Tarif Impor AS Naik Gara-Gara Kebijakan Trump, UMKM Muda Saatnya Ekspansi Pasar
08 April 2025 |
08:30 WIB
Daripada panik dan menyerah menghadapi kebijakan baru Amerika Serikat, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) justru perlu cermat bersiasat. Tujuannya? Agar produk ekspor tetap bisa menembus pasar Negeri Paman Sam meskipun harus dijual dengan harga yang lebih tinggi akibat tarif baru.
Seperti diketahui, Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang kembali terpilih untuk masa jabatan keduanya, baru-baru ini memberikan "kejutan" berupa kenaikan tarif impor untuk sejumlah negara, termasuk Indonesia. Besaran tarifnya bervariasi, dari 10 hingga 73 persen, dan Indonesia dikenakan tarif sebesar 32 persen.
Baca juga: Drama Perang Dagang Kian Panas, Ini Istilah yang Perlu Genhype Ketahui
Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Edy Misero, mengakui bahwa angka tersebut cukup besar. Namun, menurutnya, itu adalah keputusan sepenuhnya dari pemerintah Amerika dan sudah semestinya tidak membuat para pelaku UMKM ciut nyali.
“Hal yang paling penting adalah jangan panik. Itu sudah terjadi dan memang menjadi hak mereka untuk menetapkan tarif tersebut,” ujar Edy kepada Hypeabis.id.
Edy menekankan bahwa langkah terbaik adalah memperkuat daya saing produk lokal. UMKM harus mampu menciptakan barang berkualitas tinggi yang tetap menarik konsumen, meski dijual dengan harga lebih mahal. Apalagi, tarif tinggi ini bukan hanya diberlakukan untuk Indonesia, tapi juga untuk negara lain seperti China.
“Amerika sedang berusaha melindungi pasar dalam negerinya, agar produk buatan mereka lebih laku. Jadi kita harus bisa bersaing secara sehat,” jelasnya.
Edy menekankan, produk UMKM yang diekspor ke Amerika Serikat harus benar-benar memiliki ciri khas yang tak mudah ditiru negara lain, serta relevan dengan kebutuhan konsumen di sana. Bila sebuah produk sudah menjadi bagian dari kebutuhan rutin, maka kenaikan harga akibat tarif impor pun tidak serta-merta memutus permintaan.
Selain mengasah daya saing produk, pelaku UMKM juga disarankan untuk tidak terpaku pada pasar Amerika saja. Saat ini, produk-produk Indonesia sudah mulai dilirik pasar global berkat kekayaan budaya, kualitas pengerjaan, hingga nilai tambah seperti sertifikasi halal yang dibutuhkan di negara-negara seperti Arab Saudi dan kawasan Timur Tengah.
Pasar-pasar seperti ini, kata Edy, bisa dimanfaatkan secara maksimal sebagai alternatif ekspor. Apalagi, produk bersertifikasi halal memiliki daya saing kuat dan memenuhi preferensi konsumen di kawasan tersebut.
Selain ekspor, pelaku usaha juga perlu memandang pasar dalam negeri sebagai peluang besar. Dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 280 juta jiwa, Indonesia menawarkan potensi pasar yang luar biasa. Edy pun mendorong pelaku UMKM untuk lebih aktif menggarap pasar lokal dan mengoptimalkan penjualan di dalam negeri.
“Pasar kita ini sangat besar, jangan sampai justru kita abaikan. Mari kita dorong agar produk-produk UMKM kita bisa lebih banyak dijual di dalam negeri juga,” ujarnya.
Dalam situasi seperti ini, menurutnya, penting juga bagi konsumen untuk turut mendukung pelaku UMKM dengan memilih produk lokal. Ia menegaskan, kualitas barang buatan pelaku usaha kecil dan menengah saat ini sudah jauh meningkat dan bisa bersaing dengan produk impor.
Namun, agar UMKM bisa benar-benar bersaing, Edy menilai pemerintah perlu menciptakan kondisi pasar yang adil. Salah satunya dengan meninjau kembali tarif impor untuk produk dari negara lain, seperti China, yang harganya sangat murah di pasar domestik.
“Kalau produk dari China dikenakan sedikit penyesuaian tarif, mungkin harga jual mereka bisa bersaing secara lebih setara dengan produk lokal kita,” katanya.
Saat ini, kontribusi produk UMKM Indonesia ke pasar Amerika Serikat masih di bawah 20 persen. Artinya, masih ada banyak ruang yang bisa diisi jika pelaku usaha mampu membaca peluang dan memperkuat nilai jual produknya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO), Dedy Rochimat, menyampaikan bahwa kebijakan Presiden Donald Trump soal tarif impor perlu disikapi secara tenang dan strategis. Menurutnya, langkah antisipasi perlu segera dirancang bersama oleh para pemangku kepentingan.
Salah satu usulannya adalah melakukan penyesuaian terhadap sejumlah tarif impor barang dari Amerika Serikat—tentu saja dengan memperhitungkan dampak yang mungkin timbul terhadap hubungan dagang kedua negara.
“Penyesuaian harus dilakukan hati-hati, agar dampaknya tetap minimal dan tidak sampai merusak hubungan bilateral kita dengan Amerika Serikat,” jelas Dedy dalam keterangan pers.
Dedy juga menyoroti pentingnya membuka pasar-pasar ekspor non-tradisional. Pemerintah, katanya, sudah mulai menjajaki hal ini dalam beberapa tahun terakhir, dan inisiatif tersebut kini harus diperkuat sebagai respons terhadap menurunnya peluang ekspor ke AS.
Menurutnya, diplomasi ekonomi juga perlu lebih agresif untuk mengurangi hambatan perdagangan, sehingga ekspor Indonesia bisa tetap tumbuh, atau bahkan meningkat, di tengah kebijakan baru yang lebih proteksionis dari negara tujuan utama ekspor.
Lebih lanjut, ia menegaskan pentingnya optimalisasi pasar dalam negeri, terutama melalui peningkatan belanja pemerintah untuk produk lokal. Hal ini bisa menjadi akselerator penting untuk pertumbuhan sektor industri dalam negeri.
“Belanja pemerintah terhadap produk dalam negeri perlu didorong, misalnya lewat realokasi anggaran, supaya industri kita tetap bergerak,” ujarnya.
Dampak dari kebijakan tarif impor Amerika terhadap industri mebel nasional memang tidak main-main. Dari total nilai ekspor mebel Indonesia yang mencapai US$2,2 miliar, sekitar 60 persen ditujukan ke pasar Amerika Serikat. Maka, tekanan terhadap sektor ini sangat terasa.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2025 juga memperlihatkan hal yang serupa. Ekspor nonmigas Indonesia terbesar saat ini ditujukan ke China sebesar US$4,29 miliar, sementara Amerika Serikat ada di urutan kedua dengan US$2,35 miliar.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Seperti diketahui, Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang kembali terpilih untuk masa jabatan keduanya, baru-baru ini memberikan "kejutan" berupa kenaikan tarif impor untuk sejumlah negara, termasuk Indonesia. Besaran tarifnya bervariasi, dari 10 hingga 73 persen, dan Indonesia dikenakan tarif sebesar 32 persen.
Baca juga: Drama Perang Dagang Kian Panas, Ini Istilah yang Perlu Genhype Ketahui
Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Edy Misero, mengakui bahwa angka tersebut cukup besar. Namun, menurutnya, itu adalah keputusan sepenuhnya dari pemerintah Amerika dan sudah semestinya tidak membuat para pelaku UMKM ciut nyali.
“Hal yang paling penting adalah jangan panik. Itu sudah terjadi dan memang menjadi hak mereka untuk menetapkan tarif tersebut,” ujar Edy kepada Hypeabis.id.
Edy menekankan bahwa langkah terbaik adalah memperkuat daya saing produk lokal. UMKM harus mampu menciptakan barang berkualitas tinggi yang tetap menarik konsumen, meski dijual dengan harga lebih mahal. Apalagi, tarif tinggi ini bukan hanya diberlakukan untuk Indonesia, tapi juga untuk negara lain seperti China.
“Amerika sedang berusaha melindungi pasar dalam negerinya, agar produk buatan mereka lebih laku. Jadi kita harus bisa bersaing secara sehat,” jelasnya.
Edy menekankan, produk UMKM yang diekspor ke Amerika Serikat harus benar-benar memiliki ciri khas yang tak mudah ditiru negara lain, serta relevan dengan kebutuhan konsumen di sana. Bila sebuah produk sudah menjadi bagian dari kebutuhan rutin, maka kenaikan harga akibat tarif impor pun tidak serta-merta memutus permintaan.
