Tren Pakaian Seken Populer, Bisnis Thrift Shop Masih Menjanjikan
02 January 2023 |
14:00 WIB
1
Like
Like
Like
Tren membeli baju bekas atau lebih dikenal thrifting kini semakin pesat di Indonesia khususnya di kalangan anak muda. Hal itu ditandai dengan kian menjamurnya lapak baju bekas baik toko fisik maupun daring.
Ada beberapa alasan yang membuat banyak orang kini berminat untuk membeli pakaian bekas, mulai dari mencari pakaian bermerek (branded) dengan harga murah, mendapatkan fesyen yang unik, hingga alasan produk ramah lingkungan.
Menurut survei yang dilakukan GoodStats tentang preferensi gaya fesyen anak muda Indonesia, menyebutkan bahwa mayoritas responden atau sebanyak 49,4 persen responden mengaku pernah membeli fesyen bekas dari hasil thrifting.
Sementara sekitar 34,5 persen responden mengaku belum pernah mencoba thrifting, dan sisanya yakni sebanyak 16,1 persen memilih untuk tidak akan pernah mencoba barang hasil thrifting.
Baca juga: Hobi Jadi Cuan, Yuk Intip Keuntungan Bisnis Thrift Shop Online (4)
Nadya Senella Maldini, salah satu pemilik bisnis pakaian bekas dengan toko Supermart mengatakan tren bisnis pakaian bekas saat ini masih sangat menjanjikan lantaran thrifting kian populer di masyarakat.
Dia mengaku bisa menjual beragam pakaian bekas mulai dari jaket, sweater, rok, hingga knitwear sebanyak 100-300 pcs setiap bulannya. Harga yang ditawarkan pun bervariatif mulai dari Rp125.000-Rp175.000. Dari harga tersebut, dia bisa mendapatkan keuntungan 30 persen-80 persen per item pakaian.
"Sekarang bisnis pakaian bekas lumayan masih cukup besar, soalnya sekarang thrifting itu jadi tren dan kebutuhan banyak orang," katanya kepada Hypeabis.id.
Memulai bisnis sejak akhir 2018, Nadya mengatakan saat itu pelaku bisnis pakaian bekas masih terbilang jarang di Indonesia, sehingga dia pun bisa mendapatkan keuntungan maksimal dari hasil bisnis thrift.
Namun, seiring kepopuleran thrifting, pebisnis pakaian bekas saat ini kian menjamur. Kondisi ini pun membuat pertumbuhan bisnisnya berjalan secara fluktuatif, terlebih saat pandemi. "Waktu pandemi tahun 2020 itu bisa setengahnya [pendapatan] menurun," terangnya.
Diakui oleh Nadya, pandemi menjadi masa yang paling menantang dalam menjalankan bisnisnya. Pembatasan sosial yang berlaku membuatnya kesulitan mencari produk pakaian bekas di pasar kulakan.
Selain itu, kondisi tersebut juga memunculkan semacam ketakutan pada banyak orang untuk membeli pakaian bekas dengan alasan kebersihan dan kesehatan.
Nadya mengatakan secara garis besar, alasan konsumen membeli pakaian bekas yakni lantaran mencari baju stylish dengan model yang unik dan tidak pasaran. Alasan lainnya adalah bisa mendapatkan baju bermerek (branded) dengan harga yang relatif murah.
Permintaan konsumen terhadap model pakaian yang dicari pun berubah-ubah mengikuti tren atau musim yang ada. Misalnya memasuki musim hujan seperti saat ini, Nadya mengatakan konsumennya cenderung lebih mencari produk jaket. Hal ini membuat Supermart selalu menyediakan pakaian bekas sesuai dengan permintaan konsumen yang beragam.
Untuk mendapatkan pakaian bekas yang berkualitas, dia membelinya secara langsung di salah satu sentra pasar pakaian bekas di Bandung, Jawa Barat. Ada beberapa kriteria yang menjadi poin kurasi dalam memilih pakaian bekas mulai dari model yang unik, cocok dipakai semua orang, memilih bahan yang nyaman, hingga kondisi yang masih layak pakai.
"Kami fleksibel dan melihat pasar maunya apa. Jadi kualitasnya bener-bener aku kurasi sendiri. Enggak beli langsung satu bal," imbuhnya.
Sebelum sampai ke tangan konsumen, pakaian bekas tersebut lantas akan dicuci terlebih dahulu untuk membersihkan semua noda dan jamur yang menempel, yang dilanjutkan dengan proses setrika dan memberikan wewangian.
Dalam menentukan harga satu item pakaian, Nadya menjelaskan ada beberapa faktor yang menjadi bahan pertimbangan mulai dari tingkat kesulitan mendapatkan produk pakaian, biaya modal, hingga keperluan packaging.
Untuk menarik minat konsumen, dia pun rutin mengunggah katalog pakaian setiap satu minggu sekali di Instagram. Namun, untuk kebutuhan pembayaran dan pengiriman barang, Nadya menggunakan e-commerce untuk memudahkan transaksi.
"Selain iklan di Instagram, aku juga ngenalin barang-barang yang dijual di TikTok," ujarnya.
Menurutnya, potensi bisnis pakaian bekas ke depannya masih akan terus menjanjikan. Hanya saja, untuk menjalankan bisnis ini, diperlukan kejelian untuk membaca tren fesyen yang tengah digandrungi banyak orang serta konsisten untuk menawarkan produk fesyen yang berkualitas.
Baca juga: Thrifting Jadi Tren di Kalangan Remaja
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Ada beberapa alasan yang membuat banyak orang kini berminat untuk membeli pakaian bekas, mulai dari mencari pakaian bermerek (branded) dengan harga murah, mendapatkan fesyen yang unik, hingga alasan produk ramah lingkungan.
Menurut survei yang dilakukan GoodStats tentang preferensi gaya fesyen anak muda Indonesia, menyebutkan bahwa mayoritas responden atau sebanyak 49,4 persen responden mengaku pernah membeli fesyen bekas dari hasil thrifting.
Sementara sekitar 34,5 persen responden mengaku belum pernah mencoba thrifting, dan sisanya yakni sebanyak 16,1 persen memilih untuk tidak akan pernah mencoba barang hasil thrifting.
Baca juga: Hobi Jadi Cuan, Yuk Intip Keuntungan Bisnis Thrift Shop Online (4)
Nadya Senella Maldini, salah satu pemilik bisnis pakaian bekas dengan toko Supermart mengatakan tren bisnis pakaian bekas saat ini masih sangat menjanjikan lantaran thrifting kian populer di masyarakat.
Dia mengaku bisa menjual beragam pakaian bekas mulai dari jaket, sweater, rok, hingga knitwear sebanyak 100-300 pcs setiap bulannya. Harga yang ditawarkan pun bervariatif mulai dari Rp125.000-Rp175.000. Dari harga tersebut, dia bisa mendapatkan keuntungan 30 persen-80 persen per item pakaian.
"Sekarang bisnis pakaian bekas lumayan masih cukup besar, soalnya sekarang thrifting itu jadi tren dan kebutuhan banyak orang," katanya kepada Hypeabis.id.
Memulai bisnis sejak akhir 2018, Nadya mengatakan saat itu pelaku bisnis pakaian bekas masih terbilang jarang di Indonesia, sehingga dia pun bisa mendapatkan keuntungan maksimal dari hasil bisnis thrift.
Namun, seiring kepopuleran thrifting, pebisnis pakaian bekas saat ini kian menjamur. Kondisi ini pun membuat pertumbuhan bisnisnya berjalan secara fluktuatif, terlebih saat pandemi. "Waktu pandemi tahun 2020 itu bisa setengahnya [pendapatan] menurun," terangnya.
Diakui oleh Nadya, pandemi menjadi masa yang paling menantang dalam menjalankan bisnisnya. Pembatasan sosial yang berlaku membuatnya kesulitan mencari produk pakaian bekas di pasar kulakan.
Selain itu, kondisi tersebut juga memunculkan semacam ketakutan pada banyak orang untuk membeli pakaian bekas dengan alasan kebersihan dan kesehatan.
Nadya mengatakan secara garis besar, alasan konsumen membeli pakaian bekas yakni lantaran mencari baju stylish dengan model yang unik dan tidak pasaran. Alasan lainnya adalah bisa mendapatkan baju bermerek (branded) dengan harga yang relatif murah.
Permintaan konsumen terhadap model pakaian yang dicari pun berubah-ubah mengikuti tren atau musim yang ada. Misalnya memasuki musim hujan seperti saat ini, Nadya mengatakan konsumennya cenderung lebih mencari produk jaket. Hal ini membuat Supermart selalu menyediakan pakaian bekas sesuai dengan permintaan konsumen yang beragam.
Untuk mendapatkan pakaian bekas yang berkualitas, dia membelinya secara langsung di salah satu sentra pasar pakaian bekas di Bandung, Jawa Barat. Ada beberapa kriteria yang menjadi poin kurasi dalam memilih pakaian bekas mulai dari model yang unik, cocok dipakai semua orang, memilih bahan yang nyaman, hingga kondisi yang masih layak pakai.
"Kami fleksibel dan melihat pasar maunya apa. Jadi kualitasnya bener-bener aku kurasi sendiri. Enggak beli langsung satu bal," imbuhnya.
Sebelum sampai ke tangan konsumen, pakaian bekas tersebut lantas akan dicuci terlebih dahulu untuk membersihkan semua noda dan jamur yang menempel, yang dilanjutkan dengan proses setrika dan memberikan wewangian.
Dalam menentukan harga satu item pakaian, Nadya menjelaskan ada beberapa faktor yang menjadi bahan pertimbangan mulai dari tingkat kesulitan mendapatkan produk pakaian, biaya modal, hingga keperluan packaging.
Untuk menarik minat konsumen, dia pun rutin mengunggah katalog pakaian setiap satu minggu sekali di Instagram. Namun, untuk kebutuhan pembayaran dan pengiriman barang, Nadya menggunakan e-commerce untuk memudahkan transaksi.
"Selain iklan di Instagram, aku juga ngenalin barang-barang yang dijual di TikTok," ujarnya.
Menurutnya, potensi bisnis pakaian bekas ke depannya masih akan terus menjanjikan. Hanya saja, untuk menjalankan bisnis ini, diperlukan kejelian untuk membaca tren fesyen yang tengah digandrungi banyak orang serta konsisten untuk menawarkan produk fesyen yang berkualitas.
Baca juga: Thrifting Jadi Tren di Kalangan Remaja
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.