Mendapatkan Penghargaan Akademi Jakarta 2022, Yuk Intip Profil Didik Nini Thowok
16 November 2022 |
23:09 WIB
Akademi Jakarta memilih Didik Nini Thowok sebagai penerima Penghargaan Akademi Jakarta 2022 untuk individu. Sang seniman mendapatkan penghargaan lantaran perjalanan panjang yang dilakukannya dalam lanskap pertunjukan tari Indonesia. Didik menempuh artistik nalar dalam dekonstruksi atas praktik-praktik rasisme dan seksis
Lalu, bagaimana profil dan perjalanan karir sang seniman? Anggota Akademi Jakarta, Afrizal Malna, dalam narasinya, mengatakan bahwa sang seniman menggunakan nalar artistik sebagai cara melawan stigma identitas. Dia mendefinisikan ulang identitasnya melalui praktik seni pertunjukan berbasis tari.
Baca juga: Didik Nini Thowok & Paduan Suara Dialita Meraih Penghargaan Akademi Jakarta
Didik Nini Thowok terlahir dengan nama sesuai garis keturunan ayah, yakni Kwee Tjoen An, dan ibu keturunan Jawa. Pemerintahan Orde Baru yang membuat peraturan rasis tentang pembatasan peranakan China di Indonesia membuat sang seniman harus mengubah nama menjadi Didik Hadiprayitno.
Afrizal mengatakan bahwa negara telah menghancurkan identitas keluarga dan dirinya. Didik yang lahir di Temanggung pada 13 November 1954 silam tidak hanya seorang penyintas yang bertahan dalam jaring perangkap identitas etnis dan gender. “Mungkin akan lebih tampak toleran, bahwa Didik tumbuh sebagai pribadi lintas-gender yang multi etnis,” katanya.
Didik sudah dekat dengan dunia tari sejak kecil sebagai seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga Wayang Tobong. Pertanyaan tentang diri adalah pertanyaan yang datang akibat tatapan dari luar lantaran gerak tari yang diproduksi oleh sang seniman dianggap terlalu gemulai.
Dia menuturkan bahwa tubuh trans-puan tidak asing dalam tradisi seperti Ludruk, Barangan, Jaran Kepang, atau Bissu. “Representasi tubuh trans-puan yang menjadi sakral dalam ritualnya. Sambil juga merujuk pada personifikasi Dewa Siwa sebagai Ardhanaresvara yang setengah laki-laki setengah perempuan, dalam tari ‘Bedhayan Ardhanaresvara yang kelak pernah diciptakan Didik,” katanya.
Berada dalam posisi biner itu, sang seniman melihat peluang untuk mengubah nalar artistik yang dikembangkan dalam praktik tari. Dramaturgi biner seperti itu tidak asing bagi sang seniman yang mengenal wayang maupun topeng.
Dia menuturkan bahwa melalui medium topeng, sebuah peran dalam tarian sang seniman adalah sebuah drama politik identitas. Dramaturgi biner sebagai inang untuk mutualisme identitas ganda.
Sang seniman disebut memulai langkah menjalani dramaturgi biner saat kuliah di Akademi Seni Tari Indonesia, Yogyakarta. Pada saat itu, Didik membantu karya Bekti Budi Hastuti dalam sebuah kreasi dramatari yang mengusung legenda hantu tentang Nini Thowong dan menggunakan permainan ritual jelangkung.
Dia mengatakan bahwa sang seniman berperan sebagai dukun tua dalam karya tersebut. “Sukses pertunjukan ini membuatnya mulai dikenal sebagai Didik Nini Thowok,” katanya.
Peristiwa tersebut merupakan peluang untuk memperbarui lagi identitasnya melalui tari. Nama yang digunakan itu, Afrizal mengatakan, sebenarnya terkandung perlawanan sakartis untuk pantulan dirinya sebagai hantu identitas di atas panggung tari.
Selama kuliah, Didik membiayai kehidupannya dengan menerima panggilan menari untuk berbagai acara, dan juga sebagai penata rias dan busana. Kemudian, sang seniman membentuk Sanggar Tari Natya Lakshita, dan mulai membuka kelas tari.
Dramaturgi biner Didik menjadi lebih kokoh setelah 1987. Sang seniman, dalam pemerintahan Orde Baru, menciptakan karya tari Dwimuka.
Dia mengatakan bahwa sang seniman memainkan topeng dan tubuhnya sebagai dua pribadi antara lelaki yang jelek dan perempuan yang lembut, menggunakan tubuh bagian depan dan belakang sebagai ruang sekaligus sosok yang berbeda.
Pertunjukan lintas gender ini bahkan membuat Didik mulai diundang untuk melakukan pertunjukan di istana negara maupun manca negara.
“Pertunjukan ini tidak hanya politis untuk memainkan identitas gender, tetapi juga komunikatif di mana tari bisa hadir sebagai tubuh komedi,” katanya.
Dia menilai tubuh tari sebagai inang di mana peran seorang dewi, badut, hantu, maupun nenek ganjen, penumpang pada satu tubuh dalam satu panggung tari. Sebuah langkah baru hantu identitas itu hadir menari di panggung negara.
Menurutnya, peristiwa itu memperlihatkan kegigihan Didik bahwa peranakan China juga bisa eksis dalam dunia seni. Setelah reformasi, saat negara tidak memiliki hak untuk menentukan identitas warga, termasuk identitas gender, sang seniman mulai mengubah dramaturgi biner yang dijalani menjadi tubuh multi etnis.
Pengalaman melintas jawa ke Bali, belajar Tari Legong pada I Gusti Gede Raka, tari topeng Cirebon dengan Ibu Sudji, merupakan langkah yang pernah dijalani sebagai praktik lintas budaya, beririsan dengan praktik performance studies.
“Praktik tari lintas budaya ini teritorinya kemudian kian melebar melalui tari Rogeng dari Sunda, Tari Piring dari Sumatra Barat, maupun tari Tradisi Banyuwangi yang dipelajarinya,” katanya.
Dia menambahkan bahwa sang seniman kian berani menggunakan watak tradisi Jepang, China, India, maupun Spanyol dalam karya yang dibuat. Pada 2010, Didik menciptakan karya Panca Sari sebagai langkah baru di mana identitas dari garis ayah mulai dihadirkan di antara lanskap karya yang bersifat multi etnis ini.
Banyak peneliti kemudian melihat Didik Nini Thowok sebagai tokoh penting dalam kancah identitas lintas gender dan multi etnis.
Editor: Dika Irawan
Lalu, bagaimana profil dan perjalanan karir sang seniman? Anggota Akademi Jakarta, Afrizal Malna, dalam narasinya, mengatakan bahwa sang seniman menggunakan nalar artistik sebagai cara melawan stigma identitas. Dia mendefinisikan ulang identitasnya melalui praktik seni pertunjukan berbasis tari.
Baca juga: Didik Nini Thowok & Paduan Suara Dialita Meraih Penghargaan Akademi Jakarta
Didik Nini Thowok terlahir dengan nama sesuai garis keturunan ayah, yakni Kwee Tjoen An, dan ibu keturunan Jawa. Pemerintahan Orde Baru yang membuat peraturan rasis tentang pembatasan peranakan China di Indonesia membuat sang seniman harus mengubah nama menjadi Didik Hadiprayitno.
Afrizal mengatakan bahwa negara telah menghancurkan identitas keluarga dan dirinya. Didik yang lahir di Temanggung pada 13 November 1954 silam tidak hanya seorang penyintas yang bertahan dalam jaring perangkap identitas etnis dan gender. “Mungkin akan lebih tampak toleran, bahwa Didik tumbuh sebagai pribadi lintas-gender yang multi etnis,” katanya.
Didik sudah dekat dengan dunia tari sejak kecil sebagai seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga Wayang Tobong. Pertanyaan tentang diri adalah pertanyaan yang datang akibat tatapan dari luar lantaran gerak tari yang diproduksi oleh sang seniman dianggap terlalu gemulai.
Dia menuturkan bahwa tubuh trans-puan tidak asing dalam tradisi seperti Ludruk, Barangan, Jaran Kepang, atau Bissu. “Representasi tubuh trans-puan yang menjadi sakral dalam ritualnya. Sambil juga merujuk pada personifikasi Dewa Siwa sebagai Ardhanaresvara yang setengah laki-laki setengah perempuan, dalam tari ‘Bedhayan Ardhanaresvara yang kelak pernah diciptakan Didik,” katanya.
Berada dalam posisi biner itu, sang seniman melihat peluang untuk mengubah nalar artistik yang dikembangkan dalam praktik tari. Dramaturgi biner seperti itu tidak asing bagi sang seniman yang mengenal wayang maupun topeng.
Dia menuturkan bahwa melalui medium topeng, sebuah peran dalam tarian sang seniman adalah sebuah drama politik identitas. Dramaturgi biner sebagai inang untuk mutualisme identitas ganda.
Sang seniman disebut memulai langkah menjalani dramaturgi biner saat kuliah di Akademi Seni Tari Indonesia, Yogyakarta. Pada saat itu, Didik membantu karya Bekti Budi Hastuti dalam sebuah kreasi dramatari yang mengusung legenda hantu tentang Nini Thowong dan menggunakan permainan ritual jelangkung.
Dia mengatakan bahwa sang seniman berperan sebagai dukun tua dalam karya tersebut. “Sukses pertunjukan ini membuatnya mulai dikenal sebagai Didik Nini Thowok,” katanya.
Peristiwa tersebut merupakan peluang untuk memperbarui lagi identitasnya melalui tari. Nama yang digunakan itu, Afrizal mengatakan, sebenarnya terkandung perlawanan sakartis untuk pantulan dirinya sebagai hantu identitas di atas panggung tari.
Selama kuliah, Didik membiayai kehidupannya dengan menerima panggilan menari untuk berbagai acara, dan juga sebagai penata rias dan busana. Kemudian, sang seniman membentuk Sanggar Tari Natya Lakshita, dan mulai membuka kelas tari.
Dramaturgi biner Didik menjadi lebih kokoh setelah 1987. Sang seniman, dalam pemerintahan Orde Baru, menciptakan karya tari Dwimuka.
Dia mengatakan bahwa sang seniman memainkan topeng dan tubuhnya sebagai dua pribadi antara lelaki yang jelek dan perempuan yang lembut, menggunakan tubuh bagian depan dan belakang sebagai ruang sekaligus sosok yang berbeda.
Pertunjukan lintas gender ini bahkan membuat Didik mulai diundang untuk melakukan pertunjukan di istana negara maupun manca negara.
“Pertunjukan ini tidak hanya politis untuk memainkan identitas gender, tetapi juga komunikatif di mana tari bisa hadir sebagai tubuh komedi,” katanya.
Dia menilai tubuh tari sebagai inang di mana peran seorang dewi, badut, hantu, maupun nenek ganjen, penumpang pada satu tubuh dalam satu panggung tari. Sebuah langkah baru hantu identitas itu hadir menari di panggung negara.
Menurutnya, peristiwa itu memperlihatkan kegigihan Didik bahwa peranakan China juga bisa eksis dalam dunia seni. Setelah reformasi, saat negara tidak memiliki hak untuk menentukan identitas warga, termasuk identitas gender, sang seniman mulai mengubah dramaturgi biner yang dijalani menjadi tubuh multi etnis.
Pengalaman melintas jawa ke Bali, belajar Tari Legong pada I Gusti Gede Raka, tari topeng Cirebon dengan Ibu Sudji, merupakan langkah yang pernah dijalani sebagai praktik lintas budaya, beririsan dengan praktik performance studies.
“Praktik tari lintas budaya ini teritorinya kemudian kian melebar melalui tari Rogeng dari Sunda, Tari Piring dari Sumatra Barat, maupun tari Tradisi Banyuwangi yang dipelajarinya,” katanya.
Dia menambahkan bahwa sang seniman kian berani menggunakan watak tradisi Jepang, China, India, maupun Spanyol dalam karya yang dibuat. Pada 2010, Didik menciptakan karya Panca Sari sebagai langkah baru di mana identitas dari garis ayah mulai dihadirkan di antara lanskap karya yang bersifat multi etnis ini.
Banyak peneliti kemudian melihat Didik Nini Thowok sebagai tokoh penting dalam kancah identitas lintas gender dan multi etnis.
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.