat, pada tengah malam. Penangkapan itu membuatnya menjalani kehidupan yang sangat getir di dalam penjara hingga 1973.

Keluar dari penjara tidak serta merta membuat kehidupannya sebagai seniman seperti sedia kala. Dia tetap merasakan pahit dalam kehidupan. Orde Baru yang masih berkuasa membuat kariernya begitu sulit.

Cahaya datang ketika reformasi tiba pada 1998. Dia kembali aktif dalam berkarya pada tahun-tahun berikutnya, bahkan mengadakan pameran bersama dengan Sanggar Bumi Tarung yang pernah dibangunnya dan vakum akibat rezim pemerintah.

Pada kondisi Indonesia yang berbeda, dalam tulisan kuratorial Pameran 50 th Bumi Tarung, Amrus memiliki pendapat bahwa ideologi Sanggar Bumi Tarung harus selaras dengan perkembangan zaman dan harus masuk ke dalamnya.

Dengan begitu, Sanggar Bumi Tarung mampu menjawab tantangan zaman. Amrus mengatakan bahwa Sanggar Bumi Tarung menganut realisme revolusioner yang berarti realisme adalah menyanjung atau mau menyesuaikan tujuan revolusi, yaitu masyarakat adil makmur.

“lni belum tercapai, [tapi] sudah masuk dalam samudra [kontemporer] ini. Kalau [diibaratkan Perahu] tadinya [SBT] pakai dayung realisme. Sekarang tidak mungkin pakai dayung realisme, tapi pakai dayung kontemporer. Tapi [walaupun begitu] revolusionernya jangan hilang,” katanya.

Dia memiliki pemikiran tentang bergerak maju dengan “dayung” kontemporer, tetapi tetap revolusioner. Sang seniman pun mengatakan ideologi sanggar menjadi realisme kontemporer revolusioner.

Baginya, moral revolusioner harus tetap masuk ke dalam seni rupa kontemporer lantaran pada saat 2011 seniman pelukis dengan pengalaman politik hanya tinggal segelintir saja lantaran yang lain sudah tiada.

Dia menilai akan menyayangkan jika moral revolusioner tidak masuk ke dalam areal seni rupa kontemporer. Amrus telah menghembuskan napas terakhirnya, menyusul beberapa pendiri Bumi Tarung yang juga telah lebih dahulu pergi. 

Baca juga:   Mengenang Amrus Natalsya, Seniman Realisme Sosialis Pendiri Sanggar Bumi Tarung

Editor: Puput Ady Sukarno
 

SEBELUMNYA

Jangan Salah, Ini Urutan Pemakaian Skincare Mulai Basic hingga Advance

BERIKUTNYA

Punya Kompetensi Sama, Ini Bedanya Dokter Sp.KK, Sp.DV, dan Sp.DVE

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: