Sejarah Jakarta dalam Goresan Kanvas, Mengulik Lukisan Epik Pertempuran Sultan Agung dan J.P. Coen karya Seniman S. Sudjojono
21 June 2023 |
19:00 WIB
Setiap 22 Juni diperingati sebagai hari ulang tahun Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, kota tersebut akan merayakan hari jadinya yang ke-496. Pada usianya yang bahkan lebih tua dari Republik Indonesia ini, Jakarta memiliki kronik sejarah panjang. Ada berbagai peristiwa penting yang mengiringi kota ini.
Salah satunya tergambar lewat lukisan karya monumental seniman S.Sudjojono bertajuk Pertempuran Sultan Agung dan Jan Pieterzoon Coen. Karya yang kini berada di Museum Sejarah Jakarta itu berhasil menampilkan esensi perjuangan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram dalam mengusir VOC atau Persekutuan Dagang Belanda dari Nusantara. Serangan di Batavia pada 1628-1629 tersebut juga menjadi bukti bahwa Sultan Agung dan rakyat Mataram menolak despotisme Belanda.
Baca juga: Profil dan Karya Terbaik Maestro Seni Rupa S. Sudjojono
Lukisan tersebut dibuat secara khusus oleh Sudjojono pada 1973 - 1974 atas permintaan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin untuk pembukaan Museum Sejarah Jakarta. Menggunakan media cat minyak di atas kanvas, lukisan berdimensi 3 x 10 meter itu terdiri atas tiga panel, yakni bagian kiri, tengah, dan kanan. Tiap-tiap panel itu mengisahkan dengan detail cerita mengenai situasi konflik pada masa kekuasaan Mataram hingga munculnya VOC, yang menguasai perdagangan rempah di Nusantara.
Pada bagian kiri misalnya, mengisahkan internal kerajaan Mataram saat Sultan Agung mengatur siasat untuk menggedor benteng Belanda. Sultan Agung merupakan figur penting dalam sejarah jawa abad ke-17. Saat itu, dia tidak senang kehadiran Belanda di tanah Jawa, karena dapat mengancam kedaulan Mataram. Di samping itu, penyerangan itu juga memiliki motif ekonomi. Sebab, Batavia merupakan wilayah strategis perdagangan.
Sementara pada bagian paling kanan lukisan, digambarkan sosok J.P. Coen yang sedang menerima kunjungan Kyai Rangga, duta dari Mataram yang membawa misi damai. Sebenarnya Tumenggung Tegal itu tengah memata-matai pihak lawan. Pada akhirnya, tawaran tersebut ditolak oleh Coen, sehingga Sultan Agung pun murka dan mengibarkan bendera perang kepada VOC.
Barulah bagian tengah lukisan ini menggambarkan peristiwa pertempuran.Lantaran kurangnya perbekalan, kekuatan Mataram melemah saat penyerangan terjadi sehingga misi Sultan Agung untuk menyatukan Jawa gagal. Namun mereka berhasil mengotori sungai Ciliwung yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera di Batavia. JP Coen pun meninggal pada 1929 akibat terjangkit wabah tersebut.
Maya Sudjojono, anak dari pelukis S. Sudjojono mengatakan karya itu memang dibuat dengan riset yang ketat agar tidak terjadi salah persepsi. Bahkan, ayahnya waktu itu sampai pergi mengunjungi berbagai lokasi di Indonesia dan mancanegara untuk mendapat gambaran yang mendalam mengenai sejarah Batavia.
"Setelah menerima orderan itu beliau langsung melakukan riset di Jakarta untuk mencari tahu sejarah Batavia, lalu ke Solo di Mangkunegaran, dan terakhir ke Belanda dengan mengajak saya untuk mengunjungi berbagai museum sejarah di sana," papar Maya saat dihubungi Hypeabis.id.
Untuk melukis kronik adegan dalam ukuran besar itu bahkan Sudjojono secara khusus juga membuat sebuah studio untuk menampung dan menyelesaikannya dalam waktu tujuh bulan. Dari sinilah kemudian tercipta arsip visual yang realis dan otentik karena didasarkan dengan dokumentasi sejarah yang runut.
Dalam proses pembuatannya, bahkan Sudjojono juga menghasilkan 38 sketsa studi saat mempersiapkan pembuatan lukisan tersebut. Tak hanya itu, menurut Maya meski mengambil tema perang, tapi sang seniman tetap tidak mau menggambar adegan yang menampilkan kekerasan baik fisik atau verbal.
"Selain tidak mau mengekspos adegan violence, beliau juga selalu mengajarkan kami untuk menjadi seseorang yang barès atau jujur pada diri sendiri dan terus menanamkan kesetaraan gender, bahwa perempuan dan laki laki adalah sama derajat nya," papar Maya.
Dalam catatan dari Sudjojono Center, S Soedjojono memang selalu melukis kehidupan dan dinamika masyarakat Indonesia sehari-hari dengan jujur atau tanpa dibuat-buat. Dia juga dikenal sebagai sosok pemikir kritis yang lewat tulisan-tulisannya telah berhasil membentuk seni rupa Indonesia modern.
