Perpetuity karya Nadiah Bamadhaj di pameran Voice Against Reason (sumber gambar Hypeabis.id/Abdurachman)

Menilik Suara-suara yang Bergolak di Pameran Voice Against Reason

23 December 2023   |   21:00 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Sebuah instalasi berisi 12 kanal monitor yang telah disinkronisasi tergeletak di atas lantai dalam posisi berdiri. Monitor yang disusun secara melingkar ini merupakan bagian dari pameran Voice Against Reason yang digelar di Museum MACAN, Jakarta Barat.

Instalasi yang cukup unik ini adalah buah tangan dari Nadiah Bamadhaj. Mengambil tajuk Perpetuity, Nadiah mencoba merefleksikan gambaran dari sebuah kekuasaan mutlak yang masih dilakukan hingga hari ini, dan perlahan memengaruhi dinamika sosial yang ada di masyarakat.

Baca juga: Menyimak Refleksi Seniman Amin Taasha Terhadap Hidup di Pameran Voice Against Reason 

Dalam karya tersebut, setiap kanal monitor saling terhubung. Monitor secara perlahan akan menampilkan rekaman dari 12 abdi dalem yang tengah melaksanakan laku dodok.

Laku dodok merupakan tradisi yang merujuk pada gerak tubuh yang harus dilakukan para abdi dalem, utamanya ketika berjalan di hadapan raja. Dalam situasi ini, abdi dalem akan merendahkan diri hingga seperti seseorang yang sedang berjongkok, seraya terus melangkah dengan posisi tersebut.
 

Perpetuity karya  Nadiah Bamadhaj di pameran Voice Against Reason (sumber gambar Hypeabis.id/Abdurachman)

Perpetuity karya Nadiah Bamadhaj di pameran Voice Against Reason (sumber gambar Hypeabis.id/Abdurachman)

Dalam tempo lambat, para abdi dalem akan mulai melangkah dan mengisi satu kanal monitor ke kanal monitor lain. Bentuk monitor yang melingkar seolah menggambarkan sebuah siklus yang tiada ujung dari praktik yang telah, sedang, dan akan selalu dilakukan ketika berada di kondisi tertentu.

Seperti judulnya, Perpetuity, instalasi ini juga terus terputar berulang dan menciptakan sebuah kontinuitas yang tanpa batas. Hal ini tampak merefleksikan kondisi yang tiada memiliki akhir, dan tanpa ada kekuatan untuk memutusnya.

Nadiah mengatakan bahwa laku dodok belakangan menjadi salah satu hal yang menarik perhatiannya. Laku ini bukan hanya tentang tradisi yang telah berlangsung bertahun-tahun, tetapi juga mengandung metafora menarik untuk menggambarkan fenomena yang terjadi sekarang.

“Kita hidup di sebuah negara yang basisnya adalah republik. Namun, ada suatu provinsi yang bisa dikatakan sebuah kerajaan. Itu ironi bagi saya. Kontradiktif,” terang Nadiah kepada Hypeabis.id.

Nadiah memandang laku dodok sebagai sebuah kepatuhan, sikap menunduk, yang terus menerus terjadi hingga hari ini. Sebuah kondisi yang menuntut untuk selalu pada kondisi yang sama, tanpa bisa naik maupun turun.

Karya apik dari Nadiah ini hanya satu dari puluhan seniman lintas disiplin asal Asia-Pasifik yang terlibat dan memacak karyanya di pameran Voice Against Reason hingga 14 April 2024 mendatang. Sesuai tajuknya, pameran ini memang akan mencoba mengulas lagi arti dasar dari bersuara dan berpendapat. Suara-suara yang pada akhirnya merajut realitas menjadi lebih jernih.

Terutama yang terkait dengan narasi-narasi pribadi, konteks sejarah, tema-tema politik, dan geografi melalui sudut para perupa. Para seniman yang terlibat berasal dari Australia, India, Indonesia, Jepang, Singapura, Vietnam Lebanon, hingga Afghanistan.

“Dengan melibatkan perupa dari Australia, Bangladesh, India, Indonesia, Japan, Singapore, Taiwan, Thailand, dan Vietnam, pameran ini mengajak kita menggali lebih dalam tentang perbatasan, narasi pribadi, sejarah, dan politik yang saling terkait dengan geografi dan lanskap budaya yang beragam.” ucap ko-kurator Putra Hidayatullah.

Di sebuah sudut ruang pamer lain, seniman Afghanistan yang telah lama tinggal di Pakistan dan Sydney, Khadim Ali, merespons Voice Against Reason dengan menghadirkan karya bertajuk Silent Ark.
 

z

Silent Ark karya Khadim Ali (Sumber gambar: Museum MACAN)


Karya yang mewujud karpet gigantik berukuran 570cmx1.113cm ini menggambarkan migrasi hewan di tengah kobaran api sang naga. Dalam adegan tersebut, kuda, unta, singa, hingga makhluk mitologi yang dimunculkan sama-sama berusaha menyelamatkan diri ke sebuah gunung.

Gunung tersebut adalah gambaran dari Uluru, sebuah tempat suci yang erat kaitannya dengan nenek moyang. Silent Ark tampak menjadi kritik halus tentang berbagai bencana yang belakangan terjadi. “Karya ini
dikembangkan pasca-kebakaran hutan yang melanda pada tahun 2019-2020 di Australia,” tulisnya di catatan kuratorial.

Sementara itu, di ruang pamer lainnya, perupa Khaled Sabsabi menyuguhkan karya bertajuk Buraq. Karya berbentuk kanal video ini menampilkan dua rekaman yang tumpang tindih. Di bagian depan, tampak siluet seorang sufi yang tengah berzikir mengingat sang Ilahi.
 

a

Buraq karya Khaled Sabsabi (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id)

Gambaran tersebut kemudian ditindih oleh sebuah tarian tradisional Kuda Lumping yang mewujud di latar belakang video. Pertunjukan tersebut ditampilkan dalam gambar berwarna, tetapi tanpa suara. Karya ini seolah menjadi eksplorasi ruang antara tradisi keagamaan dengan budaya lokal.

Sabsabi memang dikenal sebagai seniman yang tertarik dengan filsafat Islam. Dia juga punya ketertarikan pada tradisi masa lampau dan modern. Salah satu penelitiannya didasarkan pada pergerakan global Islam, khususnya perkembangan Sufi di beberapa daerah di Indonesia.

Baca juga: Pameran Voice Against Reason Digelar di Museum MACAN, Hadirkan 24 Seniman Kontemporer Dunia 

Editor: Dika Irawan

SEBELUMNYA

Usai Dikonfirmasi Keasliannya, Karya Baru Banksy di London Langsung Raib

BERIKUTNYA

Resep Monster Chocolate Chip Cookies, Kue Kering Favorit Keluarga di Hari Natal

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: