Hypereport: Tantangan Seniman & Desainer pada Era AI, Akankah Posisi Mereka Tergantikan?
31 December 2022 |
18:18 WIB
1
Like
Like
Like
Belakangan ini tren Artificial Intelligence (AI) banyak dibicarakan publik. Seiring majunya teknologi kecerdasan buatan memang telah merambah berbagai sektor kreatif, mulai dari musik, film, hingga skena seni rupa di berbagai negara dunia, termasuk Indonesia.
Kehadiran AI art yang berbasis algoritma mesin disebut juga akan menggantikan posisi para seniman. Bahkan, belum lama ini sebuah penghargaan seni tahunan, Colorado State Fair berhasil dimenangkan pekerja kreatif yang memanfaatkan kecerdasan buatan bernama Midjourney.
Tak ayal, kemenangan tersebut memantik diskursus besar dalam dunia seni visual, khususnya di kalangan seniman. Sebagian menanggapinya dengan positif bahwa AI dapat bermanfaat bagi mereka, tapi ada juga yang merasa gerah, karena disinyalir dapat mematikan sektor pekerja kreatif.
Baca juga laporan terkait:
Hypereport: Berbagi Ruang antara AI dan Arsitek
Hypereport: Menilik Tantangan Penulis di Tengah Kemajuan Teknologi AI
Hypereport: Menengok Potensi Teknologi AI di Industri Perfilman
Kiwari, penggunaan teknologi AI memang marak digunakan dalam berbagai aplikasi. Beberapa di antaranya Chat GPT untuk penyusunan artikel, Dall-E untuk membuat gambar digital, hingga aplikasi komersil Lensa dari Prisma Labs. Lantas, apakah kecerdasan buatan bakal menyingkirkan peran pekerja kreatif di masa depan?
Rizky Kamil, desainer grafis yang berbasis di Yogyakarta justru melihat tren AI sebagai peluang untuk terus mengaktualisasikan dirinya dalam berekspresi. Fenomena AI art baginya adalah keniscayaan di tengah perkembangan teknologi yang kian pesat.
Menurut mahasiswa semester akhir Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu, tren AI bukan fenomena baru, melainkan tools atau alat yang terus dikembangkan kinerjanya untuk memudahkan seniman dalam berkarya.
"Jadi ini tuh kaya tools aja ya yang memudahkan kerja kita lebih mudah, ya gua sebagai desainer malah melihatnya sebagai peluang karena memudahkan kita dalam berkarya. Jadi cuma sebagai alat pendukung," papar Kamil saat dihubungi Hypeabis.id.
Terkait orisinalitas karya dari AI art, ungkap Kamil, daya kreatif senimanlah yang dapat dijadikan tolok ukur. Sebab orang yang sekedar menggunakan AI biasanya hanya menyajikan karya seni secara mentah. Ini akan berbeda jika dibuat oleh desainer profesional yang mengolahnya dengan tools lain.
"Daya kreatiflah yang membuat sesuatu jadi original. Kalau yang kamu buat bisa diciptakan orang lain, bahkan orang yang tidak profesional, lantas dimana letak orisinalitasnya," imbuh Kamil.
Adapun, saat ditanya apakah AI Art akan menggantikan pekerja kreatif, menurutnya hal itu tergantung dari personal masing-masing seniman. "Bagi yang mengikuti perkembangan zaman tentu tidak akan mudah dilibas oleh AI, tapi bagi yang tidak, sudah pasti mereka akan tertinggal," jelasnya.
Silang pendapat mengenai AI memang masih terjadi di antar pekerja sektor kreatif. Ardhi, desainer grafis dari Jakarta mengatakan meski teknologi AI juga bisa jadi hal positif, akan tetapi memiliki kekurangan dari tataran etika, dimana ada banyak ide desain yang diambil tanpa izin sehingga merugikan seniman lain.
"Untuk masalah orisinalitas karya, karena AI kebanyakan mengambil referensi dari karya yang sudah ada lalu mengkombinasikannya jadi karya batu, maka masih belum bisa terlihat orisinalitasnya. Tapi tidak menutup kemungkinan kedepannya AI bisa lebih maju lagi," papar Ardhi.
Kendati begitu dia sepakat dengan Kamil mengenai kemungkinan teknologi tersebut akan menggantikan posisi manusia, khusunya pekerja kreatif. Secara tandas dia mengungkap bahwa AI tidak akan menggantikan posisi mereka.
"Menurut saya AI untuk saat ini belum bisa menggantikan designer dan seniman digital, karena seni yang dihasilkan AI masih belum memiliki jiwa alias tidak adanya ekspsresi seni yang digambarkan dari AI itu sendiri," pungkas Ardhi.
Baca juga: Mahir Melukis Memanfaatkan Kecerdasan Buatan dengan Dall-E
Seniman Andry Boy Kurniawan juga turut buka suara terkait viralnya AI art. Akan tetapi dia mengungkap secanggih apapun teknologi AI dalam membuat gambar, hasilnya tetap 'kering'. Sebab visual yang dihasilkan hanya berdasar algoritma mesin, alih-alih emosi laiknya dibuat manusia. Termasuk lukisan yang dibuat secara manual dengan menggunakan medium cat hingga kuas.
"Yang tidak bisa dilakukan kecerdasan buatan adalah [mengolah] emosi. Sebab seberapa canggih karya yang dihasilkan oleh AI art tidak akan bisa mengolah situasi unik dari sisi emosional artis untuk mencipta," papar Andry.
Namun, fenomena AI di khalayak umum menurut Andry justru dibutuhkan. Sebab lewat tren tersebut setidaknya dapat memantik serta menyadarkan para seniman untuk keluar dari zona nyaman dalam mengaktualisasikan diri di tengah zaman yang terus bergerak.
"Kalau dari segi orisinalitas, pada hakikatnya seniman mencipta itu memang punya unsur plagiarisme, baik terselubung atau tidak. Semua bergantung dari cara pengolahan sisi artistiknya saja" tandas Andry.
Setali tiga uang, ilustrator Tommy Prasetyo juga melihat tren AI sebagai fenoma yang unik. Viralnya teknologi tersebut di khalayak umum menurutnya justru malah bisa dijadikan sebagai wahana baru untuk memperkenalkan khasanah seni bagi masyarakat di Indonesia.
"Ini kalau aku melihatnya malah jadi tempat belajar bagi orang yang ingin mengenal kesenian. Jadi dimulai dari hal-hal yang mudah, baru mereka nanti bisa lebih serius untuk mendalami karya mengenai seni rupa," papar perupa yang karib disapa Tombol itu.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Kehadiran AI art yang berbasis algoritma mesin disebut juga akan menggantikan posisi para seniman. Bahkan, belum lama ini sebuah penghargaan seni tahunan, Colorado State Fair berhasil dimenangkan pekerja kreatif yang memanfaatkan kecerdasan buatan bernama Midjourney.
Tak ayal, kemenangan tersebut memantik diskursus besar dalam dunia seni visual, khususnya di kalangan seniman. Sebagian menanggapinya dengan positif bahwa AI dapat bermanfaat bagi mereka, tapi ada juga yang merasa gerah, karena disinyalir dapat mematikan sektor pekerja kreatif.
Baca juga laporan terkait:
Hypereport: Berbagi Ruang antara AI dan Arsitek
Hypereport: Menilik Tantangan Penulis di Tengah Kemajuan Teknologi AI
Hypereport: Menengok Potensi Teknologi AI di Industri Perfilman
Kiwari, penggunaan teknologi AI memang marak digunakan dalam berbagai aplikasi. Beberapa di antaranya Chat GPT untuk penyusunan artikel, Dall-E untuk membuat gambar digital, hingga aplikasi komersil Lensa dari Prisma Labs. Lantas, apakah kecerdasan buatan bakal menyingkirkan peran pekerja kreatif di masa depan?
Rizky Kamil, desainer grafis yang berbasis di Yogyakarta justru melihat tren AI sebagai peluang untuk terus mengaktualisasikan dirinya dalam berekspresi. Fenomena AI art baginya adalah keniscayaan di tengah perkembangan teknologi yang kian pesat.
Menurut mahasiswa semester akhir Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu, tren AI bukan fenomena baru, melainkan tools atau alat yang terus dikembangkan kinerjanya untuk memudahkan seniman dalam berkarya.
"Jadi ini tuh kaya tools aja ya yang memudahkan kerja kita lebih mudah, ya gua sebagai desainer malah melihatnya sebagai peluang karena memudahkan kita dalam berkarya. Jadi cuma sebagai alat pendukung," papar Kamil saat dihubungi Hypeabis.id.
