Korsel Bakal Luncurkan Aplikasi Pengganti KTP Tahun Depan, Yuk Intip Inovasinya
28 July 2021 |
18:41 WIB
Warga Korea Selatan mulai tahun depan dapat menggunakan ponsel pintarnya sebagai pengganti dari kartu tanda penduduk (KTP). Mereka nantinya hanya perlu membuka aplikasi khusus yang disiapkan oleh pemerintah setempat untuk memvalidasi identitas.
Mengutip Yonhap pada Rabu (28/7/2021), Kementerian Keamanan dan Administrasi Publik Korea Selatan akan membangun sistem layanan yang memungkinkan pemverifikasian kartu identitas penduduk dari ponsel pintar hingga Januari tahun depan.
Program itu akan memungkinkan individu untuk memverifikasi nama dan alamat rumah mereka tanpa KTP untuk kebutuhan pemeriksaan identitas sebelum naik pesawat atau melakukan transaksi tanpa perlu menunjukkan kartu identitas.
Namun, ketika kartu identitas wajib ditunjukkan berdasarkan pada hukum yang berlaku, maka aplikasi telepon pintar itu tidak dapat menjadi penggantinya.
Kementerian menerangkan tidak ada kekhawatiran atas kebocoran data karena telepon pintar tidak akan menyimpan informasi pribadi tetapi hanya menerimanya dalam bentuk terenkripsi secara real-time atau waktu nyata dari sistem pendaftaran penduduk.
Untuk memanfaatkan layanan ini, pengguna harus terlebih dahulu melalui proses identifikasi di portal administrasi pemerintah dan kemudian mengunduh kode QR.
Dengan tujuan untuk meluncurkan layanan tersebut dalam paruh pertama tahun depan, kementerian berencana akan mendorong pembangunan sistem dan revisi undang-undang mengenai pendaftaran penduduk.
Apa yang dilakukan oleh Korea Selatan mengingatkan kembali wacana Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Beberapa waktu lalu kementerian tersebut sempat melontarkan wacana pemanfaatan aplikasi ponsel sebagai pengganti KTP di Tanah Air.
Nantinya, aplikasi tersebut akan sepenuhnya menggantikan KTP fisik yang berbentuk kartu. Tentunya, hal ini mengundang perdebatan mengingat masalah perlindungan data pribadi masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.
Selain itu, adanya pernyataan dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri yang menyebut bahwa aplikasi KTP nantinya dapat digunakan untuk melihat penduduk non-permanen di suatu wilayah juga menjadi persoalan.
Misalnya, ponsel dengan e-KTP digital itu dalam satu tahun bertempat tinggal di wilayah Jakarta namun, KTP elektroniknya beralamat di wilayah lainnya.
Pengamat teknologi informasi sekaligus Chief Digital Forensic Indonesia Ruby Alamsyah menilai wacana aplikasi sebagai pengganti KTP perlu dipikirkan matang-matang. Terlebih aplikasi itu nantinya bisa melacak lokasi seseorang lewat ponselnya secara terus menerus.
"Selain masalah data pribadi, ini ada isu baru mengenai privasi. Aplikasi akan mengetahui secara terus menerus lokasi warga negara. Tentunya ini akan sangat berbahaya, terlebih bila disalahgunakan oleh pihak tertentu," katanya kepada Hypeabis pada Rabu (28/7/2021).
Adapun, mengenai perlindungan data pribadi selain belum adanya aturan yang memadai, kemampuan pemerintah juga masih dipertanyakan. Karena tidak bisa dipungkiri sumber daya yang dibutuhkan untuk mengamankan data seluruh warga negara Indonesia sangatlah besar.
"Perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang teknologi informasi saja datanya bisa bocor. Padahal mereka sudah mengerahkan sumber daya, khususnya dana dalam jumlah sangat besar. Bagaimana dengan pemerintah? Tentunya berat," ujarnya.
Editor: Roni Yunianto
Mengutip Yonhap pada Rabu (28/7/2021), Kementerian Keamanan dan Administrasi Publik Korea Selatan akan membangun sistem layanan yang memungkinkan pemverifikasian kartu identitas penduduk dari ponsel pintar hingga Januari tahun depan.
Program itu akan memungkinkan individu untuk memverifikasi nama dan alamat rumah mereka tanpa KTP untuk kebutuhan pemeriksaan identitas sebelum naik pesawat atau melakukan transaksi tanpa perlu menunjukkan kartu identitas.
Namun, ketika kartu identitas wajib ditunjukkan berdasarkan pada hukum yang berlaku, maka aplikasi telepon pintar itu tidak dapat menjadi penggantinya.
Kementerian menerangkan tidak ada kekhawatiran atas kebocoran data karena telepon pintar tidak akan menyimpan informasi pribadi tetapi hanya menerimanya dalam bentuk terenkripsi secara real-time atau waktu nyata dari sistem pendaftaran penduduk.
Untuk memanfaatkan layanan ini, pengguna harus terlebih dahulu melalui proses identifikasi di portal administrasi pemerintah dan kemudian mengunduh kode QR.
Dengan tujuan untuk meluncurkan layanan tersebut dalam paruh pertama tahun depan, kementerian berencana akan mendorong pembangunan sistem dan revisi undang-undang mengenai pendaftaran penduduk.
Apa yang dilakukan oleh Korea Selatan mengingatkan kembali wacana Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Beberapa waktu lalu kementerian tersebut sempat melontarkan wacana pemanfaatan aplikasi ponsel sebagai pengganti KTP di Tanah Air.
Nantinya, aplikasi tersebut akan sepenuhnya menggantikan KTP fisik yang berbentuk kartu. Tentunya, hal ini mengundang perdebatan mengingat masalah perlindungan data pribadi masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.
Selain itu, adanya pernyataan dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri yang menyebut bahwa aplikasi KTP nantinya dapat digunakan untuk melihat penduduk non-permanen di suatu wilayah juga menjadi persoalan.
Misalnya, ponsel dengan e-KTP digital itu dalam satu tahun bertempat tinggal di wilayah Jakarta namun, KTP elektroniknya beralamat di wilayah lainnya.
Pengamat teknologi informasi sekaligus Chief Digital Forensic Indonesia Ruby Alamsyah menilai wacana aplikasi sebagai pengganti KTP perlu dipikirkan matang-matang. Terlebih aplikasi itu nantinya bisa melacak lokasi seseorang lewat ponselnya secara terus menerus.
"Selain masalah data pribadi, ini ada isu baru mengenai privasi. Aplikasi akan mengetahui secara terus menerus lokasi warga negara. Tentunya ini akan sangat berbahaya, terlebih bila disalahgunakan oleh pihak tertentu," katanya kepada Hypeabis pada Rabu (28/7/2021).
Adapun, mengenai perlindungan data pribadi selain belum adanya aturan yang memadai, kemampuan pemerintah juga masih dipertanyakan. Karena tidak bisa dipungkiri sumber daya yang dibutuhkan untuk mengamankan data seluruh warga negara Indonesia sangatlah besar.
"Perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang teknologi informasi saja datanya bisa bocor. Padahal mereka sudah mengerahkan sumber daya, khususnya dana dalam jumlah sangat besar. Bagaimana dengan pemerintah? Tentunya berat," ujarnya.
Editor: Roni Yunianto
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.