Impulsive Buying Bikin Kondisi Keuangan Berantakan, Ini Kiat Mencegahnya
01 December 2022 |
17:11 WIB
Meskipun semua sudah terencana, godaan untuk membelanjakan uang secara masif tentu masih ada. Terlebih pada era digital sekarang ini, pembelian dan pembayaran bisa dilakukan hanya dengan satu kali klik di gawai. Fenomena tersebut belakangan makin populer dan kerap disebut sebagai impulsive buying.
Kondisi ini mengakibatkan munculnya keinginan seseorang untuk membeli suatu produk dalam jumlah banyak secara tiba-tiba tanpa pertimbangan matang. Jika tak segera ditangani, kondisi keuangan pribadi bisa makin buruk.
Pembina Yayasan Kesehatan Mental Indonesia Adang Adha mengatakan mental yang tidak sehat bisa memicu seseorang memiliki pengelolaan keuangan yang buruk. Hal itu kemudian membuat seseorang jadi impulsive buying.
Adang mengatakan cirinya bisa ditandai dengan tujuan pembeliannya. Alih-alih membeli sesuatu berdasarkan fungsi atau kebutuhan, orang dengan impulsive buying justru melakukannya karena gengsi semata.
“Itu adalah salah satu bentuk tidak sehat mental yang tecermin dalam mengelola keuangan. Awalnya dari kecemasan juga. Kecemasan untuk mau menunjukkan dirinya lebih dibanding orang lain dengan cara mengeluarkan uang yang seharusnya tidak dikeluarkan. Efeknya, kondisi keuangan berantakan,” ujar Adang kepada Bisnis.
Adang mengatakan perilaku tersebut kerap memiliki dampak yang berkelanjutan. Kebutuhan untuk gengsi yang tidak dibarengi dengan pendapatan sepadan membuat seseorang kesulitan mengatur keuangannya.
Jika tidak segera ditangani, orang yang berada di titik ini sangat mudah terjebak utang. Melakukan utang untuk tujuan impulsive buying tentu bukan pilihan yang bijak.
Adang mengatakan perilaku impulsive buying yang terjadi pada saat dewasa memiliki hubungan dengan pola parenting di dalam keluarga. Pendidikan keuangan yang tidak berjalan dengan baik bisa terbawa hingga dewasa dan membuat orang jadi sulit menahan diri melakukan pembelian yang tidak perlu.
Impulsive buying sebenarnya hal yang masih manusiawi. Namun, jika impulsive buying menjadi sebuah kebiasaan, tentu hal ini bisa merugikan diri sendiri. Kondisi keuangan pun bisa berantakan jika seseorang tak bisa mengendalikan keinginan berbelanja tersebut.
Namun, salah satau hal yang penting ialah impulsive buying terjadi karena dorongan dari dalam diri. Artinya, pencegahannya pun bisa dilakukan dengan menahan diri berbelanja barang-barang yang tidak perlu.
Untuk mencegah godaan impulsive buying, seseorang mesti melakukan perencanaan keuangan yang matang. Perencanaan keuangan yang matang membuat tujuan keuangan bisa lebih mudah terwujud, seperti yang disarankan OJK dalam laman resminya.
Dalam perencanaan keuangan, seseorang mesti membagi keuangannya ke dalam beberapa pos di awal bulan. Jumlah pembagian masing-masing pos bisa diseusaikan sesuai kebutuhan masing-masing.
Misalnya, 10 persen utnuk dana sosial, 20 persen untuk investasi, 30 persen membayar cicilan, dan 40 persen untuk kebutuhan sehari-hari. Dengan cara ini, seseorang jadi merasa terikat akan aturan main dan tidak semena-mena dalam menggunakan uangnya.
Dalam perencanaan keuangan, menyisihkan anggaran jauh lebih baik daripada menyisakan. Oleh karena itu, sebaiknya pembagian pos, termasuk untuk tabungan, disarankan dilakukan di awal dibanding pada akhir bulan.
Selain itu, untuk mengerem tindakan impulsive buying, seseorang juga mesti bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Jangan sampai pembelian dilakukan berdasarkan keinginan hanya gara-gara ada promo.
