Hypereport Kemerdekaan: Gambaran Semangat Perjuangan Rakyat Jelata dalam Film November 1828
17 August 2023 |
12:00 WIB
Kau boleh tembak istriku, seluruh keluargaku, dan aku. Perjuangan ini harus terus. Dialog itu diucapkan oleh Kromoludiro yang berusaha meyakinkan Letnan Van Aken agar tidak membocorkan posisi Sentot Prawirodirjo, tangan kanan Pangeran Diponegoro dalam film November 1828 (1979).
Film yang berdurasi lebih dari 2 jam itu bercerita tentang pasukan Belanda yang datang ke sebuah kampung untuk mencari lokasi persembunyian tangan kanan Pangeran Diponegoro, yang tak lain adalah Sentot Prawirodirjo.
Saat datang, mereka tidak menemukannya. Namun, demang desa yang bernama Jayeng Wirono memberikan informasi bahwa Kromoludiro adalah orang yang mengetahui tentang persembunyian sang senopati. Alhasil, dia ditangkap dan ditawan di rumahnya sendiri.
Berbagai upaya dilakukan oleh pasukan Belanda untuk memperoleh kabar. Kegigihan Kromoludiro menjaga informasi membuat Kapten de Borst frustasi, sampai akhirnya dia menggunakan cara licik. Dia memisahkan anak Kromoludiro dengan ibunya.
Keputusan itu membuat Letnan Van Aken, salah satu perwira pasukan Belanda menentangnya sampai pada akhirnya mengaku bahwa dia tahu posisi Sentot. Dalam proses interogasinya, Kromoludiro mengingatkan sang letnan untuk tidak berbicara.
Dia rela harus kehilangan nyawanya demi perjuangan, termasuk kehilangan istri dan anaknya. Pada akhirnya, de Brost menembak mati Kromoludiro.
Baca juga: Hypereport: Menyaksikan Kegigihan dan Harga Diri Tjoet Nja’ Dhien
Film garapan Sutradara Teguh Karya ini menyajikan cerita tentang perjuangan Pangeran Diponegoro, tapi lebih banyak dari perspektif rakyat kecil. Tokoh Pangeran Diponegoro dan senopati Sentot Prawirodirjo hanya jadi latar kisahnya.
Teguh memperlihatkan bagaimana perjuangan keluarga Kromoludiro dalam berperan menjaga informasi tentang keberadaan sang pangeran dan masyarakat desa tersebut. Meski terlihat sepele, peran mereka sejatinya sangat besar dalam mendukung aksi heroik tokoh-tokoh besar.
Selain Kromoludiro, sang sutradara juga memperlihatkan bagaimana perjuangan rakyat begitu gigih dan tidak kenal takut. Mereka melakukan berbagai cara, termasuk menggunakan kesenian untuk melawan pasukan Belanda, meskipun pada akhirnya ketahuan dan kapten de Borst berhasil selamat.
Tidak hanya itu, peracik film ini juga menyajikan pesan-pesan moral yang kuat melalui film November 1828 tentang banyak hal. Salah satunya adalah tentang kemanusiaan dalam perang dan ambisi pribadi. Dari sisi sinematografi, pengambilan gambar lanskap sangat minim.
Meskipun begitu, kamera yang menyoroti satu per satu wajah pemain dalam beberapa kesempatan berhasil menampilkan karakter dan ekspresi yang sangat terasa mendukung sisi penceritaan.
Teguh juga berhasil membangun teater of mind dalam berbagai kesempatan dan mengoyak emosi dengan suara tembakan juga keheningan setelahnya. Selain itu, film ini mampu menampilkan konflik, drama, romansa, dan juga sedikit komedi selain pesan atau gagasan yang begitu kuat.
Sang sutradara berhasil menyajikan cerita yang begitu apik meskipun set yang digunakan tidak banyak. Tidak hanya itu, Teguh sukses mengarahkan para pemainnya untuk berperan dengan sangat apik sesuai dengan tugas yang diembannya.
Layaknya pertunjukan teater, para penonton film ini juga akan disuguhkan dengan monolog-monolog dari para pemain. Salah satunya adalah ketika istri Kromoludiro yang meratapi kematian suaminya di tiang bekas pasangan hidupnya diikat sebelum ditembak.
Di balik semua itu, para penonton dapat menangkap bahwa sutradara pemilik nama asli Steve Liem Tjoan Hok itu punyai rasa nasionalisme terhadap bangsa Indonesia. Hal ini disampaikan lewat pesan-pesan perjuangan yang ada di karyanya tersebut.
