55 Daerah di Indonesia Umumkan KLB Campak, Apa Pemicunya?
21 January 2023 |
11:11 WIB
1
Like
Like
Like
Kementerian Kesehatan menyatakan kasus campak di Indonesia mengalami peningkatan sepanjang 2022. Selama 2022, sebanyak 3.341 kasus campak telah terkonfirmasi. Ribuan kasus tersebut tersebar di 223 kabupaten atau kota di 31 provinsi.
Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan dr Prima Yosephine mengatakan jumlah tersebut meningkat sebanyak 32 kali lipat dibanding 2021. Dari jumlah tersebut, sebanyak 55 daerah yang berada di 12 provinsi telah mengumumkan penyakit campak sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
“Namun, keadaan ini terjadi dalam satu tahun, ya. Bukan serentak. Kenapa bisa meningkat banyak? Karena dua tahun berturut-turut Kemenkes tidak bisa mencapai target untuk mencapai imunisasi rutin,” ujar Prima dalam konferensi pers Kemenkes, Jumat (20/1/2023).
Baca juga: Sambut Hari Imunisasi Sedunia, Ini Daftar Vaksin Penting Berdasarkan Usia Menurut CDC
Tidak tercapainya target imunisasi pada 2021-2021 telah meningkatkan jumlah kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), seperti campak di Indonesia. Sebagai informasi, suatu daerah bisa disebut mengalami KLB jika minimal ada dua kasus campak yang terkonfirmasi oleh laboratorium yang berhubungan dengan epidemiologi.
Prima menjelaskan kasus-kasus campak yang terjadi pada 2022 terjadi pada anak-anak yang sebagian besar tidak diimunisasi. Rinciannya ialah 58 persen pasien tidak diimunisasi, 7 persen sudah mendapatkan dua dosis atau lebih imuniasi campak rubela, 5 persen baru mendapatkan satu dosis imunisasi, dan 30 persen lainnya tidak diketahui status imunisasinya.
Epidemiolog Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman mengatakan, dengan adanya 3.000-an kasus, sangat wajar sejumlah daerah di Indonesia mengeluarkan status KLB. Namun, melihat kasus ini sudah menyebar di banyak daerah, Dicky menilai seharusnya status KLB dinaikkan menjadi level nasional.
Dicky menilai status KLB nasional sudah layak dipertimbangkan untuk diumumkan. Pernyataan ini menjadi penting untuk menimbulkan respons lebih cepat dari pemerintah.
Sebab, risiko campak tidak boleh disepelekan. Sebab, penularan penyakit ini cenderung bergerak cepat. Dari sepuluh anak yang belum imunisasi atau belum lengkap, sembilan bisa terkena campak.
Dicky menjelaskan anak-anak yang terkena campak juga akan berakibat buruk bagi kesehatannya. Sebab, anak-anak yang terkena campak bisa menurunkan imunitas dan berpotensi mengalami infeksi lain yang bisa membahayakan.
“Respons yang cepat menjadi penting menangani kasus ini. Sebab, kita kerap mengalami keterbatasan deteksi,” ujar Dicky kepada Hypeabis.id.
Dicky mengatakan fenomena KLB campak belakangan memang sering terjadi. Tidak hanya di Indonesia, beberapa negara maju bahkan masih mengalami KLB campak.
Banyak pihak menilai munculnya KLB campak karena adanya gerakan antivaksin yang belakangan makin berkembang. Adanya keraguan dan ketidakmampuan masyarakat untuk memvaksin anak membuat potensi risiko terkena campak meningkat.
Terlebih, dua tahun terakhir dunia mengalami pandemi Covid-19. Hal itu membuat penetrasi vaksin menjadi berkurang karena orang tua takut membawa anaknya vaksin. Akan tetapi, ada juga karena faktor pemerintahnya yang lambat.
“Semua ini berkontribusi terhadap terciptanya KLB campak atau penyakit lainnya. Situasi pandemi cukup berpengaruh karena pemerintah jadi fokus pada vaksinasi Covid-19 dan melupakan vaksin lain,” imbuhnya.
Baca juga: Imunisasi Sejak Kecil Bakal Terdata Lewat Digitalisasi Layanan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan dr Prima Yosephine mengatakan jumlah tersebut meningkat sebanyak 32 kali lipat dibanding 2021. Dari jumlah tersebut, sebanyak 55 daerah yang berada di 12 provinsi telah mengumumkan penyakit campak sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
“Namun, keadaan ini terjadi dalam satu tahun, ya. Bukan serentak. Kenapa bisa meningkat banyak? Karena dua tahun berturut-turut Kemenkes tidak bisa mencapai target untuk mencapai imunisasi rutin,” ujar Prima dalam konferensi pers Kemenkes, Jumat (20/1/2023).
Baca juga: Sambut Hari Imunisasi Sedunia, Ini Daftar Vaksin Penting Berdasarkan Usia Menurut CDC
data campak (Sumber gambar: Konferensi pers Kemenkes Jumat 20/1/2023)
Tidak tercapainya target imunisasi pada 2021-2021 telah meningkatkan jumlah kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), seperti campak di Indonesia. Sebagai informasi, suatu daerah bisa disebut mengalami KLB jika minimal ada dua kasus campak yang terkonfirmasi oleh laboratorium yang berhubungan dengan epidemiologi.
Prima menjelaskan kasus-kasus campak yang terjadi pada 2022 terjadi pada anak-anak yang sebagian besar tidak diimunisasi. Rinciannya ialah 58 persen pasien tidak diimunisasi, 7 persen sudah mendapatkan dua dosis atau lebih imuniasi campak rubela, 5 persen baru mendapatkan satu dosis imunisasi, dan 30 persen lainnya tidak diketahui status imunisasinya.
Pandangan Epidemiolog
Epidemiolog Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman mengatakan, dengan adanya 3.000-an kasus, sangat wajar sejumlah daerah di Indonesia mengeluarkan status KLB. Namun, melihat kasus ini sudah menyebar di banyak daerah, Dicky menilai seharusnya status KLB dinaikkan menjadi level nasional.Dicky menilai status KLB nasional sudah layak dipertimbangkan untuk diumumkan. Pernyataan ini menjadi penting untuk menimbulkan respons lebih cepat dari pemerintah.
Sebab, risiko campak tidak boleh disepelekan. Sebab, penularan penyakit ini cenderung bergerak cepat. Dari sepuluh anak yang belum imunisasi atau belum lengkap, sembilan bisa terkena campak.
Dicky menjelaskan anak-anak yang terkena campak juga akan berakibat buruk bagi kesehatannya. Sebab, anak-anak yang terkena campak bisa menurunkan imunitas dan berpotensi mengalami infeksi lain yang bisa membahayakan.
“Respons yang cepat menjadi penting menangani kasus ini. Sebab, kita kerap mengalami keterbatasan deteksi,” ujar Dicky kepada Hypeabis.id.
Dicky mengatakan fenomena KLB campak belakangan memang sering terjadi. Tidak hanya di Indonesia, beberapa negara maju bahkan masih mengalami KLB campak.
Banyak pihak menilai munculnya KLB campak karena adanya gerakan antivaksin yang belakangan makin berkembang. Adanya keraguan dan ketidakmampuan masyarakat untuk memvaksin anak membuat potensi risiko terkena campak meningkat.
Terlebih, dua tahun terakhir dunia mengalami pandemi Covid-19. Hal itu membuat penetrasi vaksin menjadi berkurang karena orang tua takut membawa anaknya vaksin. Akan tetapi, ada juga karena faktor pemerintahnya yang lambat.
“Semua ini berkontribusi terhadap terciptanya KLB campak atau penyakit lainnya. Situasi pandemi cukup berpengaruh karena pemerintah jadi fokus pada vaksinasi Covid-19 dan melupakan vaksin lain,” imbuhnya.
Baca juga: Imunisasi Sejak Kecil Bakal Terdata Lewat Digitalisasi Layanan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.