Sejarah Singkat Kota Yogyakarta
08 October 2022 |
19:36 WIB
Yogyakarta baru saja merayakan ulang tahun yang ke-266. Tepatnya pada 7 Oktober 2022. Pada perayaan ultahnya, Kota Pelajar ini mengangkat tema Sulih Pulih Luwih. Sudah menginjak usia dua abad , seperti apa sejarah kota ini?
Dilansir dari situs resmi pemerintah kota Yogyakarta, kota ini berdiri karena Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang ditandatangani oleh penjajah Belanda, Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jenderal Jacob Mossel.
Dalam perjanjian itu, Negara Mataram dibagi menjadi dua, yakni setengah hak Kerajaan Surakarta dan setengah lainnya menjadi hak Pangeran Mangkubumi.
Pangeran Mangkubumi diakui menjadi raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan gelar Sultan Hamengku Bowono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khilafatullah.
Daerah yang masuk dalam kekuasannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede. Ditambah daerah mancanegara yaitu Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, dan Grobogan.
Pangeran Mangkubumi pun segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat. Kota ini memiliki ibu kota di Ngayogyakarta (Yogyakarta) setelah perjanjian itu. Sang raja mengumumkan penetapan itu pada 13 Maret 1755.
Tidak hanya itu, sang raja juga segera memerintahkan rakyat untuk mendirikan keraton sebagai istana baru, dan selesai satu tahun kemudian.
Setelah kraton tersebut jadi, pangeran pun pindah dari Pesanggrahan Ambarketawang ke Istana Baru. Dengan begitu, berdirilah kota Yogyakarta atau yang memiliki nama utuh Negari Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dari presiden Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Kemudian, pada 5 September 1945, Yogyakarta menjadi bagian dari Indonesia. Pada saat itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengeluarkan amanat yang menyatakan, daerah kesultanan dan daerah Paku Alam merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian Indonesia berdasarkan pasal 18 UUD 1945.
Dilansir dari jogjaprov.go.id, Sri Sultan Hamengku Buwono IX kemudian mengundang para tokoh bangsa pindah ke Yogyakarta, dan menyatakan bahwa wilayanya siap menjadi ibu kota negara yang baru terbentuk ketika penjajah kembali datang.
Pada saat itu, kraton juga memberikan dukungan berupa finansial selama pemerintahan Indonesia berada di Yogyakarta. Semua pendanaan seperti gaji presiden/ wakil presiden, staf, operasional tentara nasional Indonesia, sampai akomodasi perjalanan delegasi ke luar negeri menggunakan kas kraton.
Tidak hanya itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga melakukan perjalanan ke sejumlah negara ketika kekuasaan beralih dari orde lama ke orde baru. Pada saat itu, sang raja meyakinkan para pemimpin negara tetangga bahwa Indonesia masih ada, dan Sri Sultan Hamengku Buwono tetap bagian dari Indonesia. Dengan begitu, kepercayaan internasional pelan-pelan dapat kembali pulih pada saat itu.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Dika Irawan
Dilansir dari situs resmi pemerintah kota Yogyakarta, kota ini berdiri karena Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang ditandatangani oleh penjajah Belanda, Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jenderal Jacob Mossel.
Dalam perjanjian itu, Negara Mataram dibagi menjadi dua, yakni setengah hak Kerajaan Surakarta dan setengah lainnya menjadi hak Pangeran Mangkubumi.
Pangeran Mangkubumi diakui menjadi raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan gelar Sultan Hamengku Bowono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khilafatullah.
Daerah yang masuk dalam kekuasannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede. Ditambah daerah mancanegara yaitu Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, dan Grobogan.
Pangeran Mangkubumi pun segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat. Kota ini memiliki ibu kota di Ngayogyakarta (Yogyakarta) setelah perjanjian itu. Sang raja mengumumkan penetapan itu pada 13 Maret 1755.
Tidak hanya itu, sang raja juga segera memerintahkan rakyat untuk mendirikan keraton sebagai istana baru, dan selesai satu tahun kemudian.
Setelah kraton tersebut jadi, pangeran pun pindah dari Pesanggrahan Ambarketawang ke Istana Baru. Dengan begitu, berdirilah kota Yogyakarta atau yang memiliki nama utuh Negari Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dari presiden Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Kemudian, pada 5 September 1945, Yogyakarta menjadi bagian dari Indonesia. Pada saat itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengeluarkan amanat yang menyatakan, daerah kesultanan dan daerah Paku Alam merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian Indonesia berdasarkan pasal 18 UUD 1945.
Dilansir dari jogjaprov.go.id, Sri Sultan Hamengku Buwono IX kemudian mengundang para tokoh bangsa pindah ke Yogyakarta, dan menyatakan bahwa wilayanya siap menjadi ibu kota negara yang baru terbentuk ketika penjajah kembali datang.
Pada saat itu, kraton juga memberikan dukungan berupa finansial selama pemerintahan Indonesia berada di Yogyakarta. Semua pendanaan seperti gaji presiden/ wakil presiden, staf, operasional tentara nasional Indonesia, sampai akomodasi perjalanan delegasi ke luar negeri menggunakan kas kraton.
Tidak hanya itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga melakukan perjalanan ke sejumlah negara ketika kekuasaan beralih dari orde lama ke orde baru. Pada saat itu, sang raja meyakinkan para pemimpin negara tetangga bahwa Indonesia masih ada, dan Sri Sultan Hamengku Buwono tetap bagian dari Indonesia. Dengan begitu, kepercayaan internasional pelan-pelan dapat kembali pulih pada saat itu.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.