Hari Kesehatan Mental Sedunia 10 Oktober 2022, WHO Masih Catat Perang Lawan Stigma
10 October 2022 |
08:53 WIB
1
Like
Like
Like
Setiap 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia atau World Mental Health Day. Hari ini merupakan sebuah ajang bagi seluruh masyarakat dunia untuk menyadari betapa pentingnya menjaga, membantu, dan berupaya pulih dalam hal kesehatan mental.
Apalagi, Badan Kesehatan Dunia, WHO mencatat masyarakat masih harus berperang melawan penyebaran stigma tentang kesehatan mental yang kerap dipandang sebelah mata. Stigma tidak hanya datang dari lingkungan terdekat penderita seperti rumah, sekolah, kantor, atau komunitas, melainkan juga media sosial.
Dilansir dari situs WHO, banyak orang dengan gangguan kesehatan mental rela menghadapi tekanan mental tanpa bantuan dibandingkan mendapat diskriminasi dengan datang ke layanan kesehatan mental. Dorongan stigma ini juga memperluas rendahnya tingkat deteksi dini dari kondisi kesehatan mental.
Baca juga: 3 Kiat Menjaga Kesehatan Mental Karyawan
Stigma pun berdampak jauh pada isolasi dari kehidupan sosial yang juga membawa akibat lebih jauh pada kemampuan memiliki suara, dan memiliki akses pekerjaan atau pendidikan.
Salah satu penderita Borderline Personality Disorder (BPD), Dhanti, menceritakan pengalamannya mendapat stigma buruk di media sosial. Dia mengaku dikucilkan dari lingkungan kerja dan pertemanannya karena didiagnosa memiliki salah satu gangguan kesehatan mental tersebut. Bahkan, Dhanti juga mengaku takut untuk menyebarkan mental awareness karena dinilai hanya ikut-ikutan tren.
“Setelah mendapat diagnosa dokter, aku sempat bingung apakah hal ini harus aku sampaikan kepada orang terdekat, termasuk teman, keluarga, dan lingkungan kerja. Sebenarnya memberitahukan hal ini pun tujuannya bukan ikut tren, tapi memberi kesadaran bahwa kondisi mental setiap orang berbeda, tetapi yang datang ke aku malah stigma ikut tren tadi,” kata Dhanti kepada Hypeabis.
Menurut Dhanti, tidak mudah untuk berperang melawan stigma ditengah psikoterapi dan pengobatan yang harus dijalaninya. Dhanti menyebut, stigma akan sangat mengguncang kesehatan mental penderita lebih buruk.
“Seperti kita sedang berperang dengan semua hal di otak kita, tapi faktor luar seperti stigma ini datang dan cukup merobohkan penyembuhan yang sedang dijalani. Tapi balik lagi, faktor eksternal itu tidak bisa kita kontrol,” kata Dhanti.
Wanita berusia 26 tahun tersebut mengaku memberanikan diri untuk datang ke layanan kesehatan mental karena banyak gejala yang sudah menganggu pekerjaan dan kehidupan pribadinya.
“Awalnya masih menimbang, apakah iya aku harus banget ke psikiater gitu, terus apa kata orang dan bagaimana tanggapan orang kalau tahu aku didiagnosa, dengan banyak pertimbangan akhirnya memberanikan diri ke psikiater. Respons orang terdekat beragam, ada yang mendukung, ada juga yang malah menyepelekan dan menjauh, termasuk di lingkungan kantor dan pertemanan,” jelas Dhanti.
Baca juga: 5 Film dan Serial Tentang Kesehatan Mental, Bikin Kamu Aware Soal Depresi & Bunuh Diri
WHO selaku organisasi kesehatan pun berperang melawan stigma dengan menerapkan inisiatif QualityRights. Project tersebut berisi pengemabngan dan penyebaran materi pelatihan, perangkat, dukungan teknis, dan panduan praktis untuk membantu penderita memerangi stigma dan diskriminasi serta mendorong pemulihan kesehatan mental.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Apalagi, Badan Kesehatan Dunia, WHO mencatat masyarakat masih harus berperang melawan penyebaran stigma tentang kesehatan mental yang kerap dipandang sebelah mata. Stigma tidak hanya datang dari lingkungan terdekat penderita seperti rumah, sekolah, kantor, atau komunitas, melainkan juga media sosial.
Dilansir dari situs WHO, banyak orang dengan gangguan kesehatan mental rela menghadapi tekanan mental tanpa bantuan dibandingkan mendapat diskriminasi dengan datang ke layanan kesehatan mental. Dorongan stigma ini juga memperluas rendahnya tingkat deteksi dini dari kondisi kesehatan mental.
Baca juga: 3 Kiat Menjaga Kesehatan Mental Karyawan
Stigma pun berdampak jauh pada isolasi dari kehidupan sosial yang juga membawa akibat lebih jauh pada kemampuan memiliki suara, dan memiliki akses pekerjaan atau pendidikan.
Salah satu penderita Borderline Personality Disorder (BPD), Dhanti, menceritakan pengalamannya mendapat stigma buruk di media sosial. Dia mengaku dikucilkan dari lingkungan kerja dan pertemanannya karena didiagnosa memiliki salah satu gangguan kesehatan mental tersebut. Bahkan, Dhanti juga mengaku takut untuk menyebarkan mental awareness karena dinilai hanya ikut-ikutan tren.
“Setelah mendapat diagnosa dokter, aku sempat bingung apakah hal ini harus aku sampaikan kepada orang terdekat, termasuk teman, keluarga, dan lingkungan kerja. Sebenarnya memberitahukan hal ini pun tujuannya bukan ikut tren, tapi memberi kesadaran bahwa kondisi mental setiap orang berbeda, tetapi yang datang ke aku malah stigma ikut tren tadi,” kata Dhanti kepada Hypeabis.
Menurut Dhanti, tidak mudah untuk berperang melawan stigma ditengah psikoterapi dan pengobatan yang harus dijalaninya. Dhanti menyebut, stigma akan sangat mengguncang kesehatan mental penderita lebih buruk.
“Seperti kita sedang berperang dengan semua hal di otak kita, tapi faktor luar seperti stigma ini datang dan cukup merobohkan penyembuhan yang sedang dijalani. Tapi balik lagi, faktor eksternal itu tidak bisa kita kontrol,” kata Dhanti.
Wanita berusia 26 tahun tersebut mengaku memberanikan diri untuk datang ke layanan kesehatan mental karena banyak gejala yang sudah menganggu pekerjaan dan kehidupan pribadinya.
“Awalnya masih menimbang, apakah iya aku harus banget ke psikiater gitu, terus apa kata orang dan bagaimana tanggapan orang kalau tahu aku didiagnosa, dengan banyak pertimbangan akhirnya memberanikan diri ke psikiater. Respons orang terdekat beragam, ada yang mendukung, ada juga yang malah menyepelekan dan menjauh, termasuk di lingkungan kantor dan pertemanan,” jelas Dhanti.
Baca juga: 5 Film dan Serial Tentang Kesehatan Mental, Bikin Kamu Aware Soal Depresi & Bunuh Diri
WHO selaku organisasi kesehatan pun berperang melawan stigma dengan menerapkan inisiatif QualityRights. Project tersebut berisi pengemabngan dan penyebaran materi pelatihan, perangkat, dukungan teknis, dan panduan praktis untuk membantu penderita memerangi stigma dan diskriminasi serta mendorong pemulihan kesehatan mental.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.