Fashion Silih Berganti dengan Cepat, Desainer Banyak Fokus ke Micro Trend
25 January 2023 |
14:36 WIB
Tak bisa dipungkiri, tren fesyen silih berganti terjadi dalam waktu yang relatif cepat. Sebuah tren potongan tertentu yang sangat booming di awal tahun, bisa saja terlihat sangat kuno di akhir tahun. Inilah juga yang melahirkan konsep fast fashion.
Fast fashion memang kerap kali disebut sebagai biang limbah busana yang menyumbang puluhan ton sampah tekstil. Namun dari segi bisnis, tak sedikit desainer yang memang melihat micro trend dalam naik turunnya popularitas busana.
Baca juga: Tren Sustainable Fashion, Zero Waste Kian Jadi Perhatian Para Desainer
Nathalia Gunarian, Fashion Business Program Coordinator menyebut micro trend memang menjadi perhatian banyak desainer saat ini. Di mana desainer lebih memilih tren-tren berskala kecil dan biasanya terjadi dalam jangka pendek tetapi sangat booming di rentang waktu tertentu.
Tren ini memang menguntungkan untuk memulai bisnis. Tinggal selanjutnya bagaimana strategi sebuah brand fashion mempertahankan keberlangsungan brand-nya.
Namun menutut Nathalia, micro trends harus diiringi dengan solusi. Dalam pandangannya, akan lebih baik saat seorang desainer mampu mensolusikan sesuatu dalam konsep apapun yang diangkatnya, termasuk soal sustainable fashion yang kian menjadi perhatian banyak konsumen.
“Hype atau tren ini tentatif sebetulnya. Makanya banyak yang fokus ke tren micro. Misalnya saja busana para influencer, blogger, dan lainnya, mereka juga bagian dari micro trend yang membawa gelombang masa untuk melihat ke mereka. Jadi selama pakaian itu tren di satu sektor atau segmen tertentu, kita bisa bilang itu trendy,” kata Nathalia.
Sulit untuk melihat tren fashion secara global. Micro trends yang juga menyentuh segemnetasi tertentu juga mengartikan busana itu populer untuk kalangan tertentu.
“Misalnya penggunaan varisty yang trennya sejak 80-an, jika ada komunitas tertentu yang bilang ini hype dan menggunakannya, maka bisa dikatakan pakian itu memang trendy di kalangan itu,” jelas Nathalia.
Sebagai salah satu pengajar di sekolah mode ESMOD Jakarta, Nathalia menyebut dalam dunia pendidikan fashion tidak melulu berpatokan dengan satu tren. Semua bergantung dengan passion dan target para desainer.
“Satu hal yang menjadi fokus bersama adalah kontribusi idenya dalam dunia fashion. Misal apa sih yang bisa kita berikan dalam dunia fashion ini. Bagaimana juga kita bisa menyelsaikan sebuah masalah atau case dalam dunia fashion,” jelasnya.
Misalnya saja, jeans denim yang dianggap sangat tidak sustainable secara material dan pencucian, tetapi sebetulnya sangat sustain apabila dilihat dari usia materialnya. Maka metode upcycle menjadi salah satu yang bisa dilakukan dengan mengumpulkan potongan jeans denim dan di buat ulang.
Sehingga usia jeans denim ini akan semakin panjang dan dapat dikatakan sustain dari segi umur. Proses kreatif seperti ini yang terus coba digaungkan oleh ESMOD Jakarta kepada mahasiswanya.
Di samping itu, sekolah mode ini juga mendorong paduan kearifan lokal dalam sebuah konsep busana modern. Bagiamana sebuah busana tetap terlihat modern tapi tetap tampil dengan corak-corak khas Indonesia seperti batik atau tenun.
“Dalam 3 tahun terakhir, mahasiswa kita juga jadi terbiasa membawa kearifan lokal dalam karya-karyanya karena dorongan ini,” tutup Nathalia.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Fast fashion memang kerap kali disebut sebagai biang limbah busana yang menyumbang puluhan ton sampah tekstil. Namun dari segi bisnis, tak sedikit desainer yang memang melihat micro trend dalam naik turunnya popularitas busana.
Baca juga: Tren Sustainable Fashion, Zero Waste Kian Jadi Perhatian Para Desainer
Nathalia Gunarian, Fashion Business Program Coordinator menyebut micro trend memang menjadi perhatian banyak desainer saat ini. Di mana desainer lebih memilih tren-tren berskala kecil dan biasanya terjadi dalam jangka pendek tetapi sangat booming di rentang waktu tertentu.
Tren ini memang menguntungkan untuk memulai bisnis. Tinggal selanjutnya bagaimana strategi sebuah brand fashion mempertahankan keberlangsungan brand-nya.
Namun menutut Nathalia, micro trends harus diiringi dengan solusi. Dalam pandangannya, akan lebih baik saat seorang desainer mampu mensolusikan sesuatu dalam konsep apapun yang diangkatnya, termasuk soal sustainable fashion yang kian menjadi perhatian banyak konsumen.
Ilustrasi perancang busana. (Sumber foto: Unsplash/Junior Reis)
“Hype atau tren ini tentatif sebetulnya. Makanya banyak yang fokus ke tren micro. Misalnya saja busana para influencer, blogger, dan lainnya, mereka juga bagian dari micro trend yang membawa gelombang masa untuk melihat ke mereka. Jadi selama pakaian itu tren di satu sektor atau segmen tertentu, kita bisa bilang itu trendy,” kata Nathalia.
Sulit untuk melihat tren fashion secara global. Micro trends yang juga menyentuh segemnetasi tertentu juga mengartikan busana itu populer untuk kalangan tertentu.
“Misalnya penggunaan varisty yang trennya sejak 80-an, jika ada komunitas tertentu yang bilang ini hype dan menggunakannya, maka bisa dikatakan pakian itu memang trendy di kalangan itu,” jelas Nathalia.
Sebagai salah satu pengajar di sekolah mode ESMOD Jakarta, Nathalia menyebut dalam dunia pendidikan fashion tidak melulu berpatokan dengan satu tren. Semua bergantung dengan passion dan target para desainer.
“Satu hal yang menjadi fokus bersama adalah kontribusi idenya dalam dunia fashion. Misal apa sih yang bisa kita berikan dalam dunia fashion ini. Bagaimana juga kita bisa menyelsaikan sebuah masalah atau case dalam dunia fashion,” jelasnya.
Misalnya saja, jeans denim yang dianggap sangat tidak sustainable secara material dan pencucian, tetapi sebetulnya sangat sustain apabila dilihat dari usia materialnya. Maka metode upcycle menjadi salah satu yang bisa dilakukan dengan mengumpulkan potongan jeans denim dan di buat ulang.
Sehingga usia jeans denim ini akan semakin panjang dan dapat dikatakan sustain dari segi umur. Proses kreatif seperti ini yang terus coba digaungkan oleh ESMOD Jakarta kepada mahasiswanya.
Di samping itu, sekolah mode ini juga mendorong paduan kearifan lokal dalam sebuah konsep busana modern. Bagiamana sebuah busana tetap terlihat modern tapi tetap tampil dengan corak-corak khas Indonesia seperti batik atau tenun.
“Dalam 3 tahun terakhir, mahasiswa kita juga jadi terbiasa membawa kearifan lokal dalam karya-karyanya karena dorongan ini,” tutup Nathalia.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.