Pementasan lakon Mahabarata Asmara Raja Dewa oleh Teater Koma di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (16/11). Teater Koma menghidupkan kembali cerita klasik dewa dan pewayangan yang dikemas secara modern. Pentas ini juga menjadi pembuka bagi semesta lakon-lakon lainnya. (Sumber gambar: Bisnis)

Mengenang Nano Riantiarno, Gerak yang Tak Pernah Selesai & Keberpihakannya Pada Masyarakat Kelas Bawah

20 January 2023   |   12:28 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Nano Riantiarno dan Teater Koma adalah satu kesatuan, sebuah jeda yang tak pernah mengenal titik. Bahkan, jelang akhir hayatnya, begawan teater itu masih menyempatkan duduk di kursi roda bersama penonton dalam pertunjukan Roro Jonggrang pada 14 Oktober 2022 di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Kini, penggawa Teater Koma itu telah tiada. Norbertus Riantiarno, cempiang teater modern itu meninggal dunia akibat infeksi paru-paru pada umur 74 tahun. Tetapi, namanya akan tetap abadi, sebagaimana karya-karyanya akan terus menghiasi lanskap dunia perteateran di Indonesia.

Baca juga: Teater Koma, Sejarah & Kenangan Nano Riantiarno

Mas Nano, begitu biasa dia dipanggil merupakan dedengkot teater Indonesia yang mulai berkiprah di dunia seni saat masih duduk di bangku SMA pada 1965, di Cirebon. Setelah bergabung dengan Teater Populer pimpinan Teguh Karya, pada 1977, suami dari aktris Ratna Riantiarno ini akhirnya mendirikan grupnya sendiri yang bernama Teater Koma.

"Koma merupakan sebuah metafora yang mengartikan gerak berkelanjutan, tiada henti dan tak pernah mengenal titik. Inilah harapan yang disandang kala itu, memiliki nafas panjang dalam ruang kreatifitas dan terus berupaya menemukan hal-hal yang bermakna," papar Nano dalam buku Membaca Teater Koma 1997-2017.

Debut Teater Koma kemudian ditandai dengan pementasan Rumah Kertas di Teater Tertutup Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 3-5 Agustus 1977. Dari sinilah lambat laun Teater Koma mulai dikenal khalayak dan memiliki penonton setia. Bahkan dengan pementasan lakon yang kadang hampir satu bulan dengan bangku penonton selalu penuh.

Bukan tanpa alasan kenapa Teater Koma selalu memiliki tempat di hati penggemarnya. Selain menampilkan tontonan yang memikat, kelompok ini memang banyak menyandarkan dari konsep teater rakyat dan tradisi yang sudah akrab dikenali masyarakat. Alhasil mereka pun dengan mudah dapat menciptakan pasarnya sendiri.

"Terus terang, lewat Teater Koma saya hanya berupaya memberitahukan kembali kekayaan teater kita di masa lalu. Saya memungutnya dengan beberapa penyesuaian sehubungan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia di masa kini," imbuh Nano.


Masyarakat kelas Bawah Sebagai Sumber Inspirasi

Sejak awal berdiri, Teater Koma juga selalu mementaskan lakon-lakon yang memihak pada masyarakat kelas bawah. Yaitu dengan menggarap masalah gelandangan, pelacur, waria, hingga pencoleng. Hal ini dapat disimak dari karya-karya seperti , Bom Waktu (1982), Penggali Intan (2009), Opera Sembelit (1998), Semar Gugat (1995) dan masih banyak lagi.

Bagi Nano, mengapa masyarakat akar rumput adalah orang-orang yang dilupakan atau disingkirkan oleh penguasa. Terlebih pada Orde Baru, saat kebanyakan dari mereka tergusur dan hanya sekedar jadi kayu bakar pembangunan. Meski, dengan sikapnya tersebut tak jarang Teater Koma batal pentas akibat masalah perizinan.

Hal ini pun dapat dilihat dalam lakon Maaf. Maaf. Maaf (1978), Sampek Engtay (1989) yang batal pentas di Medan, Sumatera Utara. Kemudian Suksesi (1990) ,dan Opera Kecoa (1990) yang dilarang manggung di Jakarta, yang akibatnya lakon Opera Kecoa juga batal pentas di empat kota besar di Jepang.

"Pada dasarnya (masyarakat kelas bawah) yang dilupakan selalu merasa kesepian, tidak bahagia. Saya mencoba mengungkap rasa itu, meski saya sadar suara saya tidak lantang. Tapi tak apa, setidaknya saya sudah berbicara lewat panggung teater," papar Nano.

Kiprah dan karya-karya Nano Riantiarno memang terus akan abadi, layaknya nama kelompok teater yang sudah dia tancapkan dalam tonggak sejarah teater modern di Indonesia. Dia hanya pindah 'tempat' untuk bertemu pendekar teater lainnya yang telah mangkat. Selamat jalan Mas Nano. 

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Nirmala Aninda
 

SEBELUMNYA

Teater Koma, Sejarah & Kenangan Nano Riantiarno

BERIKUTNYA

Nano Riantiarno dan Lakon yang Tak akan Henti

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: