Restorasi dan Momentum untuk Film-film Klasik Indonesia Hari Ini
16 August 2021 |
19:10 WIB
Produksi film di Indonesia sejatinya telah ada sebelum Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Film pertama diproduksi pada 1927, yakni Loetoeng Kasaroeng karya L.Heuveldorp. Setelah itu terdapat pula berbagai karya dari pembuat film Tionghoa; salah satu yang paling produktif adalah The Teng Chun, yang terlibat dalam produksi judul-judul seperti Tie Pat Kai Kawin (1931) dan Melati van Agam (1940).
Meski begitu, film-film tersebut tidak terlalu banyak dibicarakan hari ini. Dalam artikel jurnal “Imagining ‘Indonesia’: Ethnic Chinese film producers in pre-independence cinema”, Charlotte Setijadi dan Thomas Barker menyebut bahwa peran pembuat film beretnis Cina memang terlupakan seiring kehadiran sineas pribumi pasca-1945.
Sementara itu Krishna Sen, dalam artikel “Chinese Indonesians in National Cinema”, menyebut bahwa ada semacam bias dalam sejarah film Indonesia.
“Bias dalam sejarah film Indonesia berdasar pada hadirnya generasi pembuat film pribumi yang melihat dirinya sebagai nasionalis,” tulisnya.
Baru ketika hadir Darah dan Doa (1950), apa yang diimajinasikan sebagai identitas nasional mulai hadir. Tak seperti dua film Usmar Ismail sebelumnya, Tjitra (1949) dan Harta Karun (1949), Darah dan Doa fokus mengangkat perjuangan pada masa-masa pada Revolusi Fisik, khususnya ketika prajurit Divisi Siliwangi ditarik mundur dari Yogyakarta ke Jawa Barat.
“Film ketiga Usmar Ismail ini bukan hanya film pertama yang diproduksi oleh perusahaan dan kru orang Indonesia, tapi juga salah satu film pertama yang mengidentifikasi Indonesia sebagai entitas politik,” tulis Adrian Jonathan dalam artikelnya di Criterion.
Atas dasar itulah kemudian film Darah dan Doa menjadi film nasional. Tak hanya itu, hari pertama pengambilan gambar Darah dan Doa juga diresmikan sebagai Hari Film Nasional oleh Presiden BJ Habibie lewat Keppres Nomor 25 Tahun 1999.
Kini, 70 tahun setelah Darah dan Doa diproduksi, kita masih dapat menyaksikan film dapat menyaksikan film yang mengadaptasi cerpen karya Sitor Situmorang tersebut. Dalam hal ini, penting untuk kemudian kerja-kerja pengarsipan dan restorasi yang memungkinkan hal itu terjadi.
Restorasi Film Indonesia
Meski dianggap sebagai tonggak perfilman nasional, Darah dan Doa bukanlah film Indonesia pertama yang direstorasi. Lewat Djam Malam (1954), karya Usmar Ismail lain, lebih dulu direstorasi pada 2012. Restorasi Lewat Djam Malam dibiayai sepenuhnya oleh National Museum of Singapore dan World Cinema Foundation yang diketuai Martin Scorsese.
Lewat Djam Malam bercerita tentang Iskandar, bekas pejuang yang dihantui oleh masa lalu perang. Berlatarkan Bandung pada 1949, Lewat Djam Malam memperlihatkan kondisi Indonesia pasca-kemerdekaan yang relatif jarang diangkat.
Menariknya, restorasi Lewat Djam Malam semula hanya rencana sampingan. Awalnya, Yayasan Konfiden dan National Museum of Singapore hanya berencana membuat versi bilingual (Inggris-Indonesia) untuk situs filmindonesia.or.id.
Namun, beberapa waktu kemudian, muncul pembicaraan soal peluncuran situs baru tersebut, dan salah satu ide yang tercetus adalah melakukan pemutaran film klasik Indonesia.
