Kenalan dengan Fatalisme, Salah Satu Penyebab Orang Abai Protokol Kesehatan
29 July 2021 |
11:30 WIB
Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan membuat banyak orang akhirnya jenuh. Tak sedikit diantaranya yang lelah dan akhirnya memasrahkan diri dan abai terhadap bahaya dari virus tersebut dengan melonggarkan atau tak lagi menerapkan protokol kesehatan.
Sosiolog dari Universitas Nasional Sigit Rochadi mengatakan, kejenuhan masyarakat terhadap pandemi pada dasarnya merupakan sebuah kewajaran apabila dilihat dari sudut pandang sosiologi. Karena setiap manusia punya batas untuk menoleransi pembatasan aktivitas mereka.
“Di awal-awal atau untuk sementara mungkin bisa dibatasi, tetapi lama-lama tentunya akan jenuh. Ibaratnya kemerdekaan mereka direnggut, mereka tentunya akan berupaya keras agar kemerdekaan itu bisa mereka dapatkan kembali,” katanya.
Lebih lanjut, Sigit menyebut ketidakpatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan yang terjadi di tengah melonjaknya kasus Covid-19 merupakan salah satu contoh dari fatalisme. Fatalisme adalah pandangan yang meyakini bahwa manusia dikuasai takdir dan tidak ada upaya apapun yang bisa mengubahnya.
Menurut Sigit, munculnya pandangan tersebut pada diri individu saat pandemi melanda dipengaruhi oleh beberapa faktor. “Fatalisme ini dipengaruhi norma yang dianut seseorang, lingkungan, tingkat pendidikan dan kondisi ekonomi. Mereka yang berpendidikan tinggi dan kondisi ekonominya masih baik di tengah pandemi mungkin tak berpandangan seperti itu, tapi bukan tak mungkin, karena ada titik di mana mereka jenuh dan akhirnya seperti itu,” tuturnya.
Sementara itu, Peneliti Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Abdul Malik Gismar menyebut pandangan fatalisme yang merupakan sisi negatif yang muncul dari meningkatnya religiusitas masyarakat pascapandemi Covid-19. Masyarakat kerap mengabaikan protokol kesehatan dengan dalih berserah diri kepada Tuhan yang akan menyelamatkan.
Tentu saja, konsep itu keliru mengingat dalam ajaran agama apapun berserah diri harus diikuti oleh ikhtiar atau upaya terlebih dahulu. Pertolongan Tuhan akan datang kepada mereka yang senantiasa berusaha dengan bersungguh-sungguh dalam berikhtiar.
"Biasanya, kalau orang dihadapkan ini, memang kembali kepada Tuhan. Berserah diri kepada Tuhan. Ini menimbulkan ketidakpastian, keresahan, dan ini memunculkan rumor hoaks. Di sisi lain, memuncukan sikap berserah, baiknya berserah diri memunculkan harapan, suatu hal yang sangat baik," ujarnya.
Editor: Roni Yunianto
Sosiolog dari Universitas Nasional Sigit Rochadi mengatakan, kejenuhan masyarakat terhadap pandemi pada dasarnya merupakan sebuah kewajaran apabila dilihat dari sudut pandang sosiologi. Karena setiap manusia punya batas untuk menoleransi pembatasan aktivitas mereka.
“Di awal-awal atau untuk sementara mungkin bisa dibatasi, tetapi lama-lama tentunya akan jenuh. Ibaratnya kemerdekaan mereka direnggut, mereka tentunya akan berupaya keras agar kemerdekaan itu bisa mereka dapatkan kembali,” katanya.
Lebih lanjut, Sigit menyebut ketidakpatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan yang terjadi di tengah melonjaknya kasus Covid-19 merupakan salah satu contoh dari fatalisme. Fatalisme adalah pandangan yang meyakini bahwa manusia dikuasai takdir dan tidak ada upaya apapun yang bisa mengubahnya.
Menurut Sigit, munculnya pandangan tersebut pada diri individu saat pandemi melanda dipengaruhi oleh beberapa faktor. “Fatalisme ini dipengaruhi norma yang dianut seseorang, lingkungan, tingkat pendidikan dan kondisi ekonomi. Mereka yang berpendidikan tinggi dan kondisi ekonominya masih baik di tengah pandemi mungkin tak berpandangan seperti itu, tapi bukan tak mungkin, karena ada titik di mana mereka jenuh dan akhirnya seperti itu,” tuturnya.
Sementara itu, Peneliti Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Abdul Malik Gismar menyebut pandangan fatalisme yang merupakan sisi negatif yang muncul dari meningkatnya religiusitas masyarakat pascapandemi Covid-19. Masyarakat kerap mengabaikan protokol kesehatan dengan dalih berserah diri kepada Tuhan yang akan menyelamatkan.
Tentu saja, konsep itu keliru mengingat dalam ajaran agama apapun berserah diri harus diikuti oleh ikhtiar atau upaya terlebih dahulu. Pertolongan Tuhan akan datang kepada mereka yang senantiasa berusaha dengan bersungguh-sungguh dalam berikhtiar.
"Biasanya, kalau orang dihadapkan ini, memang kembali kepada Tuhan. Berserah diri kepada Tuhan. Ini menimbulkan ketidakpastian, keresahan, dan ini memunculkan rumor hoaks. Di sisi lain, memuncukan sikap berserah, baiknya berserah diri memunculkan harapan, suatu hal yang sangat baik," ujarnya.
Editor: Roni Yunianto
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.