Asa di Balik Punggawa Gultik Blok M
30 August 2023 |
16:28 WIB
1
Like
Like
Like
Bisnis street food atau makanan jalanan kian menjamur di tengah kebiasaan masyarakat terutama kaum urban yang mencari kepraktisan untuk mengisi perut yang lapar atau sekadar mencari camilan. Tak jarang, usaha ini menjadi ajang promosi hingga mempertahankan kuliner lokal.
Di sejumlah negara, lokasi tempat berkumpulnya pedagang makanan jalanan yang biasa dijajakan dalam gerobakan troli, kedai, atau kios kecil ini justru menjadi tujuan utama wisata. Pasalnya dalam satu tempat, pengunjung bisa mencicipi ragam kuliner, terutama makanan atau minuman otentik khas dari daerah yang ada di negara tersebut.
Baca juga: 5 Kuliner Legendaris di Jakarta, dari Bakmi Gang Kelinci Hingga Kopi Es Tak Kie
Jika Korea Selatan memiliki Namdaemun yang menjajakan ragam kuliner khas Negeri Gingseng seperti tteokbokki, odeng, japchae ataupun corn dog, Indonesia punya Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di sepanjang jalan kawasan ini, tersedia kuliner lokal seperti Nasi Goreng, Sate dengan ragam olahan, dan tentunya yang populer dan membuat orang penasaran yakni, Gultik.
Gulai Tikungan alias Gultik tampaknya menjadi street food andalan di sekitar Jalan Mahakam dan Jalan Bulungan di kawasan Blok M. Kuliner berupa gulai daging sapi yang disajikan dengan sepiring nasi dan kerupuk, ditambah sambal merah dan kecap ini sudah ada sejak 90an di wilayah tersebut.
Darnoko sebagai salah satu perintis yang berjualan sejak 1993 itu mengungkapkan Gultik awalnya bernama gulai Solo yang sedikit banyak terinspirasi dari masakan khas Padang, Sumatera Barat dengan ciri khas kaya santan dan rempah. Kala itu, para pedagang sepakat menamakannya Gultik karena gulai dari Solo ini laris manis saat dijual di tikungan jalanan kawasan Blok M.
Seiring waktu, Gultik menjadi populer. Pedagang kuliner ini pun semakin ramai di wilayah tersebut dan membuat kawasan Blok M menjadi pusat dari Gultik. Selama kurang lebih 30 tahun berjualan Gultik, tentu asam garam telah dilalui Darnoko.
Seraya membuka tutup panci aluminium dan seketika aroma rempah menyerebak, Darmoko bercerita awal mula berdagang, dia dan pedagang lainnya kerap terjerat razia Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Namun seiring waktu, razia semakin minim lantaran para pedagang di kawasan tersebut semakin tertata dan banyak dukungan dengan ramainya pengunjung yang datang di kawasan tersebut, terutama pada akhir pekan.
Bisa dikatakan, pengunjung semakin ramai ketika para pedagang Sate Taichan yang semula berada di Kawasan Senayan, beberapa diantaranya pindah ke kawasan Blok M. Mereka yang berwisata kuliner semakin banyak alternatif. “Taican bikin Gultik tambah ramai,” imbuhnya.
Kendati demikian, ramai tidaknya pembeli menurut pria yang karib disapa Pakde Darto itu sangat tergantung pada lokasi. Lapak yang didapatkannya terbilang tidak terlalu strategis karena berada di ujung jalan besar, menempel tembok Kejaksaan Agung.
Dia sempat menjual hanya lima porsi Gultik saja karena konsumen yang mayoritas anak muda memilih untuk membeli Gultik di sekitar Jalan Mahakam, tempat yang ramai karena dekat dengan restoran dan pusat jalan. “Hari biasa di daerah Hanamasa bisa habis 8 liter (nasi), di sini, 3 liter saja tidak habis,” keluhnya.
Berjualan dari harga awal Rp200 pada 90an hingga kini Rp10.000 satu porsinya, Darto mengaku tidak menyerah dengan keadaan. Dia percaya selalu ada pembeli yang mengutamakan kualitas rasa, kebersihan, dan kenyamanan seperti yang ditawarkannya. Tak jarang yang datang ke lapaknya adalah para langganan lama.
“Banyak yang bilang di sini tempatnya nyaman, bersih, enggak kumuh. Tapi kan kalau anak muda lihatnya tempat ramai,” tuturnya.
Baca juga: Yuk Berburu Kuliner Legendaris Juara Lokal Jakarta
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Di sejumlah negara, lokasi tempat berkumpulnya pedagang makanan jalanan yang biasa dijajakan dalam gerobakan troli, kedai, atau kios kecil ini justru menjadi tujuan utama wisata. Pasalnya dalam satu tempat, pengunjung bisa mencicipi ragam kuliner, terutama makanan atau minuman otentik khas dari daerah yang ada di negara tersebut.
Baca juga: 5 Kuliner Legendaris di Jakarta, dari Bakmi Gang Kelinci Hingga Kopi Es Tak Kie
Jika Korea Selatan memiliki Namdaemun yang menjajakan ragam kuliner khas Negeri Gingseng seperti tteokbokki, odeng, japchae ataupun corn dog, Indonesia punya Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di sepanjang jalan kawasan ini, tersedia kuliner lokal seperti Nasi Goreng, Sate dengan ragam olahan, dan tentunya yang populer dan membuat orang penasaran yakni, Gultik.
Gulai Tikungan alias Gultik tampaknya menjadi street food andalan di sekitar Jalan Mahakam dan Jalan Bulungan di kawasan Blok M. Kuliner berupa gulai daging sapi yang disajikan dengan sepiring nasi dan kerupuk, ditambah sambal merah dan kecap ini sudah ada sejak 90an di wilayah tersebut.
Seporsi gultik yang dijual di daerah Blok M. (Sumber gambar : Desyinta Nuraini/Hypeabis.id)
Darnoko sebagai salah satu perintis yang berjualan sejak 1993 itu mengungkapkan Gultik awalnya bernama gulai Solo yang sedikit banyak terinspirasi dari masakan khas Padang, Sumatera Barat dengan ciri khas kaya santan dan rempah. Kala itu, para pedagang sepakat menamakannya Gultik karena gulai dari Solo ini laris manis saat dijual di tikungan jalanan kawasan Blok M.
Seiring waktu, Gultik menjadi populer. Pedagang kuliner ini pun semakin ramai di wilayah tersebut dan membuat kawasan Blok M menjadi pusat dari Gultik. Selama kurang lebih 30 tahun berjualan Gultik, tentu asam garam telah dilalui Darnoko.
Seraya membuka tutup panci aluminium dan seketika aroma rempah menyerebak, Darmoko bercerita awal mula berdagang, dia dan pedagang lainnya kerap terjerat razia Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Namun seiring waktu, razia semakin minim lantaran para pedagang di kawasan tersebut semakin tertata dan banyak dukungan dengan ramainya pengunjung yang datang di kawasan tersebut, terutama pada akhir pekan.
Pakde Darto, salah satu penjual gultik di Blok M sejak 1993 (Sumber gambar : Desyinta Nuraini/Hypeabis.id)
Bisa dikatakan, pengunjung semakin ramai ketika para pedagang Sate Taichan yang semula berada di Kawasan Senayan, beberapa diantaranya pindah ke kawasan Blok M. Mereka yang berwisata kuliner semakin banyak alternatif. “Taican bikin Gultik tambah ramai,” imbuhnya.
Kendati demikian, ramai tidaknya pembeli menurut pria yang karib disapa Pakde Darto itu sangat tergantung pada lokasi. Lapak yang didapatkannya terbilang tidak terlalu strategis karena berada di ujung jalan besar, menempel tembok Kejaksaan Agung.
Dia sempat menjual hanya lima porsi Gultik saja karena konsumen yang mayoritas anak muda memilih untuk membeli Gultik di sekitar Jalan Mahakam, tempat yang ramai karena dekat dengan restoran dan pusat jalan. “Hari biasa di daerah Hanamasa bisa habis 8 liter (nasi), di sini, 3 liter saja tidak habis,” keluhnya.
Berjualan dari harga awal Rp200 pada 90an hingga kini Rp10.000 satu porsinya, Darto mengaku tidak menyerah dengan keadaan. Dia percaya selalu ada pembeli yang mengutamakan kualitas rasa, kebersihan, dan kenyamanan seperti yang ditawarkannya. Tak jarang yang datang ke lapaknya adalah para langganan lama.
“Banyak yang bilang di sini tempatnya nyaman, bersih, enggak kumuh. Tapi kan kalau anak muda lihatnya tempat ramai,” tuturnya.
Baca juga: Yuk Berburu Kuliner Legendaris Juara Lokal Jakarta
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.