Merek Fesyen Lokal Kebut Strategi Demi Tembus Pasar Global
14 August 2023 |
13:30 WIB
1
Like
Like
Like
Indonesia tidak hanya bergelut dengan pasar domestik dalam rangkaian produk-produk fesyen. Tak sedikit jenama mode yang mulai melirik pasar mancanegara sebagai target konsumen selanjutnya. Dari sisi ekspor, industri mode Indonesia terus mengebut ragam langkah dan strategi demi merambah mulus ke pasar global.
Menteri Pariwisata Ekonomi & Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno mencatat nilai kontribusi fesyen berperan hingga 61,6 persen. Lebih dari setengah dari kontribusi fesyen sukses menempatkan subsektor dengan nilai ekspor ekonomi kreatif tertinggi mengalahkan produk kuliner dan kriya.
Baca juga: Ini Alasan Brand Lokal Makin disukai Masyarakat Indonesia
Amerika Serikat masih menjadi tujuan ekspor pakaian jadi pertama yang terus mengalami kenaikan tren. Sementara dari sisi produsennya, Kementerian Perdagangan RI mencatat Jawa Tengah masih mendominasi provinsi asal transaksi ekspor pakaian jadi tersebut. Sedangkan Jawa Tengah menyumbang hingga US$866,45.
Menariknya, pakaian berupa setelan dan gaun wanita menjadi jenis pakaian yang paling banyak diekspor mulai Januari hingga Maret 2023. Kebutuhan wanita terhadap pakaian ini menyeruk US$460,33 juta dan mengalahkan jenis pakaian lainnya. Angka besar turut didorong oleh geliat jenama lokal menembus pasar global.
CEO Buttonscarves, Linda Anggreaningsih berhasil melakukan ekspansi toko luar negeri pertamanya ke Malaysia pada 2020 lalu. Buttonscarves yang identik dengan mode scarf ini disambut baik hingga menerima banyak permintaan di Malaysia. Ekspor produk Buttonscarves juga menyentuh Brunei Darussalam, Australia, dan Jepang.
“Kalau Malaysia, data konsumen kita sudah cukup besar di sana. Sementara kalau kirim barang dari Indonesia kadang butuh waktu satu minggu, dan kadang orang butuh barangnya cepat. Maka kita putuskan buka toko di sana,” jelas Linda.
Sebelum melebarkan sayap ke Malaysia, Linda melakukan cukup banyak riset terkait karakter produk yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemauan pasar. Bahkan Buttonscarves sempat mengeluarkan koleksi-koleksi yang khusus dipasarkan di Malaysia.
Buttonscarves menargetkan konsumen berusia 25-50 tahun yang melirik produk-produk tas dan scarf. Demi melenggang ke pasar luar, Buttonscarves juga melakukan berbagai aktivasi baik offline maupun online dengan tujuan calon konsumen memiliki keinginan untuk mengeksplorasi produk dan akan melakukan pembelian ulang untuk selanjutnya.
“Kita sekarang fokus ke awareness brand dulu. Kita juga lagi melirik Timur Tengah dan Amerika Serikat, karena pangsa pasarnya besar sekali di sana,” jelas Linda.
Founder AM, Anggiasari punya pasar yang cukup berbeda. Brand modest fashion bergaya street style tersebut sudah merambah tiga kota besar dunia, yakni Paris, Dubai, dan New York.
Menurut Anggia, sebagian masyarakat Amerika Serikat menyukai gaya busana yang kasual polos dan cenderung street style untuk dikenakan sehari-hari. Karakternya berbeda dengan sebagian masyarakat di Paris dan Dubai yang lebih menyukai high fashion dengan detail yang sedikit rumit.
“Karena look yang sporty dan digunakan sehari-hari ini lebih disukai pasar Amerika Serikat,” ungkap Anggia. Namun di balik itu, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi brand seperti AM.
Brand wajib memperhatikan busana seasonal yang biasanya terbagi menjadi Spring/Summer dan Winter/Autumn. Untuk menyapa pasar dengan empat musim, brand harus mempersiapkan produksi dan pemasaran sekitar 6-12 bulan sebelum musim tersebut tiba.
Kemudian, brand harus memperhatikan karakter material yang dikenakan. Anggia menyebut, sebagian pasar luar tak menyukai bahan poliester, sehingga Anggia hanya bermain dengan bahan serat poliester sekitar 20 persen saja dari keseluruhan pakaian.
“Mereka sangat menyukai kualitas dan kenyamanan, selain fungsional dan stylish,” katanya. Jepang dan Korea Selatan merupakan dua negara yang sangat menyukai bahan katun dan menghindari poliester.
Dari segi warna, pasar Eropa dan Amerika Serikat lebih menyukai modest fashion berwarna earth tone berbeda dengan Afrika yang lebih menyasar warna-warna cerah. AM menargetkan konsumen berusia 20 hingga 50 tahun. Untuk memperkenalkan AM, Anggia aktif dalam fashion show luar negeri baik yang diikutsertakan pemerintah atau mendaftar secara pribadi.
“Kita biasanya fashion show 1 sampai 2 kali setahun di Indonesia atau luar negeri. Kemudian aktif engage ke konsumen daerah dan ikut program ads media sosial juga,” kata Anggia. AM masih ingin terus mempertahankan pasar di Dubai dan Paris, sembari mempelajari karakter konsumen di New York dan wilayah Amerika Serikat lainnya.
Poppy menyebut masyarakat Rusia memiliki minat yang cukup tinggi terhadap fesyen. “Rusia punya 25 juta muslim, lebih besar daripada Timur Tengah. Potensinya sangat ada, tetap perlu adaptasi dan dimatangkan,” kata Poppy.
Namun, Poppy mengatakan desainer dan brand Indonesia masih harus berbenah dalam hal teknis agar bisa menarget pasar luar. Misalnya pasar Eropa yang sudah terbiasa dengan brand-brand luxury dengan kualitas tinggi, maka brand Indonesia harus siap dengan berbagai standarisasi khusus baik dari segi karakter bahan, kualitas material, dan sebagainya.
“Secara teknis, masih banyak sekali desainer yang harus lebih teredukasi dan diperbaiki sebelum merambah ke pasar global,” kata Poppy.
Seraya dengan Poppy, pengamat branding & Founder MarkPlus Inc Hermawan Kartajaya juga mengatakan, brand Indonesia perlu usaha ekstra untuk bisa dilirik pasar global. Salah satu hal terpenting adalah memiliki strategi branding yang tak hanya bagus, tetapi juga tepat sasaran “Kita harus realistis melihat target marketnya mau yang mana,” kata Hermawan.
Hermawan mengatakan, kunci fesyen Indonesia menembus global terletak pada diferensiasi produk. Menurut Hermawan, Indonesia cukup memiliki potensi untuk produk batik dan kain halal. Batik sudah mendapat pengakuan dunia, sementara kain halal menyasar segmentasi pasar muslim yang luas.
“Kain halal bisa sangat potensial untuk ekspor. Sementara batik bisa menjadi poin unik meski tidak semua orang suka dengan fesyen bernuansa etnik,” katanya.
Jika sudah menentukan produk dan menarget pasar, langkah selanjutnya adalah menerapkan strategi branding yang sesuai dengan masing-masing pasar. Sebab, tak semua pasar dapat menerima satu strategi branding yang sama. Mungkin diperlukan strategi khusus untuk setiap pasar yang spesifik dan tersegmentasi.
Baca juga: 5 Brand Fashion Lokal yang Jadi Acuan Milenial dan Gen Z
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Menteri Pariwisata Ekonomi & Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno mencatat nilai kontribusi fesyen berperan hingga 61,6 persen. Lebih dari setengah dari kontribusi fesyen sukses menempatkan subsektor dengan nilai ekspor ekonomi kreatif tertinggi mengalahkan produk kuliner dan kriya.
Baca juga: Ini Alasan Brand Lokal Makin disukai Masyarakat Indonesia
Amerika Serikat masih menjadi tujuan ekspor pakaian jadi pertama yang terus mengalami kenaikan tren. Sementara dari sisi produsennya, Kementerian Perdagangan RI mencatat Jawa Tengah masih mendominasi provinsi asal transaksi ekspor pakaian jadi tersebut. Sedangkan Jawa Tengah menyumbang hingga US$866,45.
Menariknya, pakaian berupa setelan dan gaun wanita menjadi jenis pakaian yang paling banyak diekspor mulai Januari hingga Maret 2023. Kebutuhan wanita terhadap pakaian ini menyeruk US$460,33 juta dan mengalahkan jenis pakaian lainnya. Angka besar turut didorong oleh geliat jenama lokal menembus pasar global.
CEO Buttonscarves, Linda Anggreaningsih berhasil melakukan ekspansi toko luar negeri pertamanya ke Malaysia pada 2020 lalu. Buttonscarves yang identik dengan mode scarf ini disambut baik hingga menerima banyak permintaan di Malaysia. Ekspor produk Buttonscarves juga menyentuh Brunei Darussalam, Australia, dan Jepang.
“Kalau Malaysia, data konsumen kita sudah cukup besar di sana. Sementara kalau kirim barang dari Indonesia kadang butuh waktu satu minggu, dan kadang orang butuh barangnya cepat. Maka kita putuskan buka toko di sana,” jelas Linda.
Sebelum melebarkan sayap ke Malaysia, Linda melakukan cukup banyak riset terkait karakter produk yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemauan pasar. Bahkan Buttonscarves sempat mengeluarkan koleksi-koleksi yang khusus dipasarkan di Malaysia.
Buttonscarves menargetkan konsumen berusia 25-50 tahun yang melirik produk-produk tas dan scarf. Demi melenggang ke pasar luar, Buttonscarves juga melakukan berbagai aktivasi baik offline maupun online dengan tujuan calon konsumen memiliki keinginan untuk mengeksplorasi produk dan akan melakukan pembelian ulang untuk selanjutnya.
“Kita sekarang fokus ke awareness brand dulu. Kita juga lagi melirik Timur Tengah dan Amerika Serikat, karena pangsa pasarnya besar sekali di sana,” jelas Linda.
Founder AM, Anggiasari punya pasar yang cukup berbeda. Brand modest fashion bergaya street style tersebut sudah merambah tiga kota besar dunia, yakni Paris, Dubai, dan New York.
Menurut Anggia, sebagian masyarakat Amerika Serikat menyukai gaya busana yang kasual polos dan cenderung street style untuk dikenakan sehari-hari. Karakternya berbeda dengan sebagian masyarakat di Paris dan Dubai yang lebih menyukai high fashion dengan detail yang sedikit rumit.
“Karena look yang sporty dan digunakan sehari-hari ini lebih disukai pasar Amerika Serikat,” ungkap Anggia. Namun di balik itu, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi brand seperti AM.
Brand wajib memperhatikan busana seasonal yang biasanya terbagi menjadi Spring/Summer dan Winter/Autumn. Untuk menyapa pasar dengan empat musim, brand harus mempersiapkan produksi dan pemasaran sekitar 6-12 bulan sebelum musim tersebut tiba.
Kemudian, brand harus memperhatikan karakter material yang dikenakan. Anggia menyebut, sebagian pasar luar tak menyukai bahan poliester, sehingga Anggia hanya bermain dengan bahan serat poliester sekitar 20 persen saja dari keseluruhan pakaian.
“Mereka sangat menyukai kualitas dan kenyamanan, selain fungsional dan stylish,” katanya. Jepang dan Korea Selatan merupakan dua negara yang sangat menyukai bahan katun dan menghindari poliester.
Dari segi warna, pasar Eropa dan Amerika Serikat lebih menyukai modest fashion berwarna earth tone berbeda dengan Afrika yang lebih menyasar warna-warna cerah. AM menargetkan konsumen berusia 20 hingga 50 tahun. Untuk memperkenalkan AM, Anggia aktif dalam fashion show luar negeri baik yang diikutsertakan pemerintah atau mendaftar secara pribadi.
“Kita biasanya fashion show 1 sampai 2 kali setahun di Indonesia atau luar negeri. Kemudian aktif engage ke konsumen daerah dan ikut program ads media sosial juga,” kata Anggia. AM masih ingin terus mempertahankan pasar di Dubai dan Paris, sembari mempelajari karakter konsumen di New York dan wilayah Amerika Serikat lainnya.
Pasar Potensial Selain Amerika dan Eropa
Keberadaan populasi Muslim yang tersebar di berbagai benua membuat ceruk mode fashion semakin terlihat. Ketua Umum Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI), Poppy Dharsono menyebutkan bahwa Rusia bisa menjadi target empuk tujuan ekspor produk mode Indonesia.Poppy menyebut masyarakat Rusia memiliki minat yang cukup tinggi terhadap fesyen. “Rusia punya 25 juta muslim, lebih besar daripada Timur Tengah. Potensinya sangat ada, tetap perlu adaptasi dan dimatangkan,” kata Poppy.
Namun, Poppy mengatakan desainer dan brand Indonesia masih harus berbenah dalam hal teknis agar bisa menarget pasar luar. Misalnya pasar Eropa yang sudah terbiasa dengan brand-brand luxury dengan kualitas tinggi, maka brand Indonesia harus siap dengan berbagai standarisasi khusus baik dari segi karakter bahan, kualitas material, dan sebagainya.
“Secara teknis, masih banyak sekali desainer yang harus lebih teredukasi dan diperbaiki sebelum merambah ke pasar global,” kata Poppy.
Seraya dengan Poppy, pengamat branding & Founder MarkPlus Inc Hermawan Kartajaya juga mengatakan, brand Indonesia perlu usaha ekstra untuk bisa dilirik pasar global. Salah satu hal terpenting adalah memiliki strategi branding yang tak hanya bagus, tetapi juga tepat sasaran “Kita harus realistis melihat target marketnya mau yang mana,” kata Hermawan.
Hermawan mengatakan, kunci fesyen Indonesia menembus global terletak pada diferensiasi produk. Menurut Hermawan, Indonesia cukup memiliki potensi untuk produk batik dan kain halal. Batik sudah mendapat pengakuan dunia, sementara kain halal menyasar segmentasi pasar muslim yang luas.
“Kain halal bisa sangat potensial untuk ekspor. Sementara batik bisa menjadi poin unik meski tidak semua orang suka dengan fesyen bernuansa etnik,” katanya.
Jika sudah menentukan produk dan menarget pasar, langkah selanjutnya adalah menerapkan strategi branding yang sesuai dengan masing-masing pasar. Sebab, tak semua pasar dapat menerima satu strategi branding yang sama. Mungkin diperlukan strategi khusus untuk setiap pasar yang spesifik dan tersegmentasi.
Baca juga: 5 Brand Fashion Lokal yang Jadi Acuan Milenial dan Gen Z
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.