Mengenal Ugahari, Prinsip Arsitektur yang Sederhana & Berkesadaran Lingkungan
30 March 2023 |
17:00 WIB
Konsep dan gaya arsitektur terus berkembang seiring dengan gaya hidup dan kebutuhan masyarakat dari waktu ke waktu. Setiap arsitek pun memiliki konsepnya masing-masing dalam membangun satu hunian atau bangunan yang dinilai memberikan banyak manfaat baik terhadap penghuninya maupun lingkungan sekitar.
Salah satu arsitek yang memiliki konsep arsitektural khas dalam setiap merancang hunian atau bangunan adalah Yoshi Fajar Kresno Murti dengan konsep arsitektur Ugahari atau arsitektur sederhana. Dalam konsep ini, desain bukanlah yang utama melainkan apa yang membuat penghuni dan lingkungan sekitarnya nyaman di rumah tersebut.
Konsep arsitektur Ugahari berfokus pada nilai dan budaya. Penamaan praktik arsitek ini berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti pas, tidak kurang dan tidak lebih. Dari filosofi itu, Yoshi berusaha memadukan segala unsur secara tepat dan pas, termasuk memikirkan manfaatnya bagi lingkungan sekitar.
"Ugahari merupakan praktik arsitektur yang bersifat sosial, memperhatikan lingkungan, relasional, berbasis sumber daya, dan berorientasi pada proses," jelasnya dalam wawancara telepon dengan Hypeabis.id, baru-baru ini.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ugahari memiliki arti kesederhanaan. Menurut Yoshi, dengan konsep ini tercipta sebuah karya perancangan dengan nilai kesederhanaan, di mana bentuk, material, dan fungsi dikomunikasikan dengan keinginan, kebutuhan, dan kemungkinan lain.
Dengan begitu, terjadi timbal-balik atau dialog antara arsitek dengan penghuni, dengan tujuan untuk menciptakan karya perancangan yang memiliki keberlanjutan dan integrasi antara penghuni dengan ruang dan bangunan serta bangunan dengan lingkungan sekitar.
Salah satu buah karya Yoshi dengan konsep arsitektur Ugahari adalah Rumah Sawo Mateng, sebuah tempat penginapan dengan konsep mendekatkan penghuninya dengan sejarah dari para pemikir kebudayaan.
Jika dilihat, Rumah Sawo Mateng tampak akrab dan sejuk dengan hadirnya rerimbunan pohon dan tanaman yang mengelilingi hampir setiap sudutnya. Menariknya, rumah tiga lantai ini menggunakan material kayu-kayu bekas yang disusun sedemikian rupa sehingga menjadi kesatuan bangunan.
Sebagian besar material yang digunakan untuk mendirikan bangunan ini berasal dari kayu-kayu sisa bekas pembangunan rumah, dan sebagiannya lagi merupakan material sisa bangunan rumah lama era 1950-an yang hancur di berbagai daerah di Jakarta.
Hal itulah yang membuat Rumah Sawo Mateng layaknya wujud kolase sejarah yang berasal dari sisa-sisa bangunan lawas. Setidaknya itu tampak pada pintu-pintu, jendela, dan susunan keramik yang kental dengan desain lawas.
Dalam membangun Rumah Sawo Mateng. Yoshi terlebih dahulu membuat konsep rancang bangunan dengan detail sebelum akhirnya 'menjahit' atau menyusun material-material bekas yang ada menjadi kesatuan rumah. Konsep yang dibuat pun tak hanya menitikberatkan pada desain, tetapi juga memikirkan terkait penataan lingkungan sekitar.
Selain itu, dia juga harus mengenali karakteristik tiap material bekas yang ada sebelum menggunakannya menjadi elemen bangunan atau furniture yang fungsional dan tahan lama. "Jadi sebelum menyusun arsitektur satu bangunan, penting untuk tahu ukuran, karakteristik lingkungan dan bahan, termasuk mempertimbangkan aspirasi dari pemilik," katanya.
Dalam membangun Rumah Sawo Mateng, Yoshi menerapkan beberapa prinsipnya yakni memberikan 'napas' bagi lingkungan sekitar dengan tidak menghabiskan semua luas lahan yang ada. Sebaliknya, dia bangun rumah yang optimalisasi ruang yang fleksibel yang bisa digunakan sebagai kost, tempat penginapan, bahkan kafe hingga ruang pertemuan.
Lantaran memiliki konsep rumah yang selaras dengan alam sekitar, Rumah Sawo Mateng juga mengutamakan unsur ventilasi yang didesain untuk mendapatkan sinar matahari sekaligus udara.
Pada bangunan ini, ventilasi menjadi unsur yang cukup dominan yang tampak pada jendela-jendela yang besar, juga celah-celah udara yang ada di sekeliling bangunan. "Jadi prinsip-prinsip tropis itu memang saya pelajari," imbuhnya.
Dalam proses pembangunan dengan konsep arsitektur Ugahari, Yoshi juga sebisa mungkin tidak menyisakan sampah sisa material. Sebaliknya, bahan-bahan yang ada justru dioptimalkan untuk keseluruhan bangunan. Hal itu juga yang terlihat dalam Rumah Sawo Mateng.
Sisa-sisa kayu bekas yang masih ada misalnya, dibuat menjadi berbagai macam elemen dekorasi dan perabotan rumah tangga seperti tempat lampu, meja, dan tempat tisu. "Jadi cara kerja berarsitektur dalam Ugahari itu semuanya pas, tidak lebih dan tidak kurang yang didapatkan dari proses mempelajari apa yang ingin dibuat," tegas Yoshi.
Editor: Indyah Sutriningrum
Salah satu arsitek yang memiliki konsep arsitektural khas dalam setiap merancang hunian atau bangunan adalah Yoshi Fajar Kresno Murti dengan konsep arsitektur Ugahari atau arsitektur sederhana. Dalam konsep ini, desain bukanlah yang utama melainkan apa yang membuat penghuni dan lingkungan sekitarnya nyaman di rumah tersebut.
Konsep arsitektur Ugahari berfokus pada nilai dan budaya. Penamaan praktik arsitek ini berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti pas, tidak kurang dan tidak lebih. Dari filosofi itu, Yoshi berusaha memadukan segala unsur secara tepat dan pas, termasuk memikirkan manfaatnya bagi lingkungan sekitar.
"Ugahari merupakan praktik arsitektur yang bersifat sosial, memperhatikan lingkungan, relasional, berbasis sumber daya, dan berorientasi pada proses," jelasnya dalam wawancara telepon dengan Hypeabis.id, baru-baru ini.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ugahari memiliki arti kesederhanaan. Menurut Yoshi, dengan konsep ini tercipta sebuah karya perancangan dengan nilai kesederhanaan, di mana bentuk, material, dan fungsi dikomunikasikan dengan keinginan, kebutuhan, dan kemungkinan lain.
Dengan begitu, terjadi timbal-balik atau dialog antara arsitek dengan penghuni, dengan tujuan untuk menciptakan karya perancangan yang memiliki keberlanjutan dan integrasi antara penghuni dengan ruang dan bangunan serta bangunan dengan lingkungan sekitar.
Salah satu buah karya Yoshi dengan konsep arsitektur Ugahari adalah Rumah Sawo Mateng, sebuah tempat penginapan dengan konsep mendekatkan penghuninya dengan sejarah dari para pemikir kebudayaan.
Jika dilihat, Rumah Sawo Mateng tampak akrab dan sejuk dengan hadirnya rerimbunan pohon dan tanaman yang mengelilingi hampir setiap sudutnya. Menariknya, rumah tiga lantai ini menggunakan material kayu-kayu bekas yang disusun sedemikian rupa sehingga menjadi kesatuan bangunan.
Sebagian besar material yang digunakan untuk mendirikan bangunan ini berasal dari kayu-kayu sisa bekas pembangunan rumah, dan sebagiannya lagi merupakan material sisa bangunan rumah lama era 1950-an yang hancur di berbagai daerah di Jakarta.
Hal itulah yang membuat Rumah Sawo Mateng layaknya wujud kolase sejarah yang berasal dari sisa-sisa bangunan lawas. Setidaknya itu tampak pada pintu-pintu, jendela, dan susunan keramik yang kental dengan desain lawas.
Proses Merakit
Dalam membangun Rumah Sawo Mateng. Yoshi terlebih dahulu membuat konsep rancang bangunan dengan detail sebelum akhirnya 'menjahit' atau menyusun material-material bekas yang ada menjadi kesatuan rumah. Konsep yang dibuat pun tak hanya menitikberatkan pada desain, tetapi juga memikirkan terkait penataan lingkungan sekitar.Selain itu, dia juga harus mengenali karakteristik tiap material bekas yang ada sebelum menggunakannya menjadi elemen bangunan atau furniture yang fungsional dan tahan lama. "Jadi sebelum menyusun arsitektur satu bangunan, penting untuk tahu ukuran, karakteristik lingkungan dan bahan, termasuk mempertimbangkan aspirasi dari pemilik," katanya.
Rumah Sawo Mateng adalah salah satu bangunan yang menerapkan prinsip arsitektur Ugahari (Sumber gambar: Hypeabis.id/Suselo Jati)
Lantaran memiliki konsep rumah yang selaras dengan alam sekitar, Rumah Sawo Mateng juga mengutamakan unsur ventilasi yang didesain untuk mendapatkan sinar matahari sekaligus udara.
Pada bangunan ini, ventilasi menjadi unsur yang cukup dominan yang tampak pada jendela-jendela yang besar, juga celah-celah udara yang ada di sekeliling bangunan. "Jadi prinsip-prinsip tropis itu memang saya pelajari," imbuhnya.
Dalam proses pembangunan dengan konsep arsitektur Ugahari, Yoshi juga sebisa mungkin tidak menyisakan sampah sisa material. Sebaliknya, bahan-bahan yang ada justru dioptimalkan untuk keseluruhan bangunan. Hal itu juga yang terlihat dalam Rumah Sawo Mateng.
Sisa-sisa kayu bekas yang masih ada misalnya, dibuat menjadi berbagai macam elemen dekorasi dan perabotan rumah tangga seperti tempat lampu, meja, dan tempat tisu. "Jadi cara kerja berarsitektur dalam Ugahari itu semuanya pas, tidak lebih dan tidak kurang yang didapatkan dari proses mempelajari apa yang ingin dibuat," tegas Yoshi.
Editor: Indyah Sutriningrum
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.