Menyimak Refleksi Seniman Amin Taasha Terhadap Hidup di Pameran Voice Against Reason
18 December 2023 |
17:00 WIB
Sekitar sepuluh lukisan berukuran 21x30 cm dengan palet warna cerah berderet rapi salah satu dinding di sebuah lorong galeri seni. Uniknya, karya yang dibingkai pigura kayu itu menggambarkan kuda dengan berbagai pose; berlari, merunduk, terjungkal, atau berdiam diri.
Di bawah remang cahaya, saat pandangan mata dipertegas, seri karya bertajuk The Heart of Sadness (2023) itu juga menampilkan berbagai gambar berukuran kecil, seperti kelimun tentara menuju perang, barisan tank, atau malaikat maut yang meniupkan sangkakala.
Baca juga: Profil Amin Taasha, Seniman Asal Afghanistan yang Tumbuh dari Perang
Lukisan Miniatur Persia itu adalah karya seniman asal Afghanistan, Amin Taasha dalam pameran Voice Against Reason di Museum MACAN, Jakarta. Amin hanyalah satu dari puluhan seniman lintas disiplin asal Asia-Pasifik yang memacak karyanya hingga 14 April 2024 di museum kontemporer itu.
Sesuai tajuknya, pameran ini berusaha menelisik arti dasar bersuara dan berpendapat untuk merajut realitas yang sementara dan rapuh. Terutama terkait dengan narasi-narasi pribadi, konteks sejarah, tema-tema politik, dan geografi melalui sudut pandang para perupa.
"Kuda merupakan objek yang cukup lekat dengan kebudayaan kami di Afghanistan. Selain itu, hewan ini juga memiliki kontribusi penting dalam kemanusiaan," kata Amin Taasha.
Selain menggambarkan kuda, sang seniman juga melukiskan berbagai jenis bunga, seperti marigold, kaktus, dan popi. Menurut Amin, bunga-bunga tersebut merupakan tumbuhan yang kerap ditemuinya saat di Afghanistan hingga akhirnya dia pindah ke Indonesia.
Adapun dari segi metafora, bunga merupakan salah satu tanaman yang bisa digunakan dalam beberapa hal yang berbeda maknanya. Bunga, dapat digunakan untuk mengenang kematian, merayakan kelahiran hingga pernikahan. Artinya, bunga memiliki semacam dualisme antara kebahagiaan dan kesedihan.
"Bunga kaktus di sini juga bisa dimaknai seperti kekerasan atau kesulitan dalam hidup yang kita selalu hadapi,"terangnya.
Menyukai puisi sejak kecil karena menjadi bagian penting dalam bersosialisasi di Afghanistan, tak ayal juga membekas dalam benak Amin, sehingga kerap dimasukkan dalam karya-karyanya. Terutama dari buku The Divan of Hafez, karya penyair Shirazi, Hafez yang diberikan ayahnya sebagai pegangan hidup.
Hal itu misalnya, terejawantah dalam salah satu lukisannya yang dibubuhi puisi berbahasa Persia yang berbunyi 'jangan tanyakan kecantikan matahari dari kelelawar. Pasalnya dia tidak pernah melihat sang surya dan hidup dalam kegelapan.'
Tak hanya itu, lewat karya miniatur Persia yang sering menjadi ilustrasi buku, sang seniman mencoba menggambarkan perjalanan sangkan paran atau dari dan menuju kemana manusia hidup. Termasuk lewat simbol, makhluk hidup, mitos, dan kenangan masa kecilnya di Bamiyan, Afghanistan yang terus dilanda konflik dan perang.
"Sejak kecil konflik antar berbagai kepentingan telah menjadi bagian dari hidup saya. Oleh karena visual mengenai perang juga membentuk dunia pengkaryaan saya sebagai seniman hingga saat ini," katanya.
Kedaulatan Berpendapat
Aditya Lingga, Asisten Kuratorial Museum MACAN mengatakan, pameran Voice Against Reason memang fokus untuk menyoroti isu seputar kedaulatan berpendapat, partisipasi, dan beragam cara masyarakat dalam menginterpretasi berbagai kelindan peristiwa, termasuk melalui medan seni rupa.
Kerangka kuratorial itulah yang kemudian mendorong mereka untuk lebih banyak melibatkan seniman dan masyarakat dalam jejaring yang sedang dibangun. Khususnya dengan mengadakan berbagai rangkaian diskusi, program kuliah terbuka, dan program-program publik.
"Voice Against Reason digagas tidak hanya sebagai sebuah pameran, tapi sebagai sebuah wadah keterlibatan yang dinamis antara perupa, karya, dan pengunjung," terangnya.
Secara umum, benang merah dari pameran ini adalah menyuarakan sesuatu yang cenderung melawan arus atau konvensi yang ada di lanskap geopolitik global. Dalam karya Amin Taasha misalnya, sang seniman mengkritik silang sengkarut politik di Afghanistan yang berdampak pada kebebasan berekspresi masyarakat.
Namun, setelah Amin pindah dan mukim di Yogyakarta, sang perupa juga menyerap berbagai berbagai kelindan budaya yang telah dia sambangi. Salah satunya khasanah budaya Jawa yang mengajarkan untuk menghormati liyan, yang diambil dari karakter-karakter pewayangan, yakni Punakawan.
Terdiri dari empat tokoh, yaitu Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, punakawan menurutnya merupakan perwujudan dari sifat dan watak manusia. Mitologi inilah yang kemudian juga menjadi falsafah bagi sang seniman untuk memaknai hidup sekaligus inspirasi karya yang disandingkan dengan berbagai puisi dari Persia.
Aditya menambahkan, saat ini, di mana teknologi kerap mendorong keseragaman, atau penulisan sejarah yang menyamarkan pengalaman individu dan pribadi yang berbeda, maka berbicara adalah hal yang penting dilakukan untuk dapat melihat lingkungan sekitar dengan cara yang lebih kritis.
Adapun,simbol yang divisualkan oleh Amin Taasha merupakan referensi langsung dari objek dunia nyata yang terhubung dengan kenangan masa kecil sang seniman saat berada di zona perang, di Bamiyan, Afghanistan. "Gambar potongan pesawat, senjata, dan amunisi, dulunya juga menjadi barang rongsokan yang dijual Amin, atau dijadikan hiasan di rumah sang seniman," katanya.
Selain itu, sedari awal pameran ini memang bertolak dari gagasan bahwa perupa dapat membantu masyarakat dalam menyuarakan pendapat. Tak hanya itu, mereka juga dapat memberi bentuk lewat media visual pada isu-isu dan ide-ide yang terkadang bergolak di bawah permukaan, atau yang mungkin berlawanan dengan arus.
"Selama lebih dari 12 bulan, kami telah bekerja sama dengan para perupa dalam mengembangkan dan mengkomisi sejumlah karya baru, baik berupa instalasi, video, dan performans, yang akan dipamerkan bersamaan dengan karya-karya besar oleh para perupa dari seluruh regional Asia," katanya.
Baca juga: Wawancara Eksklusif Amin Taasha: Seniman Afghanistan yang Memilih Tinggal & Berkarya di Indonesia
Editor: Dika Irawan
Di bawah remang cahaya, saat pandangan mata dipertegas, seri karya bertajuk The Heart of Sadness (2023) itu juga menampilkan berbagai gambar berukuran kecil, seperti kelimun tentara menuju perang, barisan tank, atau malaikat maut yang meniupkan sangkakala.
Baca juga: Profil Amin Taasha, Seniman Asal Afghanistan yang Tumbuh dari Perang
Lukisan Miniatur Persia itu adalah karya seniman asal Afghanistan, Amin Taasha dalam pameran Voice Against Reason di Museum MACAN, Jakarta. Amin hanyalah satu dari puluhan seniman lintas disiplin asal Asia-Pasifik yang memacak karyanya hingga 14 April 2024 di museum kontemporer itu.
Sesuai tajuknya, pameran ini berusaha menelisik arti dasar bersuara dan berpendapat untuk merajut realitas yang sementara dan rapuh. Terutama terkait dengan narasi-narasi pribadi, konteks sejarah, tema-tema politik, dan geografi melalui sudut pandang para perupa.
"Kuda merupakan objek yang cukup lekat dengan kebudayaan kami di Afghanistan. Selain itu, hewan ini juga memiliki kontribusi penting dalam kemanusiaan," kata Amin Taasha.
Selain menggambarkan kuda, sang seniman juga melukiskan berbagai jenis bunga, seperti marigold, kaktus, dan popi. Menurut Amin, bunga-bunga tersebut merupakan tumbuhan yang kerap ditemuinya saat di Afghanistan hingga akhirnya dia pindah ke Indonesia.
Seri lukisan AminTaasha (sumber gambar Hypeabis.id//Abdurachman)
"Bunga kaktus di sini juga bisa dimaknai seperti kekerasan atau kesulitan dalam hidup yang kita selalu hadapi,"terangnya.