Selain itu S.Sudjojono juga dikenal sebagai salah satu pendiri PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) pada 1940, dan aktif di beberapa organisasi lain termasuk, Poetra, keimin Bunka Shidoso, dan Seniman Muda Indonesia (SIM) pada 1946. Selain melukis, Soedjojono juga kerap membuat sketsa, seni pahat, relief, hingga seni keramik, dan mebel.
Baca juga: Di Pameran Ini Lukisan Maestro S. Sudjojono Dibuat Tampak Hidup
Editor: Dika Irawan
Salah satunya tergambar lewat lukisan karya monumental seniman S.Sudjojono bertajuk Pertempuran Sultan Agung dan Jan Pieterzoon Coen. Karya yang kini berada di Museum Sejarah Jakarta itu berhasil menampilkan esensi perjuangan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram dalam mengusir VOC atau Persekutuan Dagang Belanda dari Nusantara. Serangan di Batavia pada 1628-1629 tersebut juga menjadi bukti bahwa Sultan Agung dan rakyat Mataram menolak despotisme Belanda.
Baca juga: Profil dan Karya Terbaik Maestro Seni Rupa S. Sudjojono
Lukisan tersebut dibuat secara khusus oleh Sudjojono pada 1973 - 1974 atas permintaan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin untuk pembukaan Museum Sejarah Jakarta. Menggunakan media cat minyak di atas kanvas, lukisan berdimensi 3 x 10 meter itu terdiri atas tiga panel, yakni bagian kiri, tengah, dan kanan. Tiap-tiap panel itu mengisahkan dengan detail cerita mengenai situasi konflik pada masa kekuasaan Mataram hingga munculnya VOC, yang menguasai perdagangan rempah di Nusantara.
Pada bagian kiri misalnya, mengisahkan internal kerajaan Mataram saat Sultan Agung mengatur siasat untuk menggedor benteng Belanda. Sultan Agung merupakan figur penting dalam sejarah jawa abad ke-17. Saat itu, dia tidak senang kehadiran Belanda di tanah Jawa, karena dapat mengancam kedaulan Mataram. Di samping itu, penyerangan itu juga memiliki motif ekonomi. Sebab, Batavia merupakan wilayah strategis perdagangan.
Sementara pada bagian paling kanan lukisan, digambarkan sosok J.P. Coen yang sedang menerima kunjungan Kyai Rangga, duta dari Mataram yang membawa misi damai. Sebenarnya Tumenggung Tegal itu tengah memata-matai pihak lawan. Pada akhirnya, tawaran tersebut ditolak oleh Coen, sehingga Sultan Agung pun murka dan mengibarkan bendera perang kepada VOC.
Barulah bagian tengah lukisan ini menggambarkan peristiwa pertempuran.Lantaran kurangnya perbekalan, kekuatan Mataram melemah saat penyerangan terjadi sehingga misi Sultan Agung untuk menyatukan Jawa gagal. Namun mereka berhasil mengotori sungai Ciliwung yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera di Batavia. JP Coen pun meninggal pada 1929 akibat terjangkit wabah tersebut.
Maya Sudjojono, anak dari pelukis S. Sudjojono mengatakan karya itu memang dibuat dengan riset yang ketat agar tidak terjadi salah persepsi. Bahkan, ayahnya waktu itu sampai pergi mengunjungi berbagai lokasi di Indonesia dan mancanegara untuk mendapat gambaran yang mendalam mengenai sejarah Batavia.
"Setelah menerima orderan itu beliau langsung melakukan riset di Jakarta untuk mencari tahu sejarah Batavia, lalu ke Solo di Mangkunegaran, dan terakhir ke Belanda dengan mengajak saya untuk mengunjungi berbagai museum sejarah di sana," papar Maya saat dihubungi Hypeabis.id.
Untuk melukis kronik adegan dalam ukuran besar itu bahkan Sudjojono secara khusus juga membuat sebuah studio untuk menampung dan menyelesaikannya dalam waktu tujuh bulan. Dari sinilah kemudian tercipta arsip visual yang realis dan otentik karena didasarkan dengan dokumentasi sejarah yang runut.
Lukisan Pertempuran Sultan Agung dan Jan Pieterzoon Coen (sumber gambar Ssudjojonocenter)
"Selain tidak mau mengekspos adegan violence, beliau juga selalu mengajarkan kami untuk menjadi seseorang yang barès atau jujur pada diri sendiri dan terus menanamkan kesetaraan gender, bahwa perempuan dan laki laki adalah sama derajat nya," papar Maya.
Dalam catatan dari Sudjojono Center, S Soedjojono memang selalu melukis kehidupan dan dinamika masyarakat Indonesia sehari-hari dengan jujur atau tanpa dibuat-buat. Dia juga dikenal sebagai sosok pemikir kritis yang lewat tulisan-tulisannya telah berhasil membentuk seni rupa Indonesia modern.
Selain itu S.Sudjojono juga dikenal sebagai salah satu pendiri PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) pada 1940, dan aktif di beberapa organisasi lain termasuk, Poetra, keimin Bunka Shidoso, dan Seniman Muda Indonesia (SIM) pada 1946. Selain melukis, Soedjojono juga kerap membuat sketsa, seni pahat, relief, hingga seni keramik, dan mebel.
Baca juga: Di Pameran Ini Lukisan Maestro S. Sudjojono Dibuat Tampak Hidup
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.