Apa Itu Pompom Saham? Buat Investor Pemula, Jangan Sampai Terjebak!
16 August 2021 |
08:22 WIB
Perkembangan teknologi, khususnya media sosial melahirkan sederetan fenomena baru, tak terkecuali di dunia pasar modal. Beberapa tahun belakangan, seiring dengan bertambahnya jumlah investor ritel, muncul fenomena saham pompom.
Saham pompom merupakan istilah baru dari saham gorengan atau saham yang harganya dibuat melejit oleh bandar atau market maker dalam waktu singkat. Sedikit berbeda dengan saham gorengan yang pergerakannya direkayasa lewat mekanisme jual-beli, saham pompom harganya dipompa dengan cara menggiring opini investor.
Mereka menggunakan media sosial mengajak investor untuk membeli suatu saham, tak jarang pemengaruh (influencer) ikut ambil bagian dalam hal ini. Sasarannya? Tentu saja investor ritel yang jumlahnya kian bertambah dan kerap kali terjun ke pasar modal dengan pengetahuan minim.
Pengamat pasar modal dari Universitas Indoensia, Budi Frensidy, tak menampik bahwa maraknya pompom saham di media sosial, terutama oleh para pemengaruh, tak terlepas dari meningkatnya jumlah investor ritel yang notabene sebagian besar merupakan investor pemula.
Pompom saham juga tidak bisa dilepaskan dari adanya fenomena takut ketinggalan atau fear out missing out (FOMO) di kalangan investor pemula. Mereka yang tak punya pengetahuan cukup kerap kali berinvestasi di saham tertentu hanya dengan bermodalkan tren tanpa melihat bagaimana prospek ke depannya.
“Mereka yang pompom [saham] tentunya ini punya kepentingan atau ingin mencari keuntungan. [Investor] ritel masuk, nantinya mereka akan keluar di harga tertentu. [Sahamnya] terkoreksi akhirnya [investor] ritel yang mengalami kerugian karena, apalagi yang masuk di harga tidak tepat,” katanya kepada Hypeabis.id.
Lebih lanjut, saham pompom ini dalam perkembangannya tidak hanya mempengaruhi institusi seperti manajer investasi. Mereka ikut terjebak dalam fenomena FOMO sama seperti investor ritel. Bedanya, apa yang mereka lakukan semata-mata demi untuk menjaring atau agar tidak ditinggalkan oleh nasabahnya yang notabene adalah investor ritel.
“Mereka akhirnya ikut beli saham itu karen FOMO. Takutnya, ketika ditanya oleh calon nasabah atau nasabah yang tentunya dalah investor ritel kok tidak ada saham ini [saham tertentu] kemudian ditinggalkan. Dianggap tidak mampu atau tidak kompeten,” katanya.
Adapun, untuk investor ritel, terutama yang masih pemula, Budi menyarankan agar mereka mempelajari betul profil dan kinerja yang akan dibeli dan mencari tahu bagaimana prospek dari sektor dari yang dijalankan. Dia juga mengingatkan bahwa sektor yang potensial tak serta-merta membuat emiten yang bergerak di sektor tersebut ikut potensial.
“Sektor teknologi misalnya, itu memang potensial tetapi emiten yang bergerak di sektor tersebut tak berarti semuanya potensial. Kalau memang mau beli [sahamnya], beli di waktu yang tepat dan keluar juga di waktu yang tepat, pelajari itu,” tegasnya.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hoesen juga mengatakan bahwa munculnya saham pompom merupakan ekses dari masifnya penambahan jumlah investor ritel di pasar modal.
"Untuk itu kami berpesan kepada semua lapisan masyarakat bahwa sebelum berinvestasi di pasar modal, pelajari dahulu dan pahami dahulu," katanya.
Menurutnya, investor ritel masih banyak yang mudah termakan bujuk rayu imbal hasil tinggi dari sebuah instrumen investasi tanpa memikirkan besar risikonya. Bahkan tak jarang mereka menggunakan sumber dana kebutuhan pokok, dana darurat, atau bahkan berutang.
"Tinggi rendahnya risiko tergantung pengetahuan kita, itu yang paling penting. Jadi kadang-kadang produknya mendapat persetujuan dari OJK, pembuat produknya juga dapat persetujuan dari OJK, sesuai dengan peraturan, tapi dijual dengan cara yang melanggar ketentuan,” ujarnya.
Oleh karena itu, pihaknya terus berupaya untuk melakukan edukasi kepada masyarakat agar berhati-hati dalam mengambil keputusan investasinya, sembari meningkatkan kepercayaan dan melindungi kepentingan investor bersama lembaga terkait lainnya.
Editor: Avicenna
Saham pompom merupakan istilah baru dari saham gorengan atau saham yang harganya dibuat melejit oleh bandar atau market maker dalam waktu singkat. Sedikit berbeda dengan saham gorengan yang pergerakannya direkayasa lewat mekanisme jual-beli, saham pompom harganya dipompa dengan cara menggiring opini investor.
Mereka menggunakan media sosial mengajak investor untuk membeli suatu saham, tak jarang pemengaruh (influencer) ikut ambil bagian dalam hal ini. Sasarannya? Tentu saja investor ritel yang jumlahnya kian bertambah dan kerap kali terjun ke pasar modal dengan pengetahuan minim.
Pengamat pasar modal dari Universitas Indoensia, Budi Frensidy, tak menampik bahwa maraknya pompom saham di media sosial, terutama oleh para pemengaruh, tak terlepas dari meningkatnya jumlah investor ritel yang notabene sebagian besar merupakan investor pemula.
Pompom saham juga tidak bisa dilepaskan dari adanya fenomena takut ketinggalan atau fear out missing out (FOMO) di kalangan investor pemula. Mereka yang tak punya pengetahuan cukup kerap kali berinvestasi di saham tertentu hanya dengan bermodalkan tren tanpa melihat bagaimana prospek ke depannya.
“Mereka yang pompom [saham] tentunya ini punya kepentingan atau ingin mencari keuntungan. [Investor] ritel masuk, nantinya mereka akan keluar di harga tertentu. [Sahamnya] terkoreksi akhirnya [investor] ritel yang mengalami kerugian karena, apalagi yang masuk di harga tidak tepat,” katanya kepada Hypeabis.id.
Lebih lanjut, saham pompom ini dalam perkembangannya tidak hanya mempengaruhi institusi seperti manajer investasi. Mereka ikut terjebak dalam fenomena FOMO sama seperti investor ritel. Bedanya, apa yang mereka lakukan semata-mata demi untuk menjaring atau agar tidak ditinggalkan oleh nasabahnya yang notabene adalah investor ritel.
“Mereka akhirnya ikut beli saham itu karen FOMO. Takutnya, ketika ditanya oleh calon nasabah atau nasabah yang tentunya dalah investor ritel kok tidak ada saham ini [saham tertentu] kemudian ditinggalkan. Dianggap tidak mampu atau tidak kompeten,” katanya.
Adapun, untuk investor ritel, terutama yang masih pemula, Budi menyarankan agar mereka mempelajari betul profil dan kinerja yang akan dibeli dan mencari tahu bagaimana prospek dari sektor dari yang dijalankan. Dia juga mengingatkan bahwa sektor yang potensial tak serta-merta membuat emiten yang bergerak di sektor tersebut ikut potensial.
“Sektor teknologi misalnya, itu memang potensial tetapi emiten yang bergerak di sektor tersebut tak berarti semuanya potensial. Kalau memang mau beli [sahamnya], beli di waktu yang tepat dan keluar juga di waktu yang tepat, pelajari itu,” tegasnya.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hoesen juga mengatakan bahwa munculnya saham pompom merupakan ekses dari masifnya penambahan jumlah investor ritel di pasar modal.
"Untuk itu kami berpesan kepada semua lapisan masyarakat bahwa sebelum berinvestasi di pasar modal, pelajari dahulu dan pahami dahulu," katanya.
Menurutnya, investor ritel masih banyak yang mudah termakan bujuk rayu imbal hasil tinggi dari sebuah instrumen investasi tanpa memikirkan besar risikonya. Bahkan tak jarang mereka menggunakan sumber dana kebutuhan pokok, dana darurat, atau bahkan berutang.
"Tinggi rendahnya risiko tergantung pengetahuan kita, itu yang paling penting. Jadi kadang-kadang produknya mendapat persetujuan dari OJK, pembuat produknya juga dapat persetujuan dari OJK, sesuai dengan peraturan, tapi dijual dengan cara yang melanggar ketentuan,” ujarnya.
Oleh karena itu, pihaknya terus berupaya untuk melakukan edukasi kepada masyarakat agar berhati-hati dalam mengambil keputusan investasinya, sembari meningkatkan kepercayaan dan melindungi kepentingan investor bersama lembaga terkait lainnya.
Editor: Avicenna
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.