The East dibintangi oleh Martijn Lakemeier dan Marwan Kenzari (Dok. New Amsterdam Film Company)

Film The East: Menguak Masa Lalu Kolonial Belanda di Indonesia

16 August 2021   |   11:02 WIB
Image
Nirmala Aninda Manajer Konten Hypeabis.id

Pada akhir Perang Dunia II, pecah konflik bersenjata yang sekarang dikenal sebagai Perang Kemerdekaan Indonesia. Setelah kehilangan tanah jajahan ke tangan Jepang pada 1942, Belanda mengumpulkan kembali pasukannya untuk menaklukkan Nusantara pada 1946.

Tentu saja, kaum nasionalis Indonesia menentang keras kembalinya pasukan Belanda. Sikap ini mendapatkan reaksi dari tentara Belanda yang melakukan tindak penangkapan dan kekerasan terhadap warga Indonesia.

The East (2021), disebut sebagai film perang generik oleh New York Times, menyoroti warisan kolonial Belanda dengan menguak momen yang sering diabaikan dalam sejarah.

Ditulis oleh sutradara Jim Taihuttu, film tersebut menimbulkan kontroversi di Belanda, karena mencoba membuka kembali konflik yang sudah lama tidak dibahas dengan 'mikroskop moral'.

Film ini bercerita tentang tentara Belanda, Johan De Vries (Martijn Lakemeier), ketika dia menjadi sukarelawan untuk berperang di Indonesia, tepatnya di Sulawesi Selatan, dan direkrut menjadi prajurit kesatuan elit yang juga dikenal sebagai Depot Speciale Troepen (DST).
 

Martijn Lakemeier berperan sebagai tentara muda Johan De Vries (Dok. New Amsterdam Film Company)

Martijn Lakemeier berperan sebagai tentara muda Johan De Vries (Dok. New Amsterdam Film Company)


Satuan khusus militer Belanda ini dibentuk untuk membasmi jaringan pemberontak yang dipimpin oleh kapten misterius, Raymond Westerling (Marwan Kenzari), yang dikenal sebagai “The Turk” oleh anak buahnya.

The Turk menggunakan taktik yang sangat brutal untuk memadamkan perlawanan, taktik yang kita semua tahu hanya mengeraskan tekad Indonesia dan berkontribusi pada kekalahan Belanda.

Ketika pertempuran semakin intensif, De Vries mendapati dirinya mempertanyakan—dan akhirnya menantang—strategi brutal komandannya untuk menghentikan perlawanan.

Film tersebut, menerima review yang beragam. Alex Saveliev dari Film Threat, misalnya, merasa bahwa The East adalah pencapaian yang mendebarkan dan pedih, dan suramnya tanpa kompromi serta epik.

Sementara Beatrice Loayza dari New York Times memberi The East skor 40 karena walau detailnya yang mungkin baru—bahkan membuka mata bagi sebagian orang—kisah rasa bersalah dan kebrutalan kulit putih ini terasa sangat repetitif.

Sutradara Jim Taihuttu adalah cicit dari seorang penduduk asli Maluku yang tewas dalam pertempuran untuk tentara Belanda selama konflik, dan dia ingin menggunakan film tersebut untuk mengejutkan penontonnya agar berpikir tentang utang masa lalu kolonial negaranya.

The East adalah kisah realistis yang suram tentang pertempuran tentara Belanda untuk memenangkan hati dan pikiran kepulauan Indonesia yang multietnis setelah Perang Dunia II. Kegagalan kolonial Belanda meredam pemberontakan, seperti yang ditampilkan dalam film, adalah tamparan yang menyakitkan bagi mereka.
 

Editor: Avicenna

SEBELUMNYA

Yuk Intip Perjuangan Minke Melawan Penindasan dalam Film Bumi Manusia

BERIKUTNYA

Begini Tantangan UMKM Indonesia Ekspansi ke Pasar Global

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: