Mengenal Sejarah Kapal Pinisi, Teknologi Perahu Nenek Moyang yang Jadi Warisan Budaya Tak Benda
07 December 2023 |
15:23 WIB
Enam tahun lalu, Kapal Pinisi secara resmi diakui oleh UNESCO sebagai warisan Budaya Tak Benda dari Indonesia. Sebagai salah satu kapal ikonik dari Sulawesi Selatan, Pinisi punya sejarah panjang dan membentuk nenek moyang Nusantara menjadi pelaut sejati.
Kapal Pinisi menjadi salah satu bukti Indonesia punya sejarah panjang kemaritiman dunia. Orang-orang Indonesia sudah sejak dahulu piawai dalam membuat kapal tradisional dalam versinya sendiri, dan berlayar mengitari pulau-pulau di dalam negeri dan luar negeri.
Baca juga: Fakta-fakta Tentang Kapal Pinisi yang Dijadikan Google Doodle Hari ini
Melansir dari Kemendikbudristek, kapal Pinisi sudah ada di Indonesia sejak abad ke-14 Masehi. Cerita-cerita tentang kapal Pinisi juga tertuang dalam naskah Lontarak I Babad La Lagaligo. Pada naskah tersebut, perahu ini diketahui dibuat pertama kali oleh putra mahkota Kerajaan Luwu bernama Sawerigading.
Kala itu, sang putera mahkota membuat perahu dari pohon welengreng atau pohon dewata yang dikenal punya karakter kuat dan kokoh. Tujuan awal kapal ini dibuat ialah untuk keperluan pelayaran ke China.
Sawerigading kala itu berminat mempersunting seorang putri China bernama We Cudai. Tujuan mulia itu tercapai, Sawerigading sempat menetap di China selama beberapa lama sebelum akhirnya kembali ke kampung halaman.
Namun, saat di perjalanan pulang, ketika berada di dekat Pantai Luwu, perahu Sawerigading dihantam ombah hingga terpecah. Pecahan perahu itu terdampar ke tiga tempat di Bulukumba, yakni Kelurahan Ara, Tana Beru, dan Lemo-lemo. Masyarakat yang menyadarinya kemudian menyatukan kembali dan jadilah kapal Pinisi yang megah.
Melansir dari Kemenparekraf, kapal Pinisi memiliki sistem tali temali dan layar sekuner khas Sulawesi. Ciri utamanya bisa dilihat dari penggunaan 7-8 layar, serta dua tiang utama pada bagian depan dan belakang kapal. Pinisi juga umumnya dibuat dari kayu berkualitas.
Sejauh ini, terdapat empat kayu yang umumnya digunakan para pelaut untuk membuat kapal Pinisi, yakni kayu besi, kayu bitti, kayu kandole, dan kayu jati. Di Indonesia, pembuatan kapal ini banyak dilakukan oleh masyarakat Bulukumba, Sulawesi Selatan, khususnya di desa Tana Beru, Bira, dan Batu Licin.
Tidak hanya sejarahnya saja yang panjang, setiap pembuatan kapal Pinisi selalu dibalut dalam pemaknaan dan filosofi mendalam yang apik bagi masyarakat. Terlebih, Pinisi merupakan lambang dari teknik perkapalan tradisional negara kepulauan.
Hal ini membuat pembuatan kapal ini pun punya laku yang unik. Pertama, sebelum dibuat, teknisi biasanya akan menentukan hari baik untuk mencari kayu sebagai bahan pembuatan kapal pinisi terlebih dahulu. Hari baik ini biasanya jatuh pada hari kelima dan ketujuh pada bulan pembuatan kapal. Pemilihan hari baik ini melambangkan rezeki yang ada di tangan.
Pada tahap kedua, teknisi mulai masuk ke proses menebang, mengeringkan, dan memotong kayu. Kemudian, kayu tersebut dirakit perlahan menjadi kapal megah. Tahap ini biasanya memakan waktu berbulan-bulan.
Ketiga, setelah kapal jadi, akan dilakukan upacara maccera lopi atau menyucikan kapal terlebih dahulu.
Upacara tersebut ditandai dengan kegiatan menyembelih sapi atau kambing. Jika kapal kurang dari 100 ton,
prosesi persembahan cukup dengan kambing, sedangkan di atas 100 ton mesti menggunakan sapi. Setelah upacara selesai, kapal baru boleh dilepas ke laut untuk berlayar.
Kini, kapal Pinisi masih terus dibuat dan digunakan untuk berlayar. Namun, jika dahulu lebih banyak difungsikan sebagai kapal kargo, saat ini Pinisi lebih banyak digunakan untuk tujuan wisata.
Baca juga: Mengenal Lenny Wen, Ilustrator di Balik Ikon Google Doodle Dokter Sulianti Saroso
Editor: Indyah Sutriningrum
Kapal Pinisi menjadi salah satu bukti Indonesia punya sejarah panjang kemaritiman dunia. Orang-orang Indonesia sudah sejak dahulu piawai dalam membuat kapal tradisional dalam versinya sendiri, dan berlayar mengitari pulau-pulau di dalam negeri dan luar negeri.
Baca juga: Fakta-fakta Tentang Kapal Pinisi yang Dijadikan Google Doodle Hari ini
Melansir dari Kemendikbudristek, kapal Pinisi sudah ada di Indonesia sejak abad ke-14 Masehi. Cerita-cerita tentang kapal Pinisi juga tertuang dalam naskah Lontarak I Babad La Lagaligo. Pada naskah tersebut, perahu ini diketahui dibuat pertama kali oleh putra mahkota Kerajaan Luwu bernama Sawerigading.
Kala itu, sang putera mahkota membuat perahu dari pohon welengreng atau pohon dewata yang dikenal punya karakter kuat dan kokoh. Tujuan awal kapal ini dibuat ialah untuk keperluan pelayaran ke China.
Sawerigading kala itu berminat mempersunting seorang putri China bernama We Cudai. Tujuan mulia itu tercapai, Sawerigading sempat menetap di China selama beberapa lama sebelum akhirnya kembali ke kampung halaman.
Namun, saat di perjalanan pulang, ketika berada di dekat Pantai Luwu, perahu Sawerigading dihantam ombah hingga terpecah. Pecahan perahu itu terdampar ke tiga tempat di Bulukumba, yakni Kelurahan Ara, Tana Beru, dan Lemo-lemo. Masyarakat yang menyadarinya kemudian menyatukan kembali dan jadilah kapal Pinisi yang megah.
Ilustrasi kapal (Sumber gambar: Kemenparekraf)
Melansir dari Kemenparekraf, kapal Pinisi memiliki sistem tali temali dan layar sekuner khas Sulawesi. Ciri utamanya bisa dilihat dari penggunaan 7-8 layar, serta dua tiang utama pada bagian depan dan belakang kapal. Pinisi juga umumnya dibuat dari kayu berkualitas.
Sejauh ini, terdapat empat kayu yang umumnya digunakan para pelaut untuk membuat kapal Pinisi, yakni kayu besi, kayu bitti, kayu kandole, dan kayu jati. Di Indonesia, pembuatan kapal ini banyak dilakukan oleh masyarakat Bulukumba, Sulawesi Selatan, khususnya di desa Tana Beru, Bira, dan Batu Licin.
Tidak hanya sejarahnya saja yang panjang, setiap pembuatan kapal Pinisi selalu dibalut dalam pemaknaan dan filosofi mendalam yang apik bagi masyarakat. Terlebih, Pinisi merupakan lambang dari teknik perkapalan tradisional negara kepulauan.
Hal ini membuat pembuatan kapal ini pun punya laku yang unik. Pertama, sebelum dibuat, teknisi biasanya akan menentukan hari baik untuk mencari kayu sebagai bahan pembuatan kapal pinisi terlebih dahulu. Hari baik ini biasanya jatuh pada hari kelima dan ketujuh pada bulan pembuatan kapal. Pemilihan hari baik ini melambangkan rezeki yang ada di tangan.
Pada tahap kedua, teknisi mulai masuk ke proses menebang, mengeringkan, dan memotong kayu. Kemudian, kayu tersebut dirakit perlahan menjadi kapal megah. Tahap ini biasanya memakan waktu berbulan-bulan.
Ketiga, setelah kapal jadi, akan dilakukan upacara maccera lopi atau menyucikan kapal terlebih dahulu.
Upacara tersebut ditandai dengan kegiatan menyembelih sapi atau kambing. Jika kapal kurang dari 100 ton,
prosesi persembahan cukup dengan kambing, sedangkan di atas 100 ton mesti menggunakan sapi. Setelah upacara selesai, kapal baru boleh dilepas ke laut untuk berlayar.
Kini, kapal Pinisi masih terus dibuat dan digunakan untuk berlayar. Namun, jika dahulu lebih banyak difungsikan sebagai kapal kargo, saat ini Pinisi lebih banyak digunakan untuk tujuan wisata.
Baca juga: Mengenal Lenny Wen, Ilustrator di Balik Ikon Google Doodle Dokter Sulianti Saroso
Editor: Indyah Sutriningrum
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.