Sering Dialami Lansia, Kenali Pruritus & Gejalanya
03 November 2022 |
22:30 WIB
Kulit gatal kerap kali dikeluhkan para lansia. Sensasi tidak menyenangkan pada kulit yang menimbulkan keinginan untuk menggaruk ini disebut juga pruritus dalam istilah medis. Pruritus disebut sebagai gejala dari berbagai penyakit kulit tertentu.
Selain sensasi gatal di kulit, pruritus juga menimbulkan kemerahan, tanda gores, benjolan, bintik atau lecet.
Gejala lainnya yakni kulit kering dan pecah-pecah, bercak kasar atau bersisik, perubahan warna kulit yang lebih terang atau lebih gelap dari kulit di sekitarnya. Kemudian bisa terjadi peradangan hingga lepuh atau benjolan berisi cairan pada kulit.
Setidaknya ada tiga jenis pruritus. Pertama, pruritus dengan kelainan kulit primer atau kelainan kulit spesifik atau ada penyakit penyerta lain, seperti kelainan metabolik atau infeksi atau kelainan saraf. Kedua, pruritus tanpa kelainan kulit spesifik.
Baca juga Bisa Berujung Depresi, Ini Penyebab & Cara Mengatasi Kulit Kering
Yustin menyebut salah satu faktor risiko pruritus yakni mereka yang berusia 65 tahun ke atas. Dengan semakin besarnya populasi lansia di Indonesia, tentu risiko pruritus pun makin besar. Selain karena usia, seseorang bisa tambah berisiko mengalami pruritus jika memiliki alergi, kondisi penyakit lain seperti eksim, psoriasis, dan diabetes, sedang hamil, ataupun mereka yang sedang menjalani dialisis.
Pada kasus lansia, Yustin menjelaskan ada 3 proses utama terkait penuaan yang berhubungan dengan terjadinya pruritus. Pertama, hilangnya fungsi barrier (pelindung atau pembatas) kulit yang menyebabkan turunnya fungsi repair pada kulit. Kedua, immunosenescence atau penurunan kerja sistem imun atau sistem perlindungan tubuh. “Ketiga, neuropati atau abnormalitas sistem saraf, dimana pruritus cenderung lebih sering mengalami kekambuhan,” tuturnya.
Oleh sebab itu, diagnosis dan tatalaksana yang tepat menurut Yustin sangat dibutuhkan untuk lansia yang mengalami pruritus. Adapun derajat keparahan gatal dimulai dari skala 1 hingga 10. Bila derajat keparahan di atas 6, gatal dirasakan hingga pasien terbangun dari tidur. Jika sudah terjadi gangguan kualitas hidup secara bermakna, tatalaksana agresif menurutnya sangat dibutuhkan.
Yusuf menjabarkan tatalaksana pertama yang dilakukan tentu dengan menjaga kelembaban kulit. Misalnya dengan metode soak-and-smear atau merendam kulit selama 10--20 menit di dalam air.
Untuk menjaga kelembapan kulit pada pasien pruritus, metode lainnya yakni wet wraps membalut area kulit gatal dengan perban atau kain basah menggunakan krim tertentu. “Namun perlu diingat bahwa pengobatan pruritus dan xerosis yang benar dan tuntas tidak sesederhana memakai krim pelembab,” tegasnya.
Baca juga: Begini 4 Tip Pembersihan & Perawatan Wajah untuk Kulit Kering
Sementara itu, Yustin menyebut mengobati pruritus memang menjadi tantangan tersendiri di meja praktik. Hal ini karena dokter harus mampu menemukan penyebab yang mendasari dan mengobati pruritus berdasarkan penyebabnya tersebut.
Kesadaran masyarakat untuk memeriksakan kondisi ini ke dokter pun masih rendah dan cenderung menyepelekan. Kulit gatal yang parah atau berlangsung lebih dari enam minggu (pruritus kronis) kata Yustin dapat mempengaruhi kualitas hidup.
Pruritus bisa mengganggu tidur atau menyebabkan kecemasan hingga depresi. Gatal dan garukan yang berkepanjangan dapat meningkatkan intensitas gatal, mungkin menyebabkan cedera kulit, infeksi, dan membekas permanen.
Komplikasi lain dari pruritus termasuk lichen simplex chronicus, nodul prurigo, dan ekskoriasi yang dapat menjadi infeksi sekunder.
Editor: Roni Yunianto
Selain sensasi gatal di kulit, pruritus juga menimbulkan kemerahan, tanda gores, benjolan, bintik atau lecet.
Gejala lainnya yakni kulit kering dan pecah-pecah, bercak kasar atau bersisik, perubahan warna kulit yang lebih terang atau lebih gelap dari kulit di sekitarnya. Kemudian bisa terjadi peradangan hingga lepuh atau benjolan berisi cairan pada kulit.
Setidaknya ada tiga jenis pruritus. Pertama, pruritus dengan kelainan kulit primer atau kelainan kulit spesifik atau ada penyakit penyerta lain, seperti kelainan metabolik atau infeksi atau kelainan saraf. Kedua, pruritus tanpa kelainan kulit spesifik.
Baca juga Bisa Berujung Depresi, Ini Penyebab & Cara Mengatasi Kulit Kering
Yustin menyebut salah satu faktor risiko pruritus yakni mereka yang berusia 65 tahun ke atas. Dengan semakin besarnya populasi lansia di Indonesia, tentu risiko pruritus pun makin besar. Selain karena usia, seseorang bisa tambah berisiko mengalami pruritus jika memiliki alergi, kondisi penyakit lain seperti eksim, psoriasis, dan diabetes, sedang hamil, ataupun mereka yang sedang menjalani dialisis.
Pada kasus lansia, Yustin menjelaskan ada 3 proses utama terkait penuaan yang berhubungan dengan terjadinya pruritus. Pertama, hilangnya fungsi barrier (pelindung atau pembatas) kulit yang menyebabkan turunnya fungsi repair pada kulit. Kedua, immunosenescence atau penurunan kerja sistem imun atau sistem perlindungan tubuh. “Ketiga, neuropati atau abnormalitas sistem saraf, dimana pruritus cenderung lebih sering mengalami kekambuhan,” tuturnya.
Oleh sebab itu, diagnosis dan tatalaksana yang tepat menurut Yustin sangat dibutuhkan untuk lansia yang mengalami pruritus. Adapun derajat keparahan gatal dimulai dari skala 1 hingga 10. Bila derajat keparahan di atas 6, gatal dirasakan hingga pasien terbangun dari tidur. Jika sudah terjadi gangguan kualitas hidup secara bermakna, tatalaksana agresif menurutnya sangat dibutuhkan.
Yusuf menjabarkan tatalaksana pertama yang dilakukan tentu dengan menjaga kelembaban kulit. Misalnya dengan metode soak-and-smear atau merendam kulit selama 10--20 menit di dalam air.
Untuk menjaga kelembapan kulit pada pasien pruritus, metode lainnya yakni wet wraps membalut area kulit gatal dengan perban atau kain basah menggunakan krim tertentu. “Namun perlu diingat bahwa pengobatan pruritus dan xerosis yang benar dan tuntas tidak sesederhana memakai krim pelembab,” tegasnya.
Baca juga: Begini 4 Tip Pembersihan & Perawatan Wajah untuk Kulit Kering
Sementara itu, Yustin menyebut mengobati pruritus memang menjadi tantangan tersendiri di meja praktik. Hal ini karena dokter harus mampu menemukan penyebab yang mendasari dan mengobati pruritus berdasarkan penyebabnya tersebut.
Kesadaran masyarakat untuk memeriksakan kondisi ini ke dokter pun masih rendah dan cenderung menyepelekan. Kulit gatal yang parah atau berlangsung lebih dari enam minggu (pruritus kronis) kata Yustin dapat mempengaruhi kualitas hidup.
Pruritus bisa mengganggu tidur atau menyebabkan kecemasan hingga depresi. Gatal dan garukan yang berkepanjangan dapat meningkatkan intensitas gatal, mungkin menyebabkan cedera kulit, infeksi, dan membekas permanen.
Komplikasi lain dari pruritus termasuk lichen simplex chronicus, nodul prurigo, dan ekskoriasi yang dapat menjadi infeksi sekunder.
Editor: Roni Yunianto
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.