Dikutip dari laman Magma Entertainment, November 1828 terlahir dari ketertarikannya kepada kisah pengorbanan. Film yang mengambil latar cerita pada masa Perang Jawa ketika Pangeran Diponegoro melawan Belanda itu juga tidak terlepas dari kekagumannya terhadap pasukan dari tanah Jawa yang hebat dalam melawan penjajah.
Berlangsung di Desa Sambiroto pada November 1828, dia memilih mengisahkan tentang kehebatan pasukan alih-alih tentang tokoh besar Diponegoronya sendiri. Hal tersebut dilakukan lantaran dia tidak memiliki ide apik tentang pangeran bersorban itu.
Sebelum melakukan syuting, sang sutradara disebut-sebut melakukan riset di 7 kota, dengan 2 di antaranya di Belanda. Sementara proses pengambilan gambar membutuhkan waktu sampai setengah tahun dengan lokasi utama di sebuah desa di Yogyakarta dengan melibatkan hampir seluruh masyarakatnya.
Pengamat film Hikmat Darmawan mengatakan bahwa November 1828 adalah film kolosal apik dari Teguh Karya yang menampilkan sudut pandang rakyat jelata. Dengan mengambil latar perang Diponegoro atau perang Jawa, film ini menyajikan konflik batin baik dari sisi rakyat yang ditindas dan juga bagi orang Belanda sendiri.
Di luar itu, karya yang dibuat pada era 1970an itu juga berbicara tentang kemerdekaan sebagai gagasan. Buat apa kemerdekaan terjadi? dan kenapa kolonialisme jahat? Merupakan pertanyaan yang digali dan direnungi dalam film tersebut.
Dari sisi sinematografi, Hikmat menuturkan bahwa film November 1828 memiliki akar teater. Kondisi ini membuatnya kuat dalam dialog, bloking, dan akting. Namun, Teguh Karya adalah seorang sutradara yang secara visual telaten atau sangat rapi dalam pekerjaan.
Dengan begitu, penonton masih bisa melihat film dialog atau teater dengan kamera mengikuti para pemain. “Sebenarnya enggak panggung murni, tapi jelas dia mengikuti logika bloking teater,” katanya.
Dia menambahkan, film ini juga secara pengadegan, kostum, dan tata warna bagus. Namun, eksplorasi kamera masih menggunakan logika teater yang membuatnya agak berbeda, juga punya ciri khas.
Baca juga: Hypereport: Nasionalisme dan Romantisme Sultan Agung di Bumi Nusantara
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Film yang berdurasi lebih dari 2 jam itu bercerita tentang pasukan Belanda yang datang ke sebuah kampung untuk mencari lokasi persembunyian tangan kanan Pangeran Diponegoro, yang tak lain adalah Sentot Prawirodirjo.
Saat datang, mereka tidak menemukannya. Namun, demang desa yang bernama Jayeng Wirono memberikan informasi bahwa Kromoludiro adalah orang yang mengetahui tentang persembunyian sang senopati. Alhasil, dia ditangkap dan ditawan di rumahnya sendiri.
Berbagai upaya dilakukan oleh pasukan Belanda untuk memperoleh kabar. Kegigihan Kromoludiro menjaga informasi membuat Kapten de Borst frustasi, sampai akhirnya dia menggunakan cara licik. Dia memisahkan anak Kromoludiro dengan ibunya.
Keputusan itu membuat Letnan Van Aken, salah satu perwira pasukan Belanda menentangnya sampai pada akhirnya mengaku bahwa dia tahu posisi Sentot. Dalam proses interogasinya, Kromoludiro mengingatkan sang letnan untuk tidak berbicara.
Dia rela harus kehilangan nyawanya demi perjuangan, termasuk kehilangan istri dan anaknya. Pada akhirnya, de Brost menembak mati Kromoludiro.
Baca juga: Hypereport: Menyaksikan Kegigihan dan Harga Diri Tjoet Nja’ Dhien
Film November 1828 (Sumber gambar: IMDb/Indonesia Film Center)
Teguh memperlihatkan bagaimana perjuangan keluarga Kromoludiro dalam berperan menjaga informasi tentang keberadaan sang pangeran dan masyarakat desa tersebut. Meski terlihat sepele, peran mereka sejatinya sangat besar dalam mendukung aksi heroik tokoh-tokoh besar.
Selain Kromoludiro, sang sutradara juga memperlihatkan bagaimana perjuangan rakyat begitu gigih dan tidak kenal takut. Mereka melakukan berbagai cara, termasuk menggunakan kesenian untuk melawan pasukan Belanda, meskipun pada akhirnya ketahuan dan kapten de Borst berhasil selamat.
Tidak hanya itu, peracik film ini juga menyajikan pesan-pesan moral yang kuat melalui film November 1828 tentang banyak hal. Salah satunya adalah tentang kemanusiaan dalam perang dan ambisi pribadi. Dari sisi sinematografi, pengambilan gambar lanskap sangat minim.
Meskipun begitu, kamera yang menyoroti satu per satu wajah pemain dalam beberapa kesempatan berhasil menampilkan karakter dan ekspresi yang sangat terasa mendukung sisi penceritaan.
Teguh juga berhasil membangun teater of mind dalam berbagai kesempatan dan mengoyak emosi dengan suara tembakan juga keheningan setelahnya. Selain itu, film ini mampu menampilkan konflik, drama, romansa, dan juga sedikit komedi selain pesan atau gagasan yang begitu kuat.
Sang sutradara berhasil menyajikan cerita yang begitu apik meskipun set yang digunakan tidak banyak. Tidak hanya itu, Teguh sukses mengarahkan para pemainnya untuk berperan dengan sangat apik sesuai dengan tugas yang diembannya.
Layaknya pertunjukan teater, para penonton film ini juga akan disuguhkan dengan monolog-monolog dari para pemain. Salah satunya adalah ketika istri Kromoludiro yang meratapi kematian suaminya di tiang bekas pasangan hidupnya diikat sebelum ditembak.
Di balik semua itu, para penonton dapat menangkap bahwa sutradara pemilik nama asli Steve Liem Tjoan Hok itu punyai rasa nasionalisme terhadap bangsa Indonesia. Hal ini disampaikan lewat pesan-pesan perjuangan yang ada di karyanya tersebut.
Dikutip dari laman Magma Entertainment, November 1828 terlahir dari ketertarikannya kepada kisah pengorbanan. Film yang mengambil latar cerita pada masa Perang Jawa ketika Pangeran Diponegoro melawan Belanda itu juga tidak terlepas dari kekagumannya terhadap pasukan dari tanah Jawa yang hebat dalam melawan penjajah.
Berlangsung di Desa Sambiroto pada November 1828, dia memilih mengisahkan tentang kehebatan pasukan alih-alih tentang tokoh besar Diponegoronya sendiri. Hal tersebut dilakukan lantaran dia tidak memiliki ide apik tentang pangeran bersorban itu.
Sebelum melakukan syuting, sang sutradara disebut-sebut melakukan riset di 7 kota, dengan 2 di antaranya di Belanda. Sementara proses pengambilan gambar membutuhkan waktu sampai setengah tahun dengan lokasi utama di sebuah desa di Yogyakarta dengan melibatkan hampir seluruh masyarakatnya.
Pengamat film Hikmat Darmawan mengatakan bahwa November 1828 adalah film kolosal apik dari Teguh Karya yang menampilkan sudut pandang rakyat jelata. Dengan mengambil latar perang Diponegoro atau perang Jawa, film ini menyajikan konflik batin baik dari sisi rakyat yang ditindas dan juga bagi orang Belanda sendiri.
Di luar itu, karya yang dibuat pada era 1970an itu juga berbicara tentang kemerdekaan sebagai gagasan. Buat apa kemerdekaan terjadi? dan kenapa kolonialisme jahat? Merupakan pertanyaan yang digali dan direnungi dalam film tersebut.
Dari sisi sinematografi, Hikmat menuturkan bahwa film November 1828 memiliki akar teater. Kondisi ini membuatnya kuat dalam dialog, bloking, dan akting. Namun, Teguh Karya adalah seorang sutradara yang secara visual telaten atau sangat rapi dalam pekerjaan.
Dengan begitu, penonton masih bisa melihat film dialog atau teater dengan kamera mengikuti para pemain. “Sebenarnya enggak panggung murni, tapi jelas dia mengikuti logika bloking teater,” katanya.
Dia menambahkan, film ini juga secara pengadegan, kostum, dan tata warna bagus. Namun, eksplorasi kamera masih menggunakan logika teater yang membuatnya agak berbeda, juga punya ciri khas.
Baca juga: Hypereport: Nasionalisme dan Romantisme Sultan Agung di Bumi Nusantara
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.