Menyukai puisi sejak kecil karena menjadi bagian penting dalam bersosialisasi di Afghanistan, tak ayal juga membekas dalam benak Amin, sehingga kerap dimasukkan dalam karya-karyanya. Terutama dari buku The Divan of Hafez, karya penyair Shirazi, Hafez yang diberikan ayahnya sebagai pegangan hidup.
Hal itu misalnya, terejawantah dalam salah satu lukisannya yang dibubuhi puisi berbahasa Persia yang berbunyi 'jangan tanyakan kecantikan matahari dari kelelawar. Pasalnya dia tidak pernah melihat sang surya dan hidup dalam kegelapan.'
Tak hanya itu, lewat karya miniatur Persia yang sering menjadi ilustrasi buku, sang seniman mencoba menggambarkan perjalanan sangkan paran atau dari dan menuju kemana manusia hidup. Termasuk lewat simbol, makhluk hidup, mitos, dan kenangan masa kecilnya di Bamiyan, Afghanistan yang terus dilanda konflik dan perang.
"Sejak kecil konflik antar berbagai kepentingan telah menjadi bagian dari hidup saya. Oleh karena visual mengenai perang juga membentuk dunia pengkaryaan saya sebagai seniman hingga saat ini," katanya.
Kedaulatan Berpendapat
Aditya Lingga, Asisten Kuratorial Museum MACAN mengatakan, pameran Voice Against Reason memang fokus untuk menyoroti isu seputar kedaulatan berpendapat, partisipasi, dan beragam cara masyarakat dalam menginterpretasi berbagai kelindan peristiwa, termasuk melalui medan seni rupa.
Kerangka kuratorial itulah yang kemudian mendorong mereka untuk lebih banyak melibatkan seniman dan masyarakat dalam jejaring yang sedang dibangun. Khususnya dengan mengadakan berbagai rangkaian diskusi, program kuliah terbuka, dan program-program publik.
"Voice Against Reason digagas tidak hanya sebagai sebuah pameran, tapi sebagai sebuah wadah keterlibatan yang dinamis antara perupa, karya, dan pengunjung," terangnya.
Secara umum, benang merah dari pameran ini adalah menyuarakan sesuatu yang cenderung melawan arus atau konvensi yang ada di lanskap geopolitik global. Dalam karya Amin Taasha misalnya, sang seniman mengkritik silang sengkarut politik di Afghanistan yang berdampak pada kebebasan berekspresi masyarakat.
Namun, setelah Amin pindah dan mukim di Yogyakarta, sang perupa juga menyerap berbagai berbagai kelindan budaya yang telah dia sambangi. Salah satunya khasanah budaya Jawa yang mengajarkan untuk menghormati liyan, yang diambil dari karakter-karakter pewayangan, yakni Punakawan.
Terdiri dari empat tokoh, yaitu Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, punakawan menurutnya merupakan perwujudan dari sifat dan watak manusia. Mitologi inilah yang kemudian juga menjadi falsafah bagi sang seniman untuk memaknai hidup sekaligus inspirasi karya yang disandingkan dengan berbagai puisi dari Persia.
Aditya menambahkan, saat ini, di mana teknologi kerap mendorong keseragaman, atau penulisan sejarah yang menyamarkan pengalaman individu dan pribadi yang berbeda, maka berbicara adalah hal yang penting dilakukan untuk dapat melihat lingkungan sekitar dengan cara yang lebih kritis.
Adapun,simbol yang divisualkan oleh Amin Taasha merupakan referensi langsung dari objek dunia nyata yang terhubung dengan kenangan masa kecil sang seniman saat berada di zona perang, di Bamiyan, Afghanistan. "Gambar potongan pesawat, senjata, dan amunisi, dulunya juga menjadi barang rongsokan yang dijual Amin, atau dijadikan hiasan di rumah sang seniman," katanya.
Selain itu, sedari awal pameran ini memang bertolak dari gagasan bahwa perupa dapat membantu masyarakat dalam menyuarakan pendapat. Tak hanya itu, mereka juga dapat memberi bentuk lewat media visual pada isu-isu dan ide-ide yang terkadang bergolak di bawah permukaan, atau yang mungkin berlawanan dengan arus.
"Selama lebih dari 12 bulan, kami telah bekerja sama dengan para perupa dalam mengembangkan dan mengkomisi sejumlah karya baru, baik berupa instalasi, video, dan performans, yang akan dipamerkan bersamaan dengan karya-karya besar oleh para perupa dari seluruh regional Asia," katanya.
Baca juga: Wawancara Eksklusif Amin Taasha: Seniman Afghanistan yang Memilih Tinggal & Berkarya di Indonesia
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.