“Waktu itu pertanyaannya, mau muter apa? Kan film Indonesia di Sinematek sudah bobrok kualitasnya? Terus Philip Cheah [kritikus film, juru program pemutaran, sekaligus konsultan untuk project pembuatan situs tersebut] mengusulkan ide restorasi, yang kemudian ternyata dikerjakan secara serius,” tulis Adrian Jonathan lewat pesan singkat kepada Hypeabis.id (16/8/2021).
Meski begitu, film-film tersebut tidak terlalu banyak dibicarakan hari ini. Dalam artikel jurnal “Imagining ‘Indonesia’: Ethnic Chinese film producers in pre-independence cinema”, Charlotte Setijadi dan Thomas Barker menyebut bahwa peran pembuat film beretnis Cina memang terlupakan seiring kehadiran sineas pribumi pasca-1945.
Sementara itu Krishna Sen, dalam artikel “Chinese Indonesians in National Cinema”, menyebut bahwa ada semacam bias dalam sejarah film Indonesia.
“Bias dalam sejarah film Indonesia berdasar pada hadirnya generasi pembuat film pribumi yang melihat dirinya sebagai nasionalis,” tulisnya.
Baru ketika hadir Darah dan Doa (1950), apa yang diimajinasikan sebagai identitas nasional mulai hadir. Tak seperti dua film Usmar Ismail sebelumnya, Tjitra (1949) dan Harta Karun (1949), Darah dan Doa fokus mengangkat perjuangan pada masa-masa pada Revolusi Fisik, khususnya ketika prajurit Divisi Siliwangi ditarik mundur dari Yogyakarta ke Jawa Barat.
“Film ketiga Usmar Ismail ini bukan hanya film pertama yang diproduksi oleh perusahaan dan kru orang Indonesia, tapi juga salah satu film pertama yang mengidentifikasi Indonesia sebagai entitas politik,” tulis Adrian Jonathan dalam artikelnya di Criterion.
Atas dasar itulah kemudian film Darah dan Doa menjadi film nasional. Tak hanya itu, hari pertama pengambilan gambar Darah dan Doa juga diresmikan sebagai Hari Film Nasional oleh Presiden BJ Habibie lewat Keppres Nomor 25 Tahun 1999.
Kini, 70 tahun setelah Darah dan Doa diproduksi, kita masih dapat menyaksikan film dapat menyaksikan film yang mengadaptasi cerpen karya Sitor Situmorang tersebut. Dalam hal ini, penting untuk kemudian kerja-kerja pengarsipan dan restorasi yang memungkinkan hal itu terjadi.
Restorasi Film Indonesia
Meski dianggap sebagai tonggak perfilman nasional, Darah dan Doa bukanlah film Indonesia pertama yang direstorasi. Lewat Djam Malam (1954), karya Usmar Ismail lain, lebih dulu direstorasi pada 2012. Restorasi Lewat Djam Malam dibiayai sepenuhnya oleh National Museum of Singapore dan World Cinema Foundation yang diketuai Martin Scorsese.
Lewat Djam Malam bercerita tentang Iskandar, bekas pejuang yang dihantui oleh masa lalu perang. Berlatarkan Bandung pada 1949, Lewat Djam Malam memperlihatkan kondisi Indonesia pasca-kemerdekaan yang relatif jarang diangkat.
Menariknya, restorasi Lewat Djam Malam semula hanya rencana sampingan. Awalnya, Yayasan Konfiden dan National Museum of Singapore hanya berencana membuat versi bilingual (Inggris-Indonesia) untuk situs filmindonesia.or.id.
Namun, beberapa waktu kemudian, muncul pembicaraan soal peluncuran situs baru tersebut, dan salah satu ide yang tercetus adalah melakukan pemutaran film klasik Indonesia.
“Waktu itu pertanyaannya, mau muter apa? Kan film Indonesia di Sinematek sudah bobrok kualitasnya? Terus Philip Cheah [kritikus film, juru program pemutaran, sekaligus konsultan untuk project pembuatan situs tersebut] mengusulkan ide restorasi, yang kemudian ternyata dikerjakan secara serius,” tulis Adrian Jonathan lewat pesan singkat kepada Hypeabis.id (16/8/2021).
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.