Seni Merayakan Hidup Ala Daniel Kho dalam Pameran Castaneda Factor
01 August 2023 |
13:32 WIB
Lelaki berambut perak itu tampil berbeda di tengah kelimun. Sesekali tangannya memainkan marakas dari biji kluwak dengan jarinya yang penuh cincin antik. Berkacamata ala pelaut, bersepatu boot dengan kaos kaki ngejreng, semua mata tertuju pada sosoknya yang nyentrik.
Dialah Daniel Kho, perupa kontemporer ndugal yang menjadi bintang utama dalam kerumunan itu. Lewat dandanannya yang nge-pop, berbaju penuh gambar warna-warni, sang seniman seolah ingin mengajak pengunjung untuk berbahagia dan merayakan hidup dalam dunia yang fana.
Baca juga: Seniman Daniel Kho Gelar Pameran Tunggal Bertajuk Castaneda Factor di Jagad Gallery
Keceriaan perupa asal Solo, Jawa tengah itu pun tercermin dalam pameran tunggalnya, Castaneda Factor baru-baru ini di Jagad Gallery, Jakarta. Total ada 110 karya yang dipacak dalam pameran ini, mulai dari lukisan, patung, hingga media campuran (mixed media) yang khas dari seorang Daniel.
Castaneda Factor merupakan rentetan dari seri pameran yang telah dibuatnya sejak 2021. Yaitu dari pameran Dobos di Paros Arthouse, Bali, pameran Mboh di Studio Kalahan Yogyakarta pada 2022, dan pameran Owalah di bentara Budaya Jakarta pada awal 2023. Rangkaian pameran ini memang telah dipersiapkan sang seniman sejak lama.
Uniknya, pada seluruh karyanya, Daniel menampilkan figur ciptaannya dari campuran makhluk mitologi, dewa-dewi, wayang kulit, hingga karakter kartun. Sang seniman menyebut figur tersebut sebagai makhluk ethno-extraterrestrial yang dengan sadar dia bentuk secara hibrida di tengah dunia yang menurutnya sedang kacau balau.
Namun, berbeda dari pameran sebelumnya, Daniel kali ini tidak menggunakan kalimat yang nyeleneh untuk memberi judul karya-karyanya. Alih-alih menggunakan tajuk seperti Mboh, Dobos, Konslet, atau Koet, sang seniman lebih banyak menggunakan kosakata asing, tapi tetap saja nakal sekaligus lugas.
Hal itu misalnya tercermin dalam karya bertajuk Animal Parade (2023) yang terdiri dari 72 panel lukisan dengan figur makhluk hibrida berbagai, tapi berlatar gelap. Dalam karya yang menggunakan media acrylic sand on canvas itu Daniel seolah memberi konklusi bahwa dunia yang gelap harus dilawan dengan sesuatu yang cerah.
Ada pula karya bertajuk La Wet 99 (2023) yang menggambarkan sosok transformasi seperti alien dengan kepala yang besar. Karya berukuran 150 X 130 cm dengan molotow akrilik di atas kanvas ini juga menampilkan figur berbentuk seperti burung, dan deformasi makhluk seperti nyamuk dan gurita yang menampilkan kesan ganjil tapi otentik.
Secara beruntun, Daniel juga menghadirkan karya bertajuk Piknik (2023), La Wet 73 (2023), Planet XYZ (2023), dan La Wet 77 (2023) yang semuanya menggunakan medium acrylic sand on canvas. Penggunaan pasir juga memiliki alasan khusus bagi Daniel. Sebab, semua kehidupan menurutnya berawal dari laut yang dipenuhi pasir dan akan berakhir menjadi debu pasir.
"Kehidupan pertama kali itu dimulai dari laut, waktu keluar ke darat ngelewatin pasir. Ini juga untuk menimbulkan efek tiga dimensi karena saya kurang puas bila lukisannya hanya datar saja,"katanya.
Menurut kurator Jim Supangkat, persinggungan sang seniman dengan budaya Eropa cukup banyak mempengaruhinya dalam berkarya. Keterlibatan Daniel secara aktual dengan kultur pop art hingga perfomance tak urung membuat karya-karya kontemporernya tercipta secara naluriah tanpa dicari-cari.
Bagi Jim, karya-karya Daniel juga mencoba membongkar keterbatasan seni rupa modern yang menjelajahi keutamaan material-visual pada ungkapan seni rupa. Akan tetapi contemporariness pada karya-karyanya, bukan sekadar masalah kategori. Melainkan tanda-tanda authentic tentang kemunculan seni rupa kontemporer yang sampai sekarang belum banyak dikaji kritikus seni.
Selain itu, karakteristik Daniel yang eksentrik dan berjiwa avontur juga turut mendorongnya untuk mengaitkan kehidupan dengan mitos, atau pandangan-pandangan ganjil mengenai asal-usul keberadaan manusia di muka bumi sebagai sebuah sikap pemberontakan.
Menurut kurator gaek itu, karya-karya Daniel juga dipengaruhi pemikiran Carlos Castaneda. Yaitu seorang penulis lusinan buku mengenai dunia yang janggal dari pengalamannya setelah bertemu seorang syaman Indian Meksiko kuno. Dari sosok Castaneda inilah kemudian lahir gerakan hippies dan pemberontakan anak-anak muda pada dekade 1960-an.
Daniel yang waktu itu meninggalkan Tanah Air pada 1975 untuk sekolah seni dan akhirnya berkarya di Eropa Barat banyak melihat gejala munculnya seni rupa kontemporer. Tak hanya itu, sang seniman juga menghadapi diskursus visual culture yang akhirnya memilih untuk menyandarkan pada seni rupa tradisional yang terbebas dari ideologi kapitalistik yang kemaruk.
