BPOM Jamin Kandungan Etilen Oksida pada Indomie Kuah Masih Aman
28 April 2023 |
09:03 WIB
Indomie menjadi salah satu produk mi instan yang digemari masyarakat Indonesia hingga dunia. Namun dalam beberapa waktu terakhir, ada keresahan untuk mengonsumsi makanan tersebut. Pasalnya, Departemen Kesehatan Taipe menemukan kandungan senyawa kimia etilen oksida dalam produk buatan Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, itu.
Dalam rilisnya awal pekan ini, Departemen Kesehatan Taipei melaporkan ada dua produk mi intan yang tercemar etilen oksida, senyawa kimia yang terkait dengan limfoma dan leukemia. Produk tersebut yakni Indomie: Special Chicken Flavour atau Rasa Ayam Spesial dan Ah Lai White Curry Noodles.
Mengutip Channel News Asia, temuan itu merupakan bagian dari pemeriksaan mi instan kota yang tersedia di Taipei pada 2023. Mereka pun telah menarik kedua produk tersebut dari peredaran.
Baca juga: Indomie Jadi Mi Goreng Instan Terenak versi NY Magazine
Menurut informasi di situs Biro Zat Beracun dan Kimia Taiwan di bawah Administrasi Perlindungan Lingkungan Tingkat Kabinet, etilen oksida beracun bila dikonsumsi atau dihirup. Selain menyebabkan limfoma dan leukemia, etilen oksida juga menyebabkan iritasi serius pada kulit dan mata orang-orang yang bersentuhan dengan zat tersebut dan bahkan dapat memicu cacat lahir dan keturunan.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyampaikan penentuan batas residu Etilen Oksida (EtO) di Indonesia berbeda dengan Taipe. Otoritas Kesehatan Kota Taipei melaporkan keberadaan EtO pada bumbu produk Indomie Rasa Ayam Spesial sebesar 0,187 mg/kg (ppm). Adapun, Taiwan tidak memperbolehkan EtO pada pangan.
Metode analisis yang digunakan oleh Taiwan FDA adalah metode penentuan 2-Chloro Ethanol (2-CE), yang hasil ujinya dikonversi sebagai EtO. Oleh karena itu, kadar EtO sebesar 0,187 ppm setara dengan kadar 2-CE sebesar 0,34 ppm.
Sementara itu, Indonesia telah mengatur Batas Maksimal Residu (BMR) 2-CE sebesar 85 ppm melalui Keputusan Kepala BPOM Nomor 229 Tahun 2022 tentang Pedoman Mitigasi Risiko Kesehatan Senyawa Etilen Oksida. Dengan demikian, kadar 2-CE yang terdeteksi pada sampel mi instan di Taiwan (0,34 ppm) masih jauh di bawah BMR 2-CE di Indonesia dan di sejumlah negara lain, seperti Amerika dan Kanada.
“Oleh karena itu, di Indonesia produk mi instan tersebut aman dikonsumsi, karena telah memenuhi persyaratan keamanan dan mutu produk sebelum beredar,” tulis pernyataan BPOM, dikutip Hypeabis.id, Jumat (28/4/2023).
Dijelaskan pula bahwa sampai saat ini, Codex Alimentarius Commission (CAC) sebagai organisasi standar pangan internasional di bawah World Health Organization/Food and Agriculture Organization (WHO/FAO) belum mengatur batas maksimal residu EtO. Beberapa negara pun masih mengizinkan penggunaan EtO sebagai pestisida.
Namun demikian, sebagai langkah antisipasi Kepala BPOM menerbitkan keputusan Nomor 229 Tahun 2022 tentang Pedoman Mitigasi Risiko Kesehatan Senyawa Etilen Oksida. Mereka juga melakukan sosialisasi/pelatihan secara berkala kepada asosiasi pelaku usaha dan eksportir produk pangan termasuk eksportir ke Taiwan, terkait dengan peraturan terbaru yang berlaku di negara tujuan ekspor.
“Mengusulkan EtO dan 2-CE sebagai priority list contaminant for evaluation by Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA),” sebut BPOM.
Sementara itu, para pelaku usaha termasuk PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk diminta untuk melakukan mitigasi risiko, seperti enjaga keamanan, mutu, dan gizi produk pangan olahan yang diproduksi dan diekspor, serta memastikan bahwa produk sudah memenuhi persyaratan negara tujuan ekspor.
Kemudian, memastikan penanganan bahan baku yang digunakan untuk seluruh produk baik lokal maupun ekspor agar tidak tercemar EtO. Caranya dengan memilih teknologi pengawetan bahan baku menggunakan metode non fumigasi seperti sterilisasi uap pada pra-pengapalan, meminimalkan penggunaan bahan tambahan pangan yang mengandung residu EtO pada proses produksi dan/atau menggunakan teknik pengolahan suhu tinggi untuk memastikan EtO menguap maksimal.
“Melakukan pengujian residu EtO di laboratorium terakreditasi untuk persyaratan rilis produk ekspor dan melaporkan kepada BPOM,” tambah pernyataan tersebut.
Sementara itu, BPOM katanya telah melakukan audit investigatif sebagai tindak lanjut terhadap hasil pengawasan Otoritas Kesehatan Kota Taipei. BPOM pun mengklaim secara terus-menerus melakukan monitoring dan pengawasan pre-market dan post-market terhadap sarana dan produk yang beredar, termasuk inspeksi implementasi Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB) di sarana produksi. Serta pelaksanaan sampling dan pengujian produk di peredaran.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Dalam rilisnya awal pekan ini, Departemen Kesehatan Taipei melaporkan ada dua produk mi intan yang tercemar etilen oksida, senyawa kimia yang terkait dengan limfoma dan leukemia. Produk tersebut yakni Indomie: Special Chicken Flavour atau Rasa Ayam Spesial dan Ah Lai White Curry Noodles.
Mengutip Channel News Asia, temuan itu merupakan bagian dari pemeriksaan mi instan kota yang tersedia di Taipei pada 2023. Mereka pun telah menarik kedua produk tersebut dari peredaran.
Baca juga: Indomie Jadi Mi Goreng Instan Terenak versi NY Magazine
Menurut informasi di situs Biro Zat Beracun dan Kimia Taiwan di bawah Administrasi Perlindungan Lingkungan Tingkat Kabinet, etilen oksida beracun bila dikonsumsi atau dihirup. Selain menyebabkan limfoma dan leukemia, etilen oksida juga menyebabkan iritasi serius pada kulit dan mata orang-orang yang bersentuhan dengan zat tersebut dan bahkan dapat memicu cacat lahir dan keturunan.
Lantas bagaimana dengan produk Indomie Rasa Ayam Spesial di Indonesia?
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyampaikan penentuan batas residu Etilen Oksida (EtO) di Indonesia berbeda dengan Taipe. Otoritas Kesehatan Kota Taipei melaporkan keberadaan EtO pada bumbu produk Indomie Rasa Ayam Spesial sebesar 0,187 mg/kg (ppm). Adapun, Taiwan tidak memperbolehkan EtO pada pangan.
Metode analisis yang digunakan oleh Taiwan FDA adalah metode penentuan 2-Chloro Ethanol (2-CE), yang hasil ujinya dikonversi sebagai EtO. Oleh karena itu, kadar EtO sebesar 0,187 ppm setara dengan kadar 2-CE sebesar 0,34 ppm.
Sementara itu, Indonesia telah mengatur Batas Maksimal Residu (BMR) 2-CE sebesar 85 ppm melalui Keputusan Kepala BPOM Nomor 229 Tahun 2022 tentang Pedoman Mitigasi Risiko Kesehatan Senyawa Etilen Oksida. Dengan demikian, kadar 2-CE yang terdeteksi pada sampel mi instan di Taiwan (0,34 ppm) masih jauh di bawah BMR 2-CE di Indonesia dan di sejumlah negara lain, seperti Amerika dan Kanada.
“Oleh karena itu, di Indonesia produk mi instan tersebut aman dikonsumsi, karena telah memenuhi persyaratan keamanan dan mutu produk sebelum beredar,” tulis pernyataan BPOM, dikutip Hypeabis.id, Jumat (28/4/2023).
Dijelaskan pula bahwa sampai saat ini, Codex Alimentarius Commission (CAC) sebagai organisasi standar pangan internasional di bawah World Health Organization/Food and Agriculture Organization (WHO/FAO) belum mengatur batas maksimal residu EtO. Beberapa negara pun masih mengizinkan penggunaan EtO sebagai pestisida.
Namun demikian, sebagai langkah antisipasi Kepala BPOM menerbitkan keputusan Nomor 229 Tahun 2022 tentang Pedoman Mitigasi Risiko Kesehatan Senyawa Etilen Oksida. Mereka juga melakukan sosialisasi/pelatihan secara berkala kepada asosiasi pelaku usaha dan eksportir produk pangan termasuk eksportir ke Taiwan, terkait dengan peraturan terbaru yang berlaku di negara tujuan ekspor.
“Mengusulkan EtO dan 2-CE sebagai priority list contaminant for evaluation by Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA),” sebut BPOM.
Sementara itu, para pelaku usaha termasuk PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk diminta untuk melakukan mitigasi risiko, seperti enjaga keamanan, mutu, dan gizi produk pangan olahan yang diproduksi dan diekspor, serta memastikan bahwa produk sudah memenuhi persyaratan negara tujuan ekspor.
Kemudian, memastikan penanganan bahan baku yang digunakan untuk seluruh produk baik lokal maupun ekspor agar tidak tercemar EtO. Caranya dengan memilih teknologi pengawetan bahan baku menggunakan metode non fumigasi seperti sterilisasi uap pada pra-pengapalan, meminimalkan penggunaan bahan tambahan pangan yang mengandung residu EtO pada proses produksi dan/atau menggunakan teknik pengolahan suhu tinggi untuk memastikan EtO menguap maksimal.
“Melakukan pengujian residu EtO di laboratorium terakreditasi untuk persyaratan rilis produk ekspor dan melaporkan kepada BPOM,” tambah pernyataan tersebut.
Sementara itu, BPOM katanya telah melakukan audit investigatif sebagai tindak lanjut terhadap hasil pengawasan Otoritas Kesehatan Kota Taipei. BPOM pun mengklaim secara terus-menerus melakukan monitoring dan pengawasan pre-market dan post-market terhadap sarana dan produk yang beredar, termasuk inspeksi implementasi Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB) di sarana produksi. Serta pelaksanaan sampling dan pengujian produk di peredaran.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.