Film Guru Bangsa Tjokroaminoto (Sumber gambar: Picklock Production/Yayasan Keluarga Besar HOS Tjokroaminoto)

Hypereport Kemerdekaan: Belajar Perjuangan Lewat Gagasan dari Film Guru Bangsa Tjokroaminoto

17 August 2023   |   12:30 WIB
Image
Yudi Supriyanto Jurnalis Hypeabis.id

Religius, nasionalis, dan sosialis dapat terlihat begitu menyatu pada diri Tjokroaminoto dalam film Guru Bangsa Tjokroaminoto (2015) garapan sutradara Garin Nugroho. Sang peracik sinema itu mampu menampilkan pesan dan visual kemerdekaan yang apik tanpa aksi peperangan. 

Film Guru Bangsa Tjokroaminoto rasanya tepat menjadi film yang patut ditonton oleh para generasi muda saat ini. ide-ide dan gagasan tentang kemerdekaan yang dimiliki oleh sang pejuang begitu kuat tersaji dalam film bergenre drama tersebut. 

Garin menyajikan alur cerita maju dan mundur. Pertama-tama, penonton akan menemukan Tjokroaminoto tengah diinterogasi di sebuah penjara oleh seorang dari Belanda dan juga pendatang dari Yaman yang memilih setia sebagai bagian dari kerajaan asing. Dari adegan awal itu, kita dapat mengenal seperti apa kepribadian tokoh bangsa itu. Dia tidak kenal takut.

“Kedatanganku ke sini atas kemauanku sendiri. Jika tidak atas kehendakku, serdadumu tidak akan pernah bisa membawaku,” katanya kepada orang yang membentaknya. 

Baca juga: Hypereport: Nasionalisme dan Romantisme Sultan Agung di Bumi Nusantara

Setelah adegan itu, Reza Rahadian yang memerankan Tjokroaminoto menerangkan siapa dirinya dengan duduk di atas kursi dan menghadap ke kamera. Lewat shot ini, sutradara seolah ingin menampilkan bahwa karakter sang guru bangsa yang cinta terhadap Tanah Air serta agama sudah terlihat menonjol, sedari kecil hingga dewasa. 

Setelah menikah, kepeduliannya terhadap sesama kian besar. Dia rela membela pegawai pribumi dan melawan atasannya yang seorang Belanda. Tingkah itu membuatnya dipecat dan menghadapi kemarahan bapak mertuanya. 

Penonton film ini juga dapat dengan mudah mengerti bahwa segala yang dilakukan oleh Tjokroaminoto berlandaskan nilai-nilai agama. Sewaktu kecil, dia mendapatkan ajaran dari gurunya untuk tidak melupakan dua kata penting dari Nabi Muhammad SAW. 

Pertama adalah hijrah yang berarti berpindah dari tempat buruk ke lebih baik. Dia diminta untuk menjadi seperti sumbu yang dapat membuat umat mencari jalan terang. Kata kedua adalah iqra yang berarti baca. 

Tjokroaminoto memutuskan untuk hijrah ke Semarang dan meninggalkan sang istri yang tengah hamil. Dari Semarang, dia kembali melakukan hijrah ke Surabaya. Namun, perpindahannya kali ini dilakukan dengan mengajak sang istri dan anak. Di sana, perannya makin menonjol hingga membawanya menjadi ketua Sarekat Islam. Di bawah kepemimpinannya, organisasi itu jadi besar. 

Dia memiliki gagasan yang pada saat itu ternyata tidak disukai oleh semua kaum priyayi, yakni sama rata dan sama rasa. Bahwa orang kecil bisa menjadi besar dan seorang priyayi. Selain itu, dia juga memiliki rasa nasionalisme yang tinggi.

Dalam film, kita mendapatkan bahwa Tjokroaminoto sudah memiliki gagasan tentang sebuah negara dengan hukum sendiri. Bahkan, negara dan hukum yang diimpikannya adalah yang mampu melindungi semua masyarakatnya - termasuk para keturunan yang mencintai Tanah Air. 
 

(Sumber gambar: IMDb)

(Sumber gambar: IMDb)

Alur maju dan mundur yang menceritakan sebelum Tjokroaminoto masuk ke dalam penjara cukup mudah dipahami dan tidak membuat bingung. Kemudian, Garin juga menyampaikan gagasan penting dari sang tokoh dengan ringan dan berulang-ulang. 

Gagasan tentang sama rata dan sama rasa serta semua orang bisa menjadi priyayi disajikan dalam adegan dialog antara seorang penjual kursi dengan penjahit di pinggir jalan dan jenaka. Kemudian, pikiran itu juga diulang dalam percakapan sang istri dengan sang pembantu dalam sebuah keluh kesah ibu rumah tangga yang tengah membatik. 

Sementara itu, ide tentang sebuah negara dan hukum sendiri yang diinginkan oleh Tjokroaminoto akan didapatkan oleh penonton dari Stella, seorang penjual koran yang berteriak menjajakan dagangannya dengan membacakan isi dari tulisan di dalam koran. 

Film Guru Bangsa Tjokroaminoto memiliki latar tempat yang akan membawa penonton ke  Surabaya zaman dahulu. Ada banyak detail yang begitu mendukung suasana Kota Pahlawan sebagai salah satu kota maju, jauh sebelum Indonesia merdeka. 

Transportasi trem yang dahulu kala ada di Surabaya, Oranje Hotel yang sangat terkenal di daerah yang saat ini menjadi Ibu Kota Jawa Timur, dipan atau tempat tidur dengan kerandanya, dan masih banyak lagi. Selain itu, warna-warna lampu kota pada malam hari juga membuat scene film itu begitu memesona.

Orang yang menonton juga akan merasakan seperti menyaksikan sebuah pertunjukan teater sepanjang film Guru Bangsa Tjokroaminoto diputar. Monolog-monolog yang tersaji, aksi teatrikal para pemerannya, atau pertunjukan bernyanyi yang dilakukan oleh pemain di film ini memberi warna tersendiri. Selain itu, film biopik ini juga menyajikan lagu-lagu yang sangat pas dan mendukung setiap visual.
 

Secara keseluruhan, karya Guru Bangsa Tjokroaminoto adalah sebuah film perjuangan yang tidak menampilkan peperangan. Aksi itu hanya jadi latar persitiwa yang minim. 

Perjuangan dalam film ini adalah berupa gagasan-gagasan yang ditampilkan. Salah satunya adalah ketika Semaun, salah satu murid Tjokroaminoto, yang berdebat dengan karakter lainnya, termasuk Agus Salim tentang apa yang lebih penting antara pendidikan dan tanah. Pandangan Semaun tidak terlepas dari paham sosialis yang diminatinya. 

Letupan senjata tidak banyak terjadi dalam film ini. Salah satunya adalah ketika pasukan Belanda mengeksekusi sekumpulan pemuda. 
Kemudian, film ini juga memperlihatkan nasionalisme dan patriotisme dari sineas yang ada di baliknya dalam berbagai simbol, terutama dialog antara para pemain di dalamnya dengan Tjokroaminoto sebagai karakter sentral. 

Pengamat Yan Widjaya menuturkan film Guru Bangsa Tjokroaminoto belum mampu menarik minat banyak penonton ketika dirilis meskipun memiliki cerita, pesan, dan teknik penggarapan yang sudah sangat baik. Ini membuat film yang diperankan oleh banyak aktor kenamaan itu tidak mampu mencatatkan kesuksesan dalam konteks pendapatan. 

Meskipun begitu, dia menyebut bahwa film ini berhasil memaparkan biografi tokoh yang kurang dikenal oleh para penonton muda saat ini. “Yang pada umumnya cuek dengan riwayat hidup tokoh sejarah Indonesia,” katanya kepada Hypeabis.id

Baca juga: Hypereport: Menyaksikan Kegigihan dan Harga Diri Tjoet Nja’ Dhien

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Cantiknya Iriana Jokowi Memakai Baju Adat Tari Legong Bali, Intip Filosofi & Sejarahnya

BERIKUTNYA

Menang Kostum Terbaik, Filosofi Baju Ksatria Minahasa yang Dipakai Kaesang Bikin Merinding

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: