Waduh, 1 Persen Virus yang Terjebak di Kutub Utara Jadi Ancaman Buat Manusia
03 August 2023 |
19:21 WIB
Potensi patogen purba seperti bakteri dan virus menjadi ancaman kesehatan baru di tengah perubahan iklim. Selama ini, patogen tersebut terkunci dalam permafrost, campuran tanah, kerikil, dan pasir yang diikat oleh es yang ditemukan di atas atau bawah permukaan bumi.
Diketahui, permafrost ada di sejumlah wilayah Kutub Utara, seperti Alaska, Greenland, Rusia, China, serta Eropa Utara dan Timur. Ketika permafrost terbentuk, mikroba seperti bakteri dan virus terperangkap di dalamnya dan dapat bertahan dalam keadaan mati suri selama ribuan atau bahkan jutaan tahun.
Kendati demikian, para ilmuan di Universitas Helsinksi melihat kondisi bumi yang makin hangat membuat es di Kutub Utara mencair. Alhasil kemunculan bakteri maupun virus yang selama ini terjebak di permafrost pun tak terelakkan. Proses metabolisme pun memungkinkan mikroba yang tidak aktif ini aktif kembali dan bereproduksi.
Para peneliti lantas melakukan simulasi virus purba untuk melihat dampaknya terhadap lingkungan. Hasilnya, sekitar 1 persen dari patogen purba yang muncul dapat menimbulkan risiko besar bagi ekosistem dunia saat ini karena mampu membunuh inangnya.
"Ini adalah upaya pertama untuk mencoba memodelkan efek ekologis potensial dari penyerbu penjelajah waktu semacam ini dari perspektif kuantitatif," kata Giovanni Strona , seorang profesor ilmu data ekologi di Universitas Helsinki, dikutip dari Live Science, Kamis (3/8/2023).
Pada 2016, diketahui wabah antraks di Siberia membunuh ribuan rusa kutub dan menginfeksi puluhan orang. Para ilmuwan mengaitkan fenomena ini dengan mencairnya permafrost .
Strona menyebut patogen yang berasal dari permafrost menimbulkan risiko penyakit terhadap manusia yang hidup di zaman modern. Pasalnya, patogen tesebut sudah lama mati suri dan tidak berevolusi seperti virus atau bakteri yang selama ini hidup berdampingan dengan manusia.
Untuk memperkirakan bagaimana patogen yang muncul kembali dapat memengaruhi ekosistem modern, Strona dan timnya secara digital mensimulasikan evolusi patogen mirip virus yang mampu menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada inang mirip bakteri. Dalam simulasi, mikroba digital harus bersaing untuk mendapatkan sumber daya, meniru apa yang terjadi di dunia nyata.
Hasilnya, beberapa virus menginfeksi dan membunuh sebagian kecil dari inang yang mirip bakteri, sementara inang bakteri lainnya membentuk kekebalan terhadap patogen yang terus berkembang. Tim kemudian menemukan 1 persen patogen virus mengganggu komunitas bakteri yang baru berevolusi.
Beberapa penyerbu virus juga menyebabkan 32 persen spesies mirip bakteri mati, sementara yang lain menyebabkan keragaman spesies mirip bakteri meningkat hingga 12 persen.
Strona dan tim menjuluki 1 persen patogen ini sebagai black swan yang merujuk pada peristiwa langka. Mereka berargumen meskipun patogen ini muncul dalam jumlah sedikit, dampaknya akan menjadi bencana besar, sehingga harus dipertimbangkan dalam skenario iklim pada masa depan.
"Sebagai masyarakat, kita perlu memahami potensi risiko yang ditimbulkan oleh mikroba purba ini sehingga kita dapat bersiap menghadapi konsekuensi yang tidak diinginkan dari kembalinya mereka ke dunia modern," kata rekan penulis Corey Bradshaw dari Universitas Flinders Australia dalam sebuah pernyataan.
Editor: M R Purboyo
Diketahui, permafrost ada di sejumlah wilayah Kutub Utara, seperti Alaska, Greenland, Rusia, China, serta Eropa Utara dan Timur. Ketika permafrost terbentuk, mikroba seperti bakteri dan virus terperangkap di dalamnya dan dapat bertahan dalam keadaan mati suri selama ribuan atau bahkan jutaan tahun.
Kendati demikian, para ilmuan di Universitas Helsinksi melihat kondisi bumi yang makin hangat membuat es di Kutub Utara mencair. Alhasil kemunculan bakteri maupun virus yang selama ini terjebak di permafrost pun tak terelakkan. Proses metabolisme pun memungkinkan mikroba yang tidak aktif ini aktif kembali dan bereproduksi.
Para peneliti lantas melakukan simulasi virus purba untuk melihat dampaknya terhadap lingkungan. Hasilnya, sekitar 1 persen dari patogen purba yang muncul dapat menimbulkan risiko besar bagi ekosistem dunia saat ini karena mampu membunuh inangnya.
"Ini adalah upaya pertama untuk mencoba memodelkan efek ekologis potensial dari penyerbu penjelajah waktu semacam ini dari perspektif kuantitatif," kata Giovanni Strona , seorang profesor ilmu data ekologi di Universitas Helsinki, dikutip dari Live Science, Kamis (3/8/2023).
Pada 2016, diketahui wabah antraks di Siberia membunuh ribuan rusa kutub dan menginfeksi puluhan orang. Para ilmuwan mengaitkan fenomena ini dengan mencairnya permafrost .
Strona menyebut patogen yang berasal dari permafrost menimbulkan risiko penyakit terhadap manusia yang hidup di zaman modern. Pasalnya, patogen tesebut sudah lama mati suri dan tidak berevolusi seperti virus atau bakteri yang selama ini hidup berdampingan dengan manusia.
Ilustrasi serangan virus di dunia (sumber foto Biofarma)
Untuk memperkirakan bagaimana patogen yang muncul kembali dapat memengaruhi ekosistem modern, Strona dan timnya secara digital mensimulasikan evolusi patogen mirip virus yang mampu menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada inang mirip bakteri. Dalam simulasi, mikroba digital harus bersaing untuk mendapatkan sumber daya, meniru apa yang terjadi di dunia nyata.
Hasilnya, beberapa virus menginfeksi dan membunuh sebagian kecil dari inang yang mirip bakteri, sementara inang bakteri lainnya membentuk kekebalan terhadap patogen yang terus berkembang. Tim kemudian menemukan 1 persen patogen virus mengganggu komunitas bakteri yang baru berevolusi.
Beberapa penyerbu virus juga menyebabkan 32 persen spesies mirip bakteri mati, sementara yang lain menyebabkan keragaman spesies mirip bakteri meningkat hingga 12 persen.
Strona dan tim menjuluki 1 persen patogen ini sebagai black swan yang merujuk pada peristiwa langka. Mereka berargumen meskipun patogen ini muncul dalam jumlah sedikit, dampaknya akan menjadi bencana besar, sehingga harus dipertimbangkan dalam skenario iklim pada masa depan.
"Sebagai masyarakat, kita perlu memahami potensi risiko yang ditimbulkan oleh mikroba purba ini sehingga kita dapat bersiap menghadapi konsekuensi yang tidak diinginkan dari kembalinya mereka ke dunia modern," kata rekan penulis Corey Bradshaw dari Universitas Flinders Australia dalam sebuah pernyataan.
Editor: M R Purboyo
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.