Reviu Transformers: Rise of the Beasts, Tetap Epic dengan Penceritaan Klasik
08 June 2023 |
12:21 WIB
Untuk pertama kalinya, Steve Caple Jr menerima obor dari tangan Michael Bay, sutradara yang sedari awal menjaga karya-karya hebat Transformers. Pelopor untuk film Transformers ini memberi rasa percayanya kepada Steven untuk membuat seri terbaru terasa lebih fresh.
Bukan mudah bagi Steven memenuhi ekspektasi jutaan fans Transformers di dunia. Namun lewat ramuan baru Steven Caple, seri ke-7 dalam jagat Transformers, Transformers: Rise of the Beasts akhirnya rilis pada Rabu (7/6/2023).
Baca juga: Cek 5 Hal Penting Sebelum Nonton Film Transformers: Rise of the Beasts
Bisa dibilang, Steven tumbuh bersama karya-karya Michael Bay. Sejak kecil, dia merupakan penggemar berat serial televisi Transformers sejak usia belia. Mengalihtangan arahan Michael Bay ke Steven merupakan langkah para produser untuk melihat dunia robot dari perspektif sutradara muda. Steven mungkin bisa bernafas lega setelah Transformers: Rise of the Beasts tayang. Respons yang diterima penggemar tak terlalu buruk meski sana-sini terasa belum sempurna.
Mengambil latar cerita pertengahan 1990-an,visual yang memanjakan mata film ini tak perlu diragukan lagi. Set yang mengambil latar lokasi Brooklyn terasa sesuai pada masanya. Setiap adegan pertarungannya dibuat intens dan memacu adrenalin penonton. Setidaknya Steve berusaha mengoyak dahaga penggemar Transformers setelah terakhir menyaksikan Bumble Bee pada 2018.
Lewat gaya cerita yang klasik, Steven cukup membuktikan hasil banting setirnya dari seri film tinju Creed II tidaklah buruk. Dalam keterangan pers, Mark Vahradian selaku produser Transformers: Rise of the Beasts mengaku film Creed II yang berhasil menarik jajaran produser memilih Steven untuk mengemas karya segar Transformers. Apa yang membuat film ini terlihat segar justru terletak pada alur ceritanya yang ringan dan ringkas.
Mengisahkan Noah Diaz, seorang pria yang bersedia melakukan segala cara demi uang. Semua dilakukannya untuk bisa mengobati adiknya yang didera penyakit langka. Membawa realita sosial yang pahit, film ini sukses menyelam dalam kondisi sosial di tengah masyarakat. Film ini bisa menemui inti jiwa dari kenyataan yang ada di tengah kita.
Noah dipertemukan dengan geng Autobot yang tak pernah disangkanya. Singkatnya, Noah diminta bekerja sama untuk merebut sebuah kunci penting yang diperlukan kelompok Autobot untuk memulihkan planet mereka. Lagi-lagi menyentil dengan realita yang ada, Noah setuju dengan tawaran itu berkat iming-iming uang yang besar. Mirage, salah satu karakter Autobot di jagat Transformers bersedia menawarkan diri untuk dijual sebagai mobil mahal asal Noah bisa membantu Autobot mendapat kunci penting itu.
Noah juga bertemu dengan Elena, seorang pekerja museum yang ikut terlibat dalam misi sulit geng Autobot. Entah bagaimana, Steve bisa menjalin cerita yang unik antara seorang pria kurang beruntung dengan wanita pekerja museum. Seakan-akan, Elena menjadi otak dari setiap langkah yang bisa membawa Autobot mendapatkan keinginannya. Sementara Noah bertindak sebagai motor penggerak bagaimana misi ini bisa berhasil.
Untuk mendapatkan kunci itu, Noah dan yang lainnya harus menghadapi Scourge dan rombongannya. Geng Terrorcon ini sukses membuat Transformers: Rise of the Beasts terasa menegangkan dari pertengahan film. Scourge digambarkan sebagai villain yang memiliki kekuatan dahsyat, tetapi tetap memiliki celah untuk dipukul mundur. Realistis meski adegannya terasa sedikit terburu-buru.
Unsur lain yang membuat film ini menarik adalah kemunculan kelompok robot lainnya. Paling mentereng, geng Maximals, robot penyempurnaan dari Autobot yang menyerupai bentuk hewan. Ketegangan sudah disugguhkan sejak awal saat pemimpin Maximals, Optimus Primal mengacak hutan rimba dengan visual yang epic. Film ini terasa intens dan mendebarkan. Bahkan sebuah scene di museum yang memperlihatkan interaksi Noah dan Elena dibuat menakutkan ala jumpscare dalam adegan horor.
Steve menumpahkan kreativitas tanpa batasnya di Transformers perdananya ini. Meski penuh ketegangan, siapa sangka Steve sukses menempatkan humor-humor yang tidak berlebihan. Setiap kelucuan di film ini pas pada tempatnya. Jadi, penonton tak akan terganggu dengan jalan cerita serius tentang misi Autobot. Kemasan cerita yang ringkas, tegang, dan humor sesuai porsi!
Tujuan Noah berbalik arah setelah mengetahui seberapa penting kunci itu. Jika sebelumnya Noah melakukan segalanya demi uang, kali ini dia memilih mendapatkan kunci dengan tujuan menyelamatkan dunia. Sayangnya, tujuan yang terdengar klise ini dilontarkan di tengah penceritaan yang terburu-buru, membuat pesan film terasa terlalu tersurat. Namun hal itu masih termaafkan setelah Steve memberi sentuhan gejolak batin di antara penontonnya.
Menuju adegan akhir, Steve benar-benar menempatkan setiap karakter yang mewakili dunianya untuk bergulat batin. Optimus Prime yang memimpin Autobot, Optimus Primal yang memimpin Maximals, dan Noah yang mewakili wujud manusia ditempatkan sebagai pribadi dengan tujuan menjaga eksistensi dunianya masing-masing. Untuk melakukan itu semua, diperlukan waktu yang panjang agar semua planet bisa menyatu dan berdamai di tempatnya.
Namun nafsu dan dahaga yang menguasai Noah untuk menyelamatkan dunianya sempat membuatnya membabi buta. Lewat Noah, Steve menyugguhkan konflik sederhana untuk menempatkan penontonnya dalam kondisi yang sama, mementingkan kelompoknya atau membuat misi selesai dengan adil untuk seluruh kelompok.
Editor: Indyah Sutriningrum
Bukan mudah bagi Steven memenuhi ekspektasi jutaan fans Transformers di dunia. Namun lewat ramuan baru Steven Caple, seri ke-7 dalam jagat Transformers, Transformers: Rise of the Beasts akhirnya rilis pada Rabu (7/6/2023).
Baca juga: Cek 5 Hal Penting Sebelum Nonton Film Transformers: Rise of the Beasts
Bisa dibilang, Steven tumbuh bersama karya-karya Michael Bay. Sejak kecil, dia merupakan penggemar berat serial televisi Transformers sejak usia belia. Mengalihtangan arahan Michael Bay ke Steven merupakan langkah para produser untuk melihat dunia robot dari perspektif sutradara muda. Steven mungkin bisa bernafas lega setelah Transformers: Rise of the Beasts tayang. Respons yang diterima penggemar tak terlalu buruk meski sana-sini terasa belum sempurna.
Mengambil latar cerita pertengahan 1990-an,visual yang memanjakan mata film ini tak perlu diragukan lagi. Set yang mengambil latar lokasi Brooklyn terasa sesuai pada masanya. Setiap adegan pertarungannya dibuat intens dan memacu adrenalin penonton. Setidaknya Steve berusaha mengoyak dahaga penggemar Transformers setelah terakhir menyaksikan Bumble Bee pada 2018.
Lewat gaya cerita yang klasik, Steven cukup membuktikan hasil banting setirnya dari seri film tinju Creed II tidaklah buruk. Dalam keterangan pers, Mark Vahradian selaku produser Transformers: Rise of the Beasts mengaku film Creed II yang berhasil menarik jajaran produser memilih Steven untuk mengemas karya segar Transformers. Apa yang membuat film ini terlihat segar justru terletak pada alur ceritanya yang ringan dan ringkas.
Transformers: Rise of the Beasts (Sumber gambar: Dok. Transformers)
Mengisahkan Noah Diaz, seorang pria yang bersedia melakukan segala cara demi uang. Semua dilakukannya untuk bisa mengobati adiknya yang didera penyakit langka. Membawa realita sosial yang pahit, film ini sukses menyelam dalam kondisi sosial di tengah masyarakat. Film ini bisa menemui inti jiwa dari kenyataan yang ada di tengah kita.
Noah dipertemukan dengan geng Autobot yang tak pernah disangkanya. Singkatnya, Noah diminta bekerja sama untuk merebut sebuah kunci penting yang diperlukan kelompok Autobot untuk memulihkan planet mereka. Lagi-lagi menyentil dengan realita yang ada, Noah setuju dengan tawaran itu berkat iming-iming uang yang besar. Mirage, salah satu karakter Autobot di jagat Transformers bersedia menawarkan diri untuk dijual sebagai mobil mahal asal Noah bisa membantu Autobot mendapat kunci penting itu.
Noah juga bertemu dengan Elena, seorang pekerja museum yang ikut terlibat dalam misi sulit geng Autobot. Entah bagaimana, Steve bisa menjalin cerita yang unik antara seorang pria kurang beruntung dengan wanita pekerja museum. Seakan-akan, Elena menjadi otak dari setiap langkah yang bisa membawa Autobot mendapatkan keinginannya. Sementara Noah bertindak sebagai motor penggerak bagaimana misi ini bisa berhasil.
Kemasan Humor yang Menegangkan
Transformers: Rise of the Beasts (Sumber gambar: Dok. Transformers)
Untuk mendapatkan kunci itu, Noah dan yang lainnya harus menghadapi Scourge dan rombongannya. Geng Terrorcon ini sukses membuat Transformers: Rise of the Beasts terasa menegangkan dari pertengahan film. Scourge digambarkan sebagai villain yang memiliki kekuatan dahsyat, tetapi tetap memiliki celah untuk dipukul mundur. Realistis meski adegannya terasa sedikit terburu-buru.
Unsur lain yang membuat film ini menarik adalah kemunculan kelompok robot lainnya. Paling mentereng, geng Maximals, robot penyempurnaan dari Autobot yang menyerupai bentuk hewan. Ketegangan sudah disugguhkan sejak awal saat pemimpin Maximals, Optimus Primal mengacak hutan rimba dengan visual yang epic. Film ini terasa intens dan mendebarkan. Bahkan sebuah scene di museum yang memperlihatkan interaksi Noah dan Elena dibuat menakutkan ala jumpscare dalam adegan horor.
Steve menumpahkan kreativitas tanpa batasnya di Transformers perdananya ini. Meski penuh ketegangan, siapa sangka Steve sukses menempatkan humor-humor yang tidak berlebihan. Setiap kelucuan di film ini pas pada tempatnya. Jadi, penonton tak akan terganggu dengan jalan cerita serius tentang misi Autobot. Kemasan cerita yang ringkas, tegang, dan humor sesuai porsi!
Perdebatan Batin
Transformers: Rise of the Beasts (Sumber gambar: Dok. Transformers)
Menuju adegan akhir, Steve benar-benar menempatkan setiap karakter yang mewakili dunianya untuk bergulat batin. Optimus Prime yang memimpin Autobot, Optimus Primal yang memimpin Maximals, dan Noah yang mewakili wujud manusia ditempatkan sebagai pribadi dengan tujuan menjaga eksistensi dunianya masing-masing. Untuk melakukan itu semua, diperlukan waktu yang panjang agar semua planet bisa menyatu dan berdamai di tempatnya.
Namun nafsu dan dahaga yang menguasai Noah untuk menyelamatkan dunianya sempat membuatnya membabi buta. Lewat Noah, Steve menyugguhkan konflik sederhana untuk menempatkan penontonnya dalam kondisi yang sama, mementingkan kelompoknya atau membuat misi selesai dengan adil untuk seluruh kelompok.
Editor: Indyah Sutriningrum
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.