Terkait orisinalitas karya dari AI art, ungkap Kamil, daya kreatif senimanlah yang dapat dijadikan tolok ukur. Sebab orang yang sekedar menggunakan AI biasanya hanya menyajikan karya seni secara mentah. Ini akan berbeda jika dibuat oleh desainer profesional yang mengolahnya dengan tools lain.
"Daya kreatiflah yang membuat sesuatu jadi original. Kalau yang kamu buat bisa diciptakan orang lain, bahkan orang yang tidak profesional, lantas dimana letak orisinalitasnya," imbuh Kamil.
Adapun, saat ditanya apakah AI Art akan menggantikan pekerja kreatif, menurutnya hal itu tergantung dari personal masing-masing seniman. "Bagi yang mengikuti perkembangan zaman tentu tidak akan mudah dilibas oleh AI, tapi bagi yang tidak, sudah pasti mereka akan tertinggal," jelasnya.
Silang pendapat mengenai AI memang masih terjadi di antar pekerja sektor kreatif. Ardhi, desainer grafis dari Jakarta mengatakan meski teknologi AI juga bisa jadi hal positif, akan tetapi memiliki kekurangan dari tataran etika, dimana ada banyak ide desain yang diambil tanpa izin sehingga merugikan seniman lain.
"Untuk masalah orisinalitas karya, karena AI kebanyakan mengambil referensi dari karya yang sudah ada lalu mengkombinasikannya jadi karya batu, maka masih belum bisa terlihat orisinalitasnya. Tapi tidak menutup kemungkinan kedepannya AI bisa lebih maju lagi," papar Ardhi.
Kendati begitu dia sepakat dengan Kamil mengenai kemungkinan teknologi tersebut akan menggantikan posisi manusia, khusunya pekerja kreatif. Secara tandas dia mengungkap bahwa AI tidak akan menggantikan posisi mereka.
"Menurut saya AI untuk saat ini belum bisa menggantikan designer dan seniman digital, karena seni yang dihasilkan AI masih belum memiliki jiwa alias tidak adanya ekspsresi seni yang digambarkan dari AI itu sendiri," pungkas Ardhi.
Baca juga: Mahir Melukis Memanfaatkan Kecerdasan Buatan dengan Dall-E
Teknologi AI Tidak Bisa Mengolah Emosi
Seniman Andry Boy Kurniawan juga turut buka suara terkait viralnya AI art. Akan tetapi dia mengungkap secanggih apapun teknologi AI dalam membuat gambar, hasilnya tetap 'kering'. Sebab visual yang dihasilkan hanya berdasar algoritma mesin, alih-alih emosi laiknya dibuat manusia. Termasuk lukisan yang dibuat secara manual dengan menggunakan medium cat hingga kuas.Jason Allen dan salah satu karyanya (Sumber gambar: Instagram/Jason Allen
"Yang tidak bisa dilakukan kecerdasan buatan adalah [mengolah] emosi. Sebab seberapa canggih karya yang dihasilkan oleh AI art tidak akan bisa mengolah situasi unik dari sisi emosional artis untuk mencipta," papar Andry.
Namun, fenomena AI di khalayak umum menurut Andry justru dibutuhkan. Sebab lewat tren tersebut setidaknya dapat memantik serta menyadarkan para seniman untuk keluar dari zona nyaman dalam mengaktualisasikan diri di tengah zaman yang terus bergerak.
"Kalau dari segi orisinalitas, pada hakikatnya seniman mencipta itu memang punya unsur plagiarisme, baik terselubung atau tidak. Semua bergantung dari cara pengolahan sisi artistiknya saja" tandas Andry.
Setali tiga uang, ilustrator Tommy Prasetyo juga melihat tren AI sebagai fenoma yang unik. Viralnya teknologi tersebut di khalayak umum menurutnya justru malah bisa dijadikan sebagai wahana baru untuk memperkenalkan khasanah seni bagi masyarakat di Indonesia.
"Ini kalau aku melihatnya malah jadi tempat belajar bagi orang yang ingin mengenal kesenian. Jadi dimulai dari hal-hal yang mudah, baru mereka nanti bisa lebih serius untuk mendalami karya mengenai seni rupa," papar perupa yang karib disapa Tombol itu.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.