"Kendati latar belakangnya banyak menunjukkan pemberontakan yang menggebu-gebu, tapi ungkapan yang tampil dalam karya Daniel tidak menunjukkan kemarahan dan kebencian—ekspresi yang justru [banyak] mengemuka pada karya-karya aktivisme di Tanah Air," jelasnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Dialah Daniel Kho, perupa kontemporer ndugal yang menjadi bintang utama dalam kerumunan itu. Lewat dandanannya yang nge-pop, berbaju penuh gambar warna-warni, sang seniman seolah ingin mengajak pengunjung untuk berbahagia dan merayakan hidup dalam dunia yang fana.
Baca juga: Seniman Daniel Kho Gelar Pameran Tunggal Bertajuk Castaneda Factor di Jagad Gallery
Keceriaan perupa asal Solo, Jawa tengah itu pun tercermin dalam pameran tunggalnya, Castaneda Factor baru-baru ini di Jagad Gallery, Jakarta. Total ada 110 karya yang dipacak dalam pameran ini, mulai dari lukisan, patung, hingga media campuran (mixed media) yang khas dari seorang Daniel.
Castaneda Factor merupakan rentetan dari seri pameran yang telah dibuatnya sejak 2021. Yaitu dari pameran Dobos di Paros Arthouse, Bali, pameran Mboh di Studio Kalahan Yogyakarta pada 2022, dan pameran Owalah di bentara Budaya Jakarta pada awal 2023. Rangkaian pameran ini memang telah dipersiapkan sang seniman sejak lama.
Uniknya, pada seluruh karyanya, Daniel menampilkan figur ciptaannya dari campuran makhluk mitologi, dewa-dewi, wayang kulit, hingga karakter kartun. Sang seniman menyebut figur tersebut sebagai makhluk ethno-extraterrestrial yang dengan sadar dia bentuk secara hibrida di tengah dunia yang menurutnya sedang kacau balau.
Namun, berbeda dari pameran sebelumnya, Daniel kali ini tidak menggunakan kalimat yang nyeleneh untuk memberi judul karya-karyanya. Alih-alih menggunakan tajuk seperti Mboh, Dobos, Konslet, atau Koet, sang seniman lebih banyak menggunakan kosakata asing, tapi tetap saja nakal sekaligus lugas.
Hal itu misalnya tercermin dalam karya bertajuk Animal Parade (2023) yang terdiri dari 72 panel lukisan dengan figur makhluk hibrida berbagai, tapi berlatar gelap. Dalam karya yang menggunakan media acrylic sand on canvas itu Daniel seolah memberi konklusi bahwa dunia yang gelap harus dilawan dengan sesuatu yang cerah.
Ada pula karya bertajuk La Wet 99 (2023) yang menggambarkan sosok transformasi seperti alien dengan kepala yang besar. Karya berukuran 150 X 130 cm dengan molotow akrilik di atas kanvas ini juga menampilkan figur berbentuk seperti burung, dan deformasi makhluk seperti nyamuk dan gurita yang menampilkan kesan ganjil tapi otentik.
Beberapa karya dalam pameran Castaneda Factor (sumber gambar Hypeabis.id/ Himawan L Nugraha)
"Kehidupan pertama kali itu dimulai dari laut, waktu keluar ke darat ngelewatin pasir. Ini juga untuk menimbulkan efek tiga dimensi karena saya kurang puas bila lukisannya hanya datar saja,"katanya.
Sikap Pemberontakan
Menurut kurator Jim Supangkat, persinggungan sang seniman dengan budaya Eropa cukup banyak mempengaruhinya dalam berkarya. Keterlibatan Daniel secara aktual dengan kultur pop art hingga perfomance tak urung membuat karya-karya kontemporernya tercipta secara naluriah tanpa dicari-cari.Bagi Jim, karya-karya Daniel juga mencoba membongkar keterbatasan seni rupa modern yang menjelajahi keutamaan material-visual pada ungkapan seni rupa. Akan tetapi contemporariness pada karya-karyanya, bukan sekadar masalah kategori. Melainkan tanda-tanda authentic tentang kemunculan seni rupa kontemporer yang sampai sekarang belum banyak dikaji kritikus seni.
Selain itu, karakteristik Daniel yang eksentrik dan berjiwa avontur juga turut mendorongnya untuk mengaitkan kehidupan dengan mitos, atau pandangan-pandangan ganjil mengenai asal-usul keberadaan manusia di muka bumi sebagai sebuah sikap pemberontakan.
Karya Daniel Kho berjudul Il Iwak ukuran 90 Cm menggunakan medium Acry Molotow on Canvas (2023) dalam pameran Castaneda Factor (sumber gambar Hypeabis.id/Himawan L Nugraha)
Daniel yang waktu itu meninggalkan Tanah Air pada 1975 untuk sekolah seni dan akhirnya berkarya di Eropa Barat banyak melihat gejala munculnya seni rupa kontemporer. Tak hanya itu, sang seniman juga menghadapi diskursus visual culture yang akhirnya memilih untuk menyandarkan pada seni rupa tradisional yang terbebas dari ideologi kapitalistik yang kemaruk.
"Kendati latar belakangnya banyak menunjukkan pemberontakan yang menggebu-gebu, tapi ungkapan yang tampil dalam karya Daniel tidak menunjukkan kemarahan dan kebencian—ekspresi yang justru [banyak] mengemuka pada karya-karya aktivisme di Tanah Air," jelasnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.