Merefleksikan Semangat Pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana dalam Memorial Lecture
07 December 2022 |
07:09 WIB
Nama Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dalam lanskap kebudayaan adalah pejuang tata bahasa sekaligus tokoh intelektual pada masanya. Sastrawan angkatan Pujangga Baru itu juga dikenal lewat peristiwa polemik kebudayaan pada 1935 yang terjadi jauh sebelum Indonesia merdeka.
Buah polemik antara Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Purbatjaraka, dan Ki Hajar Dewantara dalam membangun bangsa itu hingga kini juga terus dirawat oleh cendekiawan Tanah Air. Salah satunya lewat Memorial Lecture yang tiap tahunnya diselengagarakan oleh Akademi Jakarta.
Ketua Akademi Jakarta, Seno Gumira Ajidarma memaparkan, sejak polemik kebudayaan pecah pada 1935, hingga saat ini polemik tersebut terus ada dan tumbuh, sebab berbagai pemikiran mengenai kebudayaan Indonesia juga terus berjalan, bahkan kian beragam.
"Dapatlah kita andaikan bahwa polemik kebudayaan itu tidak pernah berhenti, bahkan hingga saat ini 87 tahun kemudian. Tentunya dengan segenap paradigma yang lewat wacananya masing-masing memberi pendekatan baru," papar Seno dalam sambutannya pada Selasa, (6/12/22) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Baca juga: Serial Monolog Di Tepi Sejarah, Bawa Kisah 5 Tokoh Penting Bangsa Lebih Personal
Adapun, semangat melanggengkan gagasan Sutan Takdir Alisjahbana tahun ini diisi oleh Iwan Pranoto, dari Institut Teknologi Bandung. Dalam kuliah kenangan tersebut Guru Besar Matematika itu membawakan naskah berjudul Kesalingterhubungan Pemikiran untuk kembali memantik pemikiran khalayak.
Dalam pemaparannya, Iwan Pranoto mengulas mengenai problematika kiwari yang jika dicermati secara serius akan mengacu pada kehidupan yang telah terkotak-kotakan. Hal itu menurutnya jika tidak disikapi dengan kritis akan memunculkan tantangan yang lebih pelik di masa depan.
"Dengan semakin terhubungnya dunia manusia dengan mesin, semesta pemikiran hari ini sedang memanen rentetan pertanyaan besar. Untuk menyelesaikannya maka dibutuhkan sikap kritis terhadap sains, teknologi, ilmu kemanusiaan, dan disiplin dari cabang ilmu lain," papar Iwan.
Oleh Kerena itu, dia mengamanatkan pentingnya membuka lagi pemikiran yang beragam sebagai kecakapan dasar utama untuk terus diajarkan di kelas. Melalui cara itulah menurutnya problem-problem tersebut bisa diurai agar dapat menjawab berbagai tantangan yang ada di kemudian hari.
"Sistem pendidikan nasional hari ini perlu serius dalam meletakkan kecakapan berpikir sebagai hal utama untuk dibelajarkan. Selain itu strategi pembangunan dan pendidikan juga dituntut untuk setegas dan selugas saat Takdir mendiagnosis 'penyakit' sekaligus memberikan resep obatnya," jelas Iwan.
Sekedar informasi, Sutan Takdir Alisjahbana Memorial Lecture adalah sebuah forum refleksi tentang soal-soal kemanusiaan dan kebangsaan yang diselenggarakan oleh Akademi Jakarta tiap tahunnya dengan mengundang berbagai tokoh cendekiawan di Tanah Air.
Diadakanya forum tersebut bertujuan untuk menghidupkan semangat dan cita-cita STA, ketua pertama Akademi Jakarta, yang mengatakan bahwa keterbukaan Indonesia sebagai bangsa adalah mutlak demi kemajuan, sebagaimana tercermin dengan sikapnya dalam Polemik Kebudayaan pada 1935.
Baca juga: Film Dokumenter Tokoh Seni Rupa Nunung WS & Kartika Affandi Diluncurkan
Beberapa tokoh yang pernah menjadi pembicara dalam Memorial Lecture STA yaitu, Rosihan Anwar, Jusuf Kalla, B.J Habibie, J.E. Sahetapy,Karlina Supeli, Azyumardi Azra, Toeti Heraty N. Roosseno, Bambang Hidayat, Refly Harun, Emil Salim, Mahfud MD, Siti Musdah Mulia, dan Iwan Pranoto.
Editor: Fajar Sidik
Buah polemik antara Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Purbatjaraka, dan Ki Hajar Dewantara dalam membangun bangsa itu hingga kini juga terus dirawat oleh cendekiawan Tanah Air. Salah satunya lewat Memorial Lecture yang tiap tahunnya diselengagarakan oleh Akademi Jakarta.
Ketua Akademi Jakarta, Seno Gumira Ajidarma memaparkan, sejak polemik kebudayaan pecah pada 1935, hingga saat ini polemik tersebut terus ada dan tumbuh, sebab berbagai pemikiran mengenai kebudayaan Indonesia juga terus berjalan, bahkan kian beragam.
"Dapatlah kita andaikan bahwa polemik kebudayaan itu tidak pernah berhenti, bahkan hingga saat ini 87 tahun kemudian. Tentunya dengan segenap paradigma yang lewat wacananya masing-masing memberi pendekatan baru," papar Seno dalam sambutannya pada Selasa, (6/12/22) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Baca juga: Serial Monolog Di Tepi Sejarah, Bawa Kisah 5 Tokoh Penting Bangsa Lebih Personal
Adapun, semangat melanggengkan gagasan Sutan Takdir Alisjahbana tahun ini diisi oleh Iwan Pranoto, dari Institut Teknologi Bandung. Dalam kuliah kenangan tersebut Guru Besar Matematika itu membawakan naskah berjudul Kesalingterhubungan Pemikiran untuk kembali memantik pemikiran khalayak.
Dalam pemaparannya, Iwan Pranoto mengulas mengenai problematika kiwari yang jika dicermati secara serius akan mengacu pada kehidupan yang telah terkotak-kotakan. Hal itu menurutnya jika tidak disikapi dengan kritis akan memunculkan tantangan yang lebih pelik di masa depan.
"Dengan semakin terhubungnya dunia manusia dengan mesin, semesta pemikiran hari ini sedang memanen rentetan pertanyaan besar. Untuk menyelesaikannya maka dibutuhkan sikap kritis terhadap sains, teknologi, ilmu kemanusiaan, dan disiplin dari cabang ilmu lain," papar Iwan.
Oleh Kerena itu, dia mengamanatkan pentingnya membuka lagi pemikiran yang beragam sebagai kecakapan dasar utama untuk terus diajarkan di kelas. Melalui cara itulah menurutnya problem-problem tersebut bisa diurai agar dapat menjawab berbagai tantangan yang ada di kemudian hari.
"Sistem pendidikan nasional hari ini perlu serius dalam meletakkan kecakapan berpikir sebagai hal utama untuk dibelajarkan. Selain itu strategi pembangunan dan pendidikan juga dituntut untuk setegas dan selugas saat Takdir mendiagnosis 'penyakit' sekaligus memberikan resep obatnya," jelas Iwan.
Sekedar informasi, Sutan Takdir Alisjahbana Memorial Lecture adalah sebuah forum refleksi tentang soal-soal kemanusiaan dan kebangsaan yang diselenggarakan oleh Akademi Jakarta tiap tahunnya dengan mengundang berbagai tokoh cendekiawan di Tanah Air.
Diadakanya forum tersebut bertujuan untuk menghidupkan semangat dan cita-cita STA, ketua pertama Akademi Jakarta, yang mengatakan bahwa keterbukaan Indonesia sebagai bangsa adalah mutlak demi kemajuan, sebagaimana tercermin dengan sikapnya dalam Polemik Kebudayaan pada 1935.
Baca juga: Film Dokumenter Tokoh Seni Rupa Nunung WS & Kartika Affandi Diluncurkan
Beberapa tokoh yang pernah menjadi pembicara dalam Memorial Lecture STA yaitu, Rosihan Anwar, Jusuf Kalla, B.J Habibie, J.E. Sahetapy,Karlina Supeli, Azyumardi Azra, Toeti Heraty N. Roosseno, Bambang Hidayat, Refly Harun, Emil Salim, Mahfud MD, Siti Musdah Mulia, dan Iwan Pranoto.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.