Selain mengasah daya saing produk, pelaku UMKM juga disarankan untuk tidak terpaku pada pasar Amerika saja. Saat ini, produk-produk Indonesia sudah mulai dilirik pasar global berkat kekayaan budaya, kualitas pengerjaan, hingga nilai tambah seperti sertifikasi halal yang dibutuhkan di negara-negara seperti Arab Saudi dan kawasan Timur Tengah.
Pasar-pasar seperti ini, kata Edy, bisa dimanfaatkan secara maksimal sebagai alternatif ekspor. Apalagi, produk bersertifikasi halal memiliki daya saing kuat dan memenuhi preferensi konsumen di kawasan tersebut.
Selain ekspor, pelaku usaha juga perlu memandang pasar dalam negeri sebagai peluang besar. Dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 280 juta jiwa, Indonesia menawarkan potensi pasar yang luar biasa. Edy pun mendorong pelaku UMKM untuk lebih aktif menggarap pasar lokal dan mengoptimalkan penjualan di dalam negeri.
“Pasar kita ini sangat besar, jangan sampai justru kita abaikan. Mari kita dorong agar produk-produk UMKM kita bisa lebih banyak dijual di dalam negeri juga,” ujarnya.
Dalam situasi seperti ini, menurutnya, penting juga bagi konsumen untuk turut mendukung pelaku UMKM dengan memilih produk lokal. Ia menegaskan, kualitas barang buatan pelaku usaha kecil dan menengah saat ini sudah jauh meningkat dan bisa bersaing dengan produk impor.
Namun, agar UMKM bisa benar-benar bersaing, Edy menilai pemerintah perlu menciptakan kondisi pasar yang adil. Salah satunya dengan meninjau kembali tarif impor untuk produk dari negara lain, seperti China, yang harganya sangat murah di pasar domestik.
“Kalau produk dari China dikenakan sedikit penyesuaian tarif, mungkin harga jual mereka bisa bersaing secara lebih setara dengan produk lokal kita,” katanya.
Saat ini, kontribusi produk UMKM Indonesia ke pasar Amerika Serikat masih di bawah 20 persen. Artinya, masih ada banyak ruang yang bisa diisi jika pelaku usaha mampu membaca peluang dan memperkuat nilai jual produknya.
Langkah Strategis
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO), Dedy Rochimat, menyampaikan bahwa kebijakan Presiden Donald Trump soal tarif impor perlu disikapi secara tenang dan strategis. Menurutnya, langkah antisipasi perlu segera dirancang bersama oleh para pemangku kepentingan.Salah satu usulannya adalah melakukan penyesuaian terhadap sejumlah tarif impor barang dari Amerika Serikat—tentu saja dengan memperhitungkan dampak yang mungkin timbul terhadap hubungan dagang kedua negara.
“Penyesuaian harus dilakukan hati-hati, agar dampaknya tetap minimal dan tidak sampai merusak hubungan bilateral kita dengan Amerika Serikat,” jelas Dedy dalam keterangan pers.
Dedy juga menyoroti pentingnya membuka pasar-pasar ekspor non-tradisional. Pemerintah, katanya, sudah mulai menjajaki hal ini dalam beberapa tahun terakhir, dan inisiatif tersebut kini harus diperkuat sebagai respons terhadap menurunnya peluang ekspor ke AS.
Menurutnya, diplomasi ekonomi juga perlu lebih agresif untuk mengurangi hambatan perdagangan, sehingga ekspor Indonesia bisa tetap tumbuh, atau bahkan meningkat, di tengah kebijakan baru yang lebih proteksionis dari negara tujuan utama ekspor.
Lebih lanjut, ia menegaskan pentingnya optimalisasi pasar dalam negeri, terutama melalui peningkatan belanja pemerintah untuk produk lokal. Hal ini bisa menjadi akselerator penting untuk pertumbuhan sektor industri dalam negeri.
“Belanja pemerintah terhadap produk dalam negeri perlu didorong, misalnya lewat realokasi anggaran, supaya industri kita tetap bergerak,” ujarnya.
Dampak dari kebijakan tarif impor Amerika terhadap industri mebel nasional memang tidak main-main. Dari total nilai ekspor mebel Indonesia yang mencapai US$2,2 miliar, sekitar 60 persen ditujukan ke pasar Amerika Serikat. Maka, tekanan terhadap sektor ini sangat terasa.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2025 juga memperlihatkan hal yang serupa. Ekspor nonmigas Indonesia terbesar saat ini ditujukan ke China sebesar US$4,29 miliar, sementara Amerika Serikat ada di urutan kedua dengan US$2,35 miliar.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.