Kisah Sukses Dua Aktivis Muda Tingkatkan Literasi di Indonesia Timur
29 September 2022 |
17:59 WIB
Tingkat literasi masyarakat Indonesia terbilang sangat rendah, Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Program for International Student Assessment (PISA), tingkat literasi Indonesia berada di posisi ke 62 dari 70 negara. Sejumlah faktor yang menyebabkan rendahnya kemampuan literasi dan minat baca tersebut.
Faktor penyebab itu, di antaranya tidak adanya kebiasaan membaca sejak dini; masih kurangnya akses pada sarana membaca; hingga pengaruh dari kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Salah satu wilayah yang terbilang cukup sulit mendapatkan akses pada buku bacaan sehingga menyebabkan literasi masyarakatnya rendah adalah di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Berangkat dari kondisi ini, mendorong salah seorang penggerak pendidikan dari Kabupaten Rote Ndao, Sevrin untuk membangun Gerakan 1.000 Buku untuk salah satu kabupaten di wilayah tersebut.
Sevrin mengatakan bahwa Gerakan 1.000 Buku ini mulai dari titik nol hingga terus berkembang dan mendapat dukungan masyarakat luas. Sevrin mulai membentuk kelompok penggerak untuk gerakan tersebut melalui pembangunan taman bacaan di beberapa tempat di Kabupaten Rote Ndao.
Dalam perjalanannya, beberapa anggota yang terlibat melakukan inisiatif untuk mengkampanyekan gerakan ini melalui media sosial Facebook sehingga mendapat dukungan dari masyarakat. Menurut Sevrin, banyak pihak yang menyumbang buku-buku yang masih layak untuk dibaca sehingga membuat anak-anak makin tertarik mendatangi taman bacaan yang telah dibangun.
"Kita mulai dengan grup di FB, Gerakan 1.000 Buku untuk Rote Ndao, kemudian kita juga dorong yang punya buku bekas bisa donasikan buku bekasnya, akhirnya mereka mendonasikan buku bekasnya," jelasnya.
Awalnya dia berpikir bahwa Gerakan 1.000 Buku hanya selesai di situ, tetapi ternyata banyak yang berbagi sehingga taman baca yang awalnya hanya terbentuk satu atau dua taman baca kemudian berkembang hingga menjadi 32 taman baca dan seterusnya.
Menurutnya, gerakan ini terus berlanjut walaupun tantangan selalu ada. Berdasarkan komitmen para penggerak pendidikan di sana, taman baca akan dibangun di setiap kampung sehingga memudahkan setiap anak-anak di desa untuk membaca.
"Mimpi ini adalah mimpi yang panjang karena butuh bukan hanya gerakan, tetapi kita butuh orang yang punya napas panjang, istilahnya maraton. Jadi, kita bergerak, kita berkolaborasi dengan taman baca masyarakat yang kemudian sudah dibentuk tahun 2020 sampai sekarang," ungkapnya.
Selain Kevrin salah satu penggerak pendidikan lainnya dari Kabupaten Timor Tengah Selatan, Maria Regina Jaga, yang menceritakan pengalamannya mengajarkan kemampuan berbahasa Inggris kepada anak-anak komunitas binaannya melalui metode yang menyenangkan.
Wanita yang akrab disapa Inja ini menggunakan salah satu permainan lokal yang menghubungkan antara pengetahuan bahasa Inggris dan kearifan lokal yang ada di TTS. "Saya menggunakan satu permainan tradisional yang masih saya pertahankan sampai sekarang, namanya permainan Siki Doka. Permainan Siki Doka itu mungkin ada juga di Indonesia Barat," jelasnya.
Dia kemudian menceritkan bahwa menggunakan metode ini, bukan tanpa tantangan. Hal ini tidak pernah terlepas dari kemampuan dan daya tangkap anak-anak yang masih membutuhkan bimbingan secara terus menerus.
Namun, dirinya tidak pernah putus asa dengan tantangan yang ada. Melalui metode permainan tradisional tersebut, secara perlahan anak-anak dapat menguasai bahasa Inggris, minimal untuk bahasa sehari-hari dan berkaitan dengan pengenalan lingkungan sekitar.
"Jadi memadupadankan unsur internasional dalam bahasa Inggris dengan budaya lokal kita yang membantu menjembatani jalannya globalisasi, berbahasa Inggris, kemudian cara mempertahankan kultur dan tradisi melalui permainan tradisional dan juga mengajarkan mereka untuk berbahasa Indonesia dan mendapatkan pendidikan yang layak dan sama persis dengan orang yang mengambil pendidikan formal," jelasnya.
Editor: M R Purboyo
Faktor penyebab itu, di antaranya tidak adanya kebiasaan membaca sejak dini; masih kurangnya akses pada sarana membaca; hingga pengaruh dari kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Salah satu wilayah yang terbilang cukup sulit mendapatkan akses pada buku bacaan sehingga menyebabkan literasi masyarakatnya rendah adalah di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Berangkat dari kondisi ini, mendorong salah seorang penggerak pendidikan dari Kabupaten Rote Ndao, Sevrin untuk membangun Gerakan 1.000 Buku untuk salah satu kabupaten di wilayah tersebut.
Sevrin mengatakan bahwa Gerakan 1.000 Buku ini mulai dari titik nol hingga terus berkembang dan mendapat dukungan masyarakat luas. Sevrin mulai membentuk kelompok penggerak untuk gerakan tersebut melalui pembangunan taman bacaan di beberapa tempat di Kabupaten Rote Ndao.
Dalam perjalanannya, beberapa anggota yang terlibat melakukan inisiatif untuk mengkampanyekan gerakan ini melalui media sosial Facebook sehingga mendapat dukungan dari masyarakat. Menurut Sevrin, banyak pihak yang menyumbang buku-buku yang masih layak untuk dibaca sehingga membuat anak-anak makin tertarik mendatangi taman bacaan yang telah dibangun.
"Kita mulai dengan grup di FB, Gerakan 1.000 Buku untuk Rote Ndao, kemudian kita juga dorong yang punya buku bekas bisa donasikan buku bekasnya, akhirnya mereka mendonasikan buku bekasnya," jelasnya.
Konferensi Pendidikan Di Timur Indonesia (sumber gambar : Indonesia Mengajar)
Awalnya dia berpikir bahwa Gerakan 1.000 Buku hanya selesai di situ, tetapi ternyata banyak yang berbagi sehingga taman baca yang awalnya hanya terbentuk satu atau dua taman baca kemudian berkembang hingga menjadi 32 taman baca dan seterusnya.
Menurutnya, gerakan ini terus berlanjut walaupun tantangan selalu ada. Berdasarkan komitmen para penggerak pendidikan di sana, taman baca akan dibangun di setiap kampung sehingga memudahkan setiap anak-anak di desa untuk membaca.
"Mimpi ini adalah mimpi yang panjang karena butuh bukan hanya gerakan, tetapi kita butuh orang yang punya napas panjang, istilahnya maraton. Jadi, kita bergerak, kita berkolaborasi dengan taman baca masyarakat yang kemudian sudah dibentuk tahun 2020 sampai sekarang," ungkapnya.
Selain Kevrin salah satu penggerak pendidikan lainnya dari Kabupaten Timor Tengah Selatan, Maria Regina Jaga, yang menceritakan pengalamannya mengajarkan kemampuan berbahasa Inggris kepada anak-anak komunitas binaannya melalui metode yang menyenangkan.
Maria Regina Jaga/Istimewa
Wanita yang akrab disapa Inja ini menggunakan salah satu permainan lokal yang menghubungkan antara pengetahuan bahasa Inggris dan kearifan lokal yang ada di TTS. "Saya menggunakan satu permainan tradisional yang masih saya pertahankan sampai sekarang, namanya permainan Siki Doka. Permainan Siki Doka itu mungkin ada juga di Indonesia Barat," jelasnya.
Dia kemudian menceritkan bahwa menggunakan metode ini, bukan tanpa tantangan. Hal ini tidak pernah terlepas dari kemampuan dan daya tangkap anak-anak yang masih membutuhkan bimbingan secara terus menerus.
Namun, dirinya tidak pernah putus asa dengan tantangan yang ada. Melalui metode permainan tradisional tersebut, secara perlahan anak-anak dapat menguasai bahasa Inggris, minimal untuk bahasa sehari-hari dan berkaitan dengan pengenalan lingkungan sekitar.
"Jadi memadupadankan unsur internasional dalam bahasa Inggris dengan budaya lokal kita yang membantu menjembatani jalannya globalisasi, berbahasa Inggris, kemudian cara mempertahankan kultur dan tradisi melalui permainan tradisional dan juga mengajarkan mereka untuk berbahasa Indonesia dan mendapatkan pendidikan yang layak dan sama persis dengan orang yang mengambil pendidikan formal," jelasnya.
Editor: M R Purboyo
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.