Printing Itu Bukan Batik, Tetapi Hanya Baju Bermotif
02 October 2023 |
20:00 WIB
Indonesia merayakan batik sebagai salah satu wastra populer Indonesia setiap 2 Oktober. Batik telah lama menjadi warisan budaya takbenda sejak 14 tahun lalu setelah Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) meresmikannya pada 2009.
Setiap tahunnya, masyarakat Indonesia melakukan selebrasi kekayaan wastra menandai penghargaan atas filosofinya yang kental dengan motif-motif etnik. Bahkan sejak zaman Kerajaan Majapahit, batik telah dipercaya sebagai pengisi kisi sandang manusia yang sarat akan nilai budaya.
Baca juga: 5 Pilihan Gaya Busana Batik yang Anggun & Modis
Makin tua, batik kian mengeluarkan nilai budayanya. Saat ini, batik telah menjadi bagian dari keseharian dalam pakaian formal pelajar hingga pekerja.Kain-kain sarat kultur seperti batik hingga jumputan juga makin bersentuhan dengan konsep pakaian modern yang dikombinasikan dalam busana-busana siap pakai.
Tren penggunaan jumputan yang kian populer ini disambut baik oleh Desainer Jumputan Riris Ghofir. Wastra tampak kian dekat dengan paduan pakaian semi-formal. Menurut Risis, keragaman model, detail, dan kombinasi bahan sukses menepis anggapan wastra yang kuno dan kurang menarik. Apalagi, kini banyak desainer yang bermain dengan kreativitasnya untuk membuat jumputan makin masuk dengan pakaian sehari-hari.
Riris sendiri sudah lama jatuh hati dengan jumputan. Dalam karya fesyennya, dia pernah menggunakan jumputan khas Solo, Kalimantan, dan koleksi jumputan Palembang yang terakhir dirilisnya pada 2020. Bagi Riris, jumputan Palembang menjadi salah satu wastra yang menarik di matanya. Ketertarikannya dengan kain tersebut dimulai setelah temannya mengirimi kain jumputan Palembang yang mirip sutera.
Menurut Riris, jenis kain yang jatuh pada jumputan Palembang ini cukup berbeda dengan tekstur jumputan daerah lain yang cenderung kaku. “Sehingga cocok sekali untuk dibuat baju pesta karena saya mau keluarkan koleksi itu. Selain itu warna gradasinya yang mirip sunset juga buat saya menarik,” katanya.
Dari segi bisnis, Riris menyasar kalangan pekerja profesional yang memang banyak membutuhkan pakaian semi formal. Riris memandang kalangan tersebut sebagai target pasar yang empuk karena selalu bersinggungan dengan pakaian batik tidak hanya pada hari biasa, tetapi juga kebutuhan pakaian menghadiri pesta saat akhir pekan.
Sayangnya, wastra Indonesia masih lebih dominan dipandang sebagai pakaian fungsional saja meskipun banyak makna filosofis di dalam motifnya. Riris berpendapat, sebagian besar pasar pengguna wastra saat ini memang masih mengedepankan nilai fungsional seperti bahan kain, model, dan keindahan motif saja.
Desainer Batik Era Soekamto mengatakan, literasi batik merupakan langkah penting yang harus terus diterapkan kepada masyarakat. Menurutnya, Indonesia boleh berbangga akan penggunaan batik dalam negeri yang besar. Namun merajalelanya batik printing juga menandai literasi masyarakat terhadap batik masih minim.
Dalam pandangan Era, lahirnya batik printing menjad ceruk yang dimanfaatkan pelaku usaha kepada konsumen yang secara ekonomi tak bisa membeli jenis batik tulis dan batik cap. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang bahkan belum mengetahui jika batik yang dibelinya hanya kain bermotif batik saja dan bukan merupakan batik asli.
“Ini butuh pendidikan, bahwa motif batik secara teknik harus memakai lilin. Sementara batik printing itu bukan batik, hanyalah baju bermotif saja. Artinya, kurangnya awareness kita tentang batik ini masih menjadi tantangan,” kata Era.
Batik dipandang sebagai hal yang sakral. Di dalam guratan motifnya, terdapat banyak sejarah kultur, cerita moral, dan segala hal yang menandai kebesaran bangsa. Menurut Era, sisi lain dari batik yang harus disebarkan adalah pesan subliminal.
Dengan menghargai batik asli, penggunanya dapat memiliki ketertarikan khusus dibalik motif batik yang dikenakannya. “Misalnya batik parang. Menarik sekali untuk mengetahui artinya, penciptanya, kenapa jenis itu hanya digunakan oleh para raja saja sampai sekarang. Bahwa batik tertentu juga berkaitan dengan status sosial,” kata Era.
Era lebih memandang batik sebagai hal yang klasik. Dalam dunia desainer, batik memang kerap dianggap sebagai tren. Namun filosofi utama dalam pemaknaan batik merupakan hal yang lebih krusial lagi. Era menyebut, batik yang dulunya menjadi ‘kitab berjalan’ bagi bangsawan kini dapat dimanfaatkan sebagai simbol daerah dalam hal visual komunikasi untuk menyampaikan suatu pesan.
Hal ini merupakan identitas unik yang perkembangannya harus dipantau seiring dengan penjagaan tradisi dan makna agar dapat memberi apresiasi yang tepat terhadap batik. “Pembatik bertanggung jawab menjadi original dan punya pesannya sendiri yang dapat disampaikan ke masyarakat luas. Bukan hanya menjual barang, tapi juga merawat budaya,” jelas Era.
Kini, tantangan perajin dalam dunia wastra Indonesia kian besar. Selain bersaing dengan batik printing, regenerasi perajin juga menjadi suatu tanda tanya besar di masa mendatang. Ketua Dewan Pakar Yayasan Batik Indonesia serta Ketua Asosiasi Perajin & Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) Komarudin Kudiya mengatakan jika jumlah perajin batik kini tengah terjun bebas sekitar 50?ri total perajin batik sebelum pandemi Covid-19.
Komarudin menjelaskan, ada sekitar 131.565 perajin batik yang terdaftar di APPBI. Sementara saat ini setengah dari perajin batik tersebut terpangkas karena berbagai alasan. Padahal, Komarudin mengatakan produksi batik sedang berada di momen tertinggi menjelang Hari Batik Nasional di tahun ini.
“Kami terus mengedukasi generasi muda untuk mencintai batik tidak hanya sebagai pengguna tetapi juga tertarik untuk berkarya di batik,” kata Komarudin. Sehingga pemerintah dan pihak swasta diminta terus mendorong regenerasi perajin batik dengan berbagai cara yang unik dan kreatif untuk menggaet anak muda.
Komarudin menjelaskan, saat ini beberapa kota di Jakarta sedang menjadi wadah pelatihan para perajin batik baru yang diambil dari pengusaha atau UKM fesyen untuk dilibatkan dalam mempelajari cara membatik. Pelatihan ini difasilitasi oleh Provinsi Jakarta ini mengajarkan perajin batik tentang cara mengembangkan konsep desain hingga teknik membatik tulis dan cap.
Pelatihan menjadi salah satu upaya penting untuk menggalakkan regenerasi pelaku wastra. Sebab, anak muda kini dijembrengi dengan segudang opsi ladang uang yang banyak. Menarik minat perajin batik dari kalangan muda dapat dilakukan dengan memberikan upah yang bisa bersaing dengan upah minimum regional (UMR). Menurut Komarudin, strategi ini bisa diterapkan kepada anak muda yang bukan berasal dari daerah pembatik.
Selain membuka pangsa yang lebih lebar, industri batik juga harus melirik anak muda yang tertarik dengan batik meski daerahnya bukanlah penghasil batik yang besar. Maka fokus menjaring regenerasi batik tidak hanya terbatas pada anak muda di daerah pembatik saja. “Jika tidak serius melakukan regenerasi, kemungkinan dalam hitungan 10 hingga 20 tahun akan datang wastra seperti batik berpotensi hilang di beberapa daerah,” jelas Komarudin.
Baca juga: Mengenali 4 Perbedaan Batik Klasik & Pesisir, Lain Motif hingga Warna
Editor: Dika Irawan
Setiap tahunnya, masyarakat Indonesia melakukan selebrasi kekayaan wastra menandai penghargaan atas filosofinya yang kental dengan motif-motif etnik. Bahkan sejak zaman Kerajaan Majapahit, batik telah dipercaya sebagai pengisi kisi sandang manusia yang sarat akan nilai budaya.
Baca juga: 5 Pilihan Gaya Busana Batik yang Anggun & Modis
Makin tua, batik kian mengeluarkan nilai budayanya. Saat ini, batik telah menjadi bagian dari keseharian dalam pakaian formal pelajar hingga pekerja.Kain-kain sarat kultur seperti batik hingga jumputan juga makin bersentuhan dengan konsep pakaian modern yang dikombinasikan dalam busana-busana siap pakai.
Tren penggunaan jumputan yang kian populer ini disambut baik oleh Desainer Jumputan Riris Ghofir. Wastra tampak kian dekat dengan paduan pakaian semi-formal. Menurut Risis, keragaman model, detail, dan kombinasi bahan sukses menepis anggapan wastra yang kuno dan kurang menarik. Apalagi, kini banyak desainer yang bermain dengan kreativitasnya untuk membuat jumputan makin masuk dengan pakaian sehari-hari.
Riris sendiri sudah lama jatuh hati dengan jumputan. Dalam karya fesyennya, dia pernah menggunakan jumputan khas Solo, Kalimantan, dan koleksi jumputan Palembang yang terakhir dirilisnya pada 2020. Bagi Riris, jumputan Palembang menjadi salah satu wastra yang menarik di matanya. Ketertarikannya dengan kain tersebut dimulai setelah temannya mengirimi kain jumputan Palembang yang mirip sutera.
Menurut Riris, jenis kain yang jatuh pada jumputan Palembang ini cukup berbeda dengan tekstur jumputan daerah lain yang cenderung kaku. “Sehingga cocok sekali untuk dibuat baju pesta karena saya mau keluarkan koleksi itu. Selain itu warna gradasinya yang mirip sunset juga buat saya menarik,” katanya.
Dari segi bisnis, Riris menyasar kalangan pekerja profesional yang memang banyak membutuhkan pakaian semi formal. Riris memandang kalangan tersebut sebagai target pasar yang empuk karena selalu bersinggungan dengan pakaian batik tidak hanya pada hari biasa, tetapi juga kebutuhan pakaian menghadiri pesta saat akhir pekan.
Sayangnya, wastra Indonesia masih lebih dominan dipandang sebagai pakaian fungsional saja meskipun banyak makna filosofis di dalam motifnya. Riris berpendapat, sebagian besar pasar pengguna wastra saat ini memang masih mengedepankan nilai fungsional seperti bahan kain, model, dan keindahan motif saja.
Desainer Batik Era Soekamto mengatakan, literasi batik merupakan langkah penting yang harus terus diterapkan kepada masyarakat. Menurutnya, Indonesia boleh berbangga akan penggunaan batik dalam negeri yang besar. Namun merajalelanya batik printing juga menandai literasi masyarakat terhadap batik masih minim.
Dalam pandangan Era, lahirnya batik printing menjad ceruk yang dimanfaatkan pelaku usaha kepada konsumen yang secara ekonomi tak bisa membeli jenis batik tulis dan batik cap. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang bahkan belum mengetahui jika batik yang dibelinya hanya kain bermotif batik saja dan bukan merupakan batik asli.
“Ini butuh pendidikan, bahwa motif batik secara teknik harus memakai lilin. Sementara batik printing itu bukan batik, hanyalah baju bermotif saja. Artinya, kurangnya awareness kita tentang batik ini masih menjadi tantangan,” kata Era.
Batik dipandang sebagai hal yang sakral. Di dalam guratan motifnya, terdapat banyak sejarah kultur, cerita moral, dan segala hal yang menandai kebesaran bangsa. Menurut Era, sisi lain dari batik yang harus disebarkan adalah pesan subliminal.
Dengan menghargai batik asli, penggunanya dapat memiliki ketertarikan khusus dibalik motif batik yang dikenakannya. “Misalnya batik parang. Menarik sekali untuk mengetahui artinya, penciptanya, kenapa jenis itu hanya digunakan oleh para raja saja sampai sekarang. Bahwa batik tertentu juga berkaitan dengan status sosial,” kata Era.
Era lebih memandang batik sebagai hal yang klasik. Dalam dunia desainer, batik memang kerap dianggap sebagai tren. Namun filosofi utama dalam pemaknaan batik merupakan hal yang lebih krusial lagi. Era menyebut, batik yang dulunya menjadi ‘kitab berjalan’ bagi bangsawan kini dapat dimanfaatkan sebagai simbol daerah dalam hal visual komunikasi untuk menyampaikan suatu pesan.
Hal ini merupakan identitas unik yang perkembangannya harus dipantau seiring dengan penjagaan tradisi dan makna agar dapat memberi apresiasi yang tepat terhadap batik. “Pembatik bertanggung jawab menjadi original dan punya pesannya sendiri yang dapat disampaikan ke masyarakat luas. Bukan hanya menjual barang, tapi juga merawat budaya,” jelas Era.
Tantangan Regenerasi Perajin Batik
Ilustrasi kelas membatik anak (Sumber gambar: Delfi Rismayeti/Hypeabis.id)
Komarudin menjelaskan, ada sekitar 131.565 perajin batik yang terdaftar di APPBI. Sementara saat ini setengah dari perajin batik tersebut terpangkas karena berbagai alasan. Padahal, Komarudin mengatakan produksi batik sedang berada di momen tertinggi menjelang Hari Batik Nasional di tahun ini.
“Kami terus mengedukasi generasi muda untuk mencintai batik tidak hanya sebagai pengguna tetapi juga tertarik untuk berkarya di batik,” kata Komarudin. Sehingga pemerintah dan pihak swasta diminta terus mendorong regenerasi perajin batik dengan berbagai cara yang unik dan kreatif untuk menggaet anak muda.
Komarudin menjelaskan, saat ini beberapa kota di Jakarta sedang menjadi wadah pelatihan para perajin batik baru yang diambil dari pengusaha atau UKM fesyen untuk dilibatkan dalam mempelajari cara membatik. Pelatihan ini difasilitasi oleh Provinsi Jakarta ini mengajarkan perajin batik tentang cara mengembangkan konsep desain hingga teknik membatik tulis dan cap.
Pelatihan menjadi salah satu upaya penting untuk menggalakkan regenerasi pelaku wastra. Sebab, anak muda kini dijembrengi dengan segudang opsi ladang uang yang banyak. Menarik minat perajin batik dari kalangan muda dapat dilakukan dengan memberikan upah yang bisa bersaing dengan upah minimum regional (UMR). Menurut Komarudin, strategi ini bisa diterapkan kepada anak muda yang bukan berasal dari daerah pembatik.
Selain membuka pangsa yang lebih lebar, industri batik juga harus melirik anak muda yang tertarik dengan batik meski daerahnya bukanlah penghasil batik yang besar. Maka fokus menjaring regenerasi batik tidak hanya terbatas pada anak muda di daerah pembatik saja. “Jika tidak serius melakukan regenerasi, kemungkinan dalam hitungan 10 hingga 20 tahun akan datang wastra seperti batik berpotensi hilang di beberapa daerah,” jelas Komarudin.
Baca juga: Mengenali 4 Perbedaan Batik Klasik & Pesisir, Lain Motif hingga Warna
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.