Terakhir, bijaklah dalam memanfaatkan produk keuangan saat berbelanja. Jangan tergoda dengan fasilitas atau kemudahan yang memiliki efek merugikan keuangan diri sendiri. Misalnya, soal penggunaan cicilan kartu kredit atau paylater.
Editor: M R Purboyo
Kondisi ini mengakibatkan munculnya keinginan seseorang untuk membeli suatu produk dalam jumlah banyak secara tiba-tiba tanpa pertimbangan matang. Jika tak segera ditangani, kondisi keuangan pribadi bisa makin buruk.
Pembina Yayasan Kesehatan Mental Indonesia Adang Adha mengatakan mental yang tidak sehat bisa memicu seseorang memiliki pengelolaan keuangan yang buruk. Hal itu kemudian membuat seseorang jadi impulsive buying.
Adang mengatakan cirinya bisa ditandai dengan tujuan pembeliannya. Alih-alih membeli sesuatu berdasarkan fungsi atau kebutuhan, orang dengan impulsive buying justru melakukannya karena gengsi semata.
“Itu adalah salah satu bentuk tidak sehat mental yang tecermin dalam mengelola keuangan. Awalnya dari kecemasan juga. Kecemasan untuk mau menunjukkan dirinya lebih dibanding orang lain dengan cara mengeluarkan uang yang seharusnya tidak dikeluarkan. Efeknya, kondisi keuangan berantakan,” ujar Adang kepada Bisnis.
Adang mengatakan perilaku tersebut kerap memiliki dampak yang berkelanjutan. Kebutuhan untuk gengsi yang tidak dibarengi dengan pendapatan sepadan membuat seseorang kesulitan mengatur keuangannya.
Jika tidak segera ditangani, orang yang berada di titik ini sangat mudah terjebak utang. Melakukan utang untuk tujuan impulsive buying tentu bukan pilihan yang bijak.
Adang mengatakan perilaku impulsive buying yang terjadi pada saat dewasa memiliki hubungan dengan pola parenting di dalam keluarga. Pendidikan keuangan yang tidak berjalan dengan baik bisa terbawa hingga dewasa dan membuat orang jadi sulit menahan diri melakukan pembelian yang tidak perlu.
Ilustrasi menahan belanja/Freepik
Kiat Mencegah Impulsive Buying
Impulsive buying sebenarnya hal yang masih manusiawi. Namun, jika impulsive buying menjadi sebuah kebiasaan, tentu hal ini bisa merugikan diri sendiri. Kondisi keuangan pun bisa berantakan jika seseorang tak bisa mengendalikan keinginan berbelanja tersebut.
Namun, salah satau hal yang penting ialah impulsive buying terjadi karena dorongan dari dalam diri. Artinya, pencegahannya pun bisa dilakukan dengan menahan diri berbelanja barang-barang yang tidak perlu.
Untuk mencegah godaan impulsive buying, seseorang mesti melakukan perencanaan keuangan yang matang. Perencanaan keuangan yang matang membuat tujuan keuangan bisa lebih mudah terwujud, seperti yang disarankan OJK dalam laman resminya.
Dalam perencanaan keuangan, seseorang mesti membagi keuangannya ke dalam beberapa pos di awal bulan. Jumlah pembagian masing-masing pos bisa diseusaikan sesuai kebutuhan masing-masing.
Misalnya, 10 persen utnuk dana sosial, 20 persen untuk investasi, 30 persen membayar cicilan, dan 40 persen untuk kebutuhan sehari-hari. Dengan cara ini, seseorang jadi merasa terikat akan aturan main dan tidak semena-mena dalam menggunakan uangnya.
Dalam perencanaan keuangan, menyisihkan anggaran jauh lebih baik daripada menyisakan. Oleh karena itu, sebaiknya pembagian pos, termasuk untuk tabungan, disarankan dilakukan di awal dibanding pada akhir bulan.
Selain itu, untuk mengerem tindakan impulsive buying, seseorang juga mesti bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Jangan sampai pembelian dilakukan berdasarkan keinginan hanya gara-gara ada promo.
Terakhir, bijaklah dalam memanfaatkan produk keuangan saat berbelanja. Jangan tergoda dengan fasilitas atau kemudahan yang memiliki efek merugikan keuangan diri sendiri. Misalnya, soal penggunaan cicilan kartu kredit atau paylater.
Editor: M R Purboyo
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.