Pentas Napak Tilas Sri Panggung (2017) dalam rangka 89 tahun kelompok sandiwara Sunda Miss Tjitjih. (Sumber foto: Instagram/misstjitjih1928)

Hypereport Kemerdekaan: Diva Sandiwara Miss Tjitjih yang Merekah di Tengah Penjajahan

17 August 2023   |   15:00 WIB
Image
Kintan Nabila Jurnalis Hypeabis.id

Ketika Indonesia belum merdeka, sejumlah kelompok teater keliling seperti sandiwara Sunda Miss Tjitjih begitu masyhur namanya. Bukan sekali dua kali mereka bermain lakon untuk menghibur pasukan Belanda dan Jepang.
Kala itu, teater menjadi bentuk ekspresi seni sekelompok muda-mudi yang menolak segala bentuk penjajahan.

Seniman panggung pada masanya bisa dibilang merupakan saksi sejarah yang menggambarkan potret kehidupan masyarakat Indonesia tempo dulu. Selepas proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, sejumlah kelompok sandiwara mengadakan pertunjukan keliling ke pelosok daerah untuk menggelorakan semangat kemerdekaan.

Baca juga: Seni Bodor Sunda Ala Miss Tjitjih Pecah dalam Pentas Teater Kuntilanak Mangga Dua

Bahkan sampai sekarang, setiap tahunnya mereka mementaskan cerita perjuangan dalam rangka memperingati hari kemerdekaan. Teater Miss Tjitjih diketahui baru saja menampilkan cerita perjuangan berjudul Di Kantun Tugas dan Muhammad Toha Pahlawan Bandung Selatan.

Menengok kembali sejarahnya, kelompok sandiwara Miss Tjitjih tak lepas dari Tjitjih sebagai primadonanya. Gadis cantik bernama Tjitjih itu dulunya seorang primadona panggung yang dikenal namanya di Sumedang.

Kepiawaiannya bermain lakon mampu menyita perhatian Sayyed Aboebakar Bafaqih yang sedang singgah bersama kelompok sandiwara kelilingnya pada 1926. Tjitjih yang baru berusia belasan tahun itu diboyongnya untuk kemudian diperistri dan dijadikan primadona di Opera Valencia.
 

Lakon Dikantun Tugas (2023) Pertunjukan Kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih. (Sumber foto:

Lakon Dikantun Tugas (2023) Pertunjukan Kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih. (Sumber foto: Instagram/misstjitjih1928)

Di Batavia sendiri pada era 1920-an, sedang populer kelompok Sandiwara Miss Riboet Orion dan Dardanela. Kedua kelompok ini dengan pentas bahasa Melayu, sedangkan Miss Tjitjih masih setia dengan bahasa Sundanya. Meskipun Tjitjih hanya bisa berbahasa sunda, aksi panggungnya selalu bisa menyihir penonton sampai terkagum kagum.

Tak butuh waktu lama, Tjitjih menjadi sripanggung dalam perkumpulan sandiwara itu dan dikenal dengan julukan Miss Tjijih. Sebelum pertunjukan utama dimulai, dia akan menyanyikan tembang Sunda seperti Udanmas, Ceurik Rahwana, Kapati-pati, Ceurik Oma. Kadang pula menari ronggeng, tari Bali, tari kenken (cancan), bahkan dansa.

Kepopulerannya tersebut membuat Opera Valencia berganti nama menjadi Miss Tjitjih Toneel Gezelschap (Perkumpulan Tonil Miss Tjitjih) pada 1928. Lakon-lakon yang biasa dibawakan tentunya yang dekat dengan keseharian masyarakat seperti cerita rakyat seperti Sangkoeriang, Tjioeng Wanara, dan Loetoeng Kasaroeng.

Sayangnya pada 1936 tampaknya menjadi tahun terakhir Tjitjih untuk bersandiwara di atas panggung. Dia menghembuskan napas terakhirnya setelah mementaskan lakon Gagak Solo karangan Tio Tek Djien Jr. di Cikampek, Jawa Barat.

Tjitjih berperan sebagai Tandak yang diputuskan cintanya oleh putra mahkota. Sang primadona yang selalu memerankan karakternya dengan totalitas di atas panggung mendadak tumbang saat layar turun. Para penonton pun menganggapnya sebagai bagian dari pertunjukkan, sampai akhirnya pentas terpaksa dihentikan di tengah jalan.


Mimpi Miss Tjitjih untuk Masa Depan Panggung Sandiwara 

 

Syarifah Rohmah, generasi ketiga penerus kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih berujar, sebelum meninggal Miss Tjitjih berpesan supaya dibuatkan rumah untuk para anak wayangnya atau aktor teater supaya tidak lagi pentas keliling di jalanan.

Pada akhirnya dibangunlah Gedung Kesenian Miss Tjitjih yang sudah berkali-kali pindah tempat, sampai yang sekarang ini bertempat di Cempaka Baru, Kemayoran Jakarta Pusat di bawah naungan Dinas Provinsi DKI Jakarta.

Miss Tjitjih yang sekarang masih eksis tanpa meninggalkan akar sejarahnya. Dengan menghadirkan tema yang lebih bergam seperti cerita rakyat, cerita perjuangan, roman, komedi, sampai, horror.

Sejumlah judul sandiwara Miss Tjitjih yang kini banyak diadaptasi dalam bentuk film, di antaranya ada Beranak Dalam Kubur, Si Manis Jembatan Ancol, Kuntilanak Warudoyong, Halimah Pulang Kondangan, Jembatan Shiratal Mustaqim, dan lainnya.

“Kita pernah mementaskan Jembatan Shiratal Mustaqim, selama satu bulan tiap malamnya ada dua kali pementasan karena penontonnya banyak kita liburnya setiap malam Jumat,” kata Syarifah.

Keistimewaan Miss Tjitjih, menurutnya adalah dialog improvisasi tanpa naskah. Sutradara hanya memberikan garis besar cerita di setiap babak, kemudian pemain akan mengembangkan detail percakapannya.

Meski begitu, pertunjukannya yang sekarang tidak bisa menggunakan bahasa sunda secara penuh, tapi masih menggunakan dialeknya. Ini dilakukannya untuk menarik kalangan penonton yang lebih beragam.

“Campur saja bahasanya yang penting dialeknya Sunda, kecuali untuk cerita Kerajaan wajib menggunakan bahasa Sunda seperti kawula dan sampean,” ujar Syarifah.

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

Libur HUT ke-78 RI, Cek 5 Tempat Bersejarah untuk Napak Tilas Kemerdekaan di Jakarta

BERIKUTNYA

5 Rekomendasi Film yang Cocok Ditonton pada Hari Kemerdekaan, Tayang di Netflix!

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: