Nano Riantiarno dan Lakon yang Tak akan Henti
20 January 2023 |
15:00 WIB
"Bapak saya suka sekali mendengarkan wayang di radio. Dua cerita wayang yang sama, itu bisa diimajinasikan menjadi jalan cerita yang berbeda-beda dan itu membuat saya berpikir bahwa mereka sangat luar biasa dalam bercerita. Itu yang menjadi panutan saya ketika menulis.”
Begitu ungkapan Nano Riantiarno, pendiri Teater Koma, dalam film dokumenter bertajuk Catatan Tanpa Selesai garapan George Arief. Film dokumenter berdurasi 34 menit itu dibuat dalam rangka merayakan hari ulang tahun Teater Koma yang ke-44 tahun pada 1 Maret 2021.
Baca juga: Profil Nano Riantiarno, Sosok Dramawan yang Menjadi Legenda Teater di Indonesia
Lahir di Cirebon, Jawa Barat, pemilik nama lengkap Norbertus Riantiarno itu dikenal sebagai penulis naskah drama yang cukup produktif di Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya naskah yang sudah dipentaskan oleh Teater Koma, kurang lebih sekitar 150 lakon. Beberapa di antaranya Opera Kecoa, Sampek Engtay, Republik Togog, Sie Jin Kwie, dan Opera Julini.
Kebanyakan naskahnya terinspirasi dari kisah wayang dan refleksi kehidupan sosial-politik yang terjadi saat ini. Menurutnya, wayang merupakan kisah yang lengkap, di dalamnya bercerita tentang politik dan rezim juga persoalan karakter dan tingkah laku manusia. Singkatnya, kisah wayang merupakan sebuah refleksi kehidupan.
Sebagai seorang seniman, Nano merupakan sosok pekerja keras dan totalitas dalam berkarya. Ketika membuat sebuah naskah lakon, dia mengaku harus melakukan riset mendalam sampai-sampai tinggal untuk beberapa saat di satu tempat. Dia harus merasakan dan melihat secara langsung kehidupan di suatu tempat yang ingin dia angkat sebagai latar cerita pementasan.
Misalnya dalam membuat lakon Sampek Engtay. Nano berada di Anyer selama 2 minggu hanya untuk menulis. Apa yang dia tulis bukan hanya berdasarkan apa yang dia rasakan, tapi justru dia menulis apa yang terjadi di masyarakat.
“Intinya apa yang saya tangkap sebagai bahan cerita itu datangnya dari masyarakat, kemudian saya ambil dan saya berikan lagi kepada mereka di atas panggung. Apa yang ditangkap oleh penonton adalah bagian dari kehidupan mereka sendiri," jelasnya.
Semangat itu juga tampak pada program Teater Koma yang berusaha untuk mempertahankan eksistensinya sekalipun pada masa pandemi Covid-19. Peniadaan pentas teater di ruang-ruang pertunjukan kala itu membuat Teater Koma akhirnya bertransformasi ke dalam media digital dengan membuat sejumlah pementasan daring.
Seperti namanya, kelompok berkeyakinan bahwa teater bisa dibuat dengan cara apa saja, di mana saja, kapan saja, tanpa mengalah pada keadaan.
Sebagai seniman, Nano dapat menempatkan dirinya sebagai penulis sekaligus sutradara teater yang mampu membaca keinginan dan harapan penontonnya. Hal itu terbukti pada hampir setiap pementasan Teater Koma yang selalu dipadati penonton.
Selama sepertiga abad menekuni teater, perjalanan hidup Nano bagaikan lukisan mosaik penuh warna. Berkah dan kemalangan datang silih berganti. Di samping kerap berhasil memuaskan para penontonnya, beberapa pementasannya juga ada yang mengalami pencekalan pada masa rezim Orde Baru.
Pementasan Suksesi, misalnya, dilarang berlanjut setelah sebelas hari dipentaskan di Taman Ismail Marzuki pada Oktober 1990. Begitu pula dengan pementasan Opera Kecoa yang direncanakan berlangsung pada tanggal 27 November-7 Desember 1990.
Dengan adanya pelarangan itu, lakon tersebut juga batal dipentaskan di tiga kota di Jepang yakni Tokyo, Osaka, dan Fukuoda, yang semula direncanakan akan berlangsung pada tanggal 22 Februari-7 Maret 1991. Pencekalan itu tentu tak ada arti bagi spirit Teater Koma yang tak gentar untuk henti berkarya sekaligus menyuarakan kritik sosial.
Begitupun hari ini. Ketika Nano Riantiarno dipanggil ke haribaan Ilahi, Teater Koma tentu akan terus melanjutkan semangat sang pendiri. Membuat karya yang terus berkesinambungan, tidak pernah akan selesai, tidak pernah titik. Selamat jalan Nano Riantiarno.
Baca juga: Obituari Nano Riantiarno, Gerak yang Tak Pernah Selesai & Keberpihakannya Pada Masyarakat Kelas Bawah
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Begitu ungkapan Nano Riantiarno, pendiri Teater Koma, dalam film dokumenter bertajuk Catatan Tanpa Selesai garapan George Arief. Film dokumenter berdurasi 34 menit itu dibuat dalam rangka merayakan hari ulang tahun Teater Koma yang ke-44 tahun pada 1 Maret 2021.
Baca juga: Profil Nano Riantiarno, Sosok Dramawan yang Menjadi Legenda Teater di Indonesia
Lahir di Cirebon, Jawa Barat, pemilik nama lengkap Norbertus Riantiarno itu dikenal sebagai penulis naskah drama yang cukup produktif di Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya naskah yang sudah dipentaskan oleh Teater Koma, kurang lebih sekitar 150 lakon. Beberapa di antaranya Opera Kecoa, Sampek Engtay, Republik Togog, Sie Jin Kwie, dan Opera Julini.
Kebanyakan naskahnya terinspirasi dari kisah wayang dan refleksi kehidupan sosial-politik yang terjadi saat ini. Menurutnya, wayang merupakan kisah yang lengkap, di dalamnya bercerita tentang politik dan rezim juga persoalan karakter dan tingkah laku manusia. Singkatnya, kisah wayang merupakan sebuah refleksi kehidupan.
Sebagai seorang seniman, Nano merupakan sosok pekerja keras dan totalitas dalam berkarya. Ketika membuat sebuah naskah lakon, dia mengaku harus melakukan riset mendalam sampai-sampai tinggal untuk beberapa saat di satu tempat. Dia harus merasakan dan melihat secara langsung kehidupan di suatu tempat yang ingin dia angkat sebagai latar cerita pementasan.
Misalnya dalam membuat lakon Sampek Engtay. Nano berada di Anyer selama 2 minggu hanya untuk menulis. Apa yang dia tulis bukan hanya berdasarkan apa yang dia rasakan, tapi justru dia menulis apa yang terjadi di masyarakat.
“Intinya apa yang saya tangkap sebagai bahan cerita itu datangnya dari masyarakat, kemudian saya ambil dan saya berikan lagi kepada mereka di atas panggung. Apa yang ditangkap oleh penonton adalah bagian dari kehidupan mereka sendiri," jelasnya.
Nano Riantiarno dan sang istri, Ratna Riantiarno (Sumber gambar: Teater Koma)
Lakon yang Tak Henti
Ketika mendirikan Teater Koma, Nano mengatakan bahwa ada semacam mimpi untuk terus melakukan sesuatu. Sebuah keinginan untuk tidak berhenti, untuk tidak titik. Hal itu lah yang menjadi alasan mengapa kelompok ini dinamakan Koma, yang bisa diartikan tidak pernah berhenti.Semangat itu juga tampak pada program Teater Koma yang berusaha untuk mempertahankan eksistensinya sekalipun pada masa pandemi Covid-19. Peniadaan pentas teater di ruang-ruang pertunjukan kala itu membuat Teater Koma akhirnya bertransformasi ke dalam media digital dengan membuat sejumlah pementasan daring.
Seperti namanya, kelompok berkeyakinan bahwa teater bisa dibuat dengan cara apa saja, di mana saja, kapan saja, tanpa mengalah pada keadaan.
Sebagai seniman, Nano dapat menempatkan dirinya sebagai penulis sekaligus sutradara teater yang mampu membaca keinginan dan harapan penontonnya. Hal itu terbukti pada hampir setiap pementasan Teater Koma yang selalu dipadati penonton.
Selama sepertiga abad menekuni teater, perjalanan hidup Nano bagaikan lukisan mosaik penuh warna. Berkah dan kemalangan datang silih berganti. Di samping kerap berhasil memuaskan para penontonnya, beberapa pementasannya juga ada yang mengalami pencekalan pada masa rezim Orde Baru.
Pementasan Suksesi, misalnya, dilarang berlanjut setelah sebelas hari dipentaskan di Taman Ismail Marzuki pada Oktober 1990. Begitu pula dengan pementasan Opera Kecoa yang direncanakan berlangsung pada tanggal 27 November-7 Desember 1990.
Dengan adanya pelarangan itu, lakon tersebut juga batal dipentaskan di tiga kota di Jepang yakni Tokyo, Osaka, dan Fukuoda, yang semula direncanakan akan berlangsung pada tanggal 22 Februari-7 Maret 1991. Pencekalan itu tentu tak ada arti bagi spirit Teater Koma yang tak gentar untuk henti berkarya sekaligus menyuarakan kritik sosial.
Begitupun hari ini. Ketika Nano Riantiarno dipanggil ke haribaan Ilahi, Teater Koma tentu akan terus melanjutkan semangat sang pendiri. Membuat karya yang terus berkesinambungan, tidak pernah akan selesai, tidak pernah titik. Selamat jalan Nano Riantiarno.
Baca juga: Obituari Nano Riantiarno, Gerak yang Tak Pernah Selesai & Keberpihakannya Pada Masyarakat Kelas